***Setelah malam itu, jiwaku kosong. Jeritan dan tangisan Rain menghantuiku setiap malam. Membuatku tidak bisa sebentar saja terlelap. Meski sangat mengantuk sekali pun, aku tetap tidak bisa tidur. Dua malam aku sama sekali tidak tidur. Mataku memerah dengan cekungan dalam di sekitarnya. Rasa takut menghantuiku setiap detik. Putra sulungku, sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.
"Kak, ada apa?"
Suara lembut Dira menyapa indera pendengaranku, saat menjelang Subuh, aku berdiri di depan jendela kamar. Pikiranku gamang. Aku belum pernah setakut ini sebelumnya. Jalan di depanku benar-benar gelap. Aku tidak menemukan satu pun petunjuk untuk menemukan putra sulungku.
Apa yang harus aku katakan pada Dira, jika Rain tidak ditemukan? Bagaimana reaksi Dira jika mengetahui yang terjadi pada Rain? Aku harus apa sekarang? Rasanya, hartaku tidak berguna sama sekali disaat seperti ini.
"Kakak nggak tidur?" Dira memelukku dari belakang. Menyandarkan kepalanya di punggungku. Kedua tangan kecilnya melingkari tubuhku dengan hangat. Sedikit membuat ketakutanku berkurang.
"Sudah tidur tadi. Kakak kebangun," kataku bohong.
"Kenapa? Semalam Kakak tidur sudah larut. Kenapa hanya tidur sebentar?"
Aku berbalik menghadap Dira. Kupandangi wajah cantiknya dalam-dalam. Takut jika aku tidak bisa menepati janji untuk membahagiakannya seumur hidup. Nyatanya, baru sebentar kami kembali bersama, aku harus mengecewakannya. Hilangnya Rain, pasti sangat melukai hatinya.
"Ra, Kakak belum bisa nemuin Rain." Aku membiarkan Dira melihat mataku yang berkaca.
"Jadi karena itu Kakak nggak bisa tidur?" Kedua tangan wanitaku ini merangkum wajahku.
Aku mengangguk membenarkan. Meski aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya, karena takut Dira bersedih jika tahu yang terjadi pada Rain.
"Kakak harus tetap istirahat. Dira tahu, pencarian Rain ini sangat penting sekali. Tapi, kesehatan Kakak, jauh lebih penting. Kakak masih harus jagain Dira sama anak-anak yang lain. Kalau Kakak sakit, Kakak nggak bakalan bisa jagain Dira dan anak-anak. Kakak juga jadi nggak bisa nyari Rain. Masih ada perusahaan besar yang butuh Kakak," kata Dira dengan lembut.
Apa kamu masih bisa berkata begini, jika melihat apa yang Iblis Betina itu lakukan pada Rain, Ra? Apa kamu masih bisa tenang, jika setiap detiknya benakmu penuh oleh ketakutan dan kecemasan? Rasa-rasanya, aku seperti seorang ayah yang tidak berguna.
"Masih ada sedikit waktu sebelum Subuh. Kakak mau Shalat Tahajud bareng?"
"Kakak nggak bisa, Ra. Kakak belum pernah!" kataku dengan malu. Aku memang belum pernah shalat Tahajud. Meski begitu, aku mulai rutin shalat wajib akhir-akhir ini. Dira selalu mengingatkanku untuk tidak meninggalkannya.
"Nggak papa. Kita bareng-bareng shalatnya."
Dan benar saja. Dira mengajakku berwudhu, lalu kami shalat bersama. Ini pertama kalinya dalam hidupku. Aku sampai menangis terisak-isak saat berdo'a. Dira nenyuruhku mengadukan ada saja yang ada di pikiranku. Ketakutanku. Kecemasanku. Semuanya. Hingga aku bisa merasa benar-benar lega. Seakan, do'aku diiyakan oleh Sang Pencipta.
Setelah Shalat Subuh sekalian, Dira membantuku berbaring di ranjang. Mengelusi kepalaku dan terus membisikkan kata-kata lembut yang menenangkan. Membuatku yang memang kurang istirahat akhir-akhir ini, bisa terlelap dengan cepat.
Entah berapa lama kemudian, aku terbangun dengan badan ringan dan kepala tidak sakit lagi. Gorden kamar masih rapat, padahal sudah siang. Dira tahu, aku terganggu oleh cahaya jika tidur dengan gorden terbuka. Aku ke kamar mandi untuk cuci muka, sebelum keluar dari kamar. Menemukan Mom di ruang tengah, sedang fokus pada laptopnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...