60. Kotor dan Kampungan

541 34 2
                                    


***

Sore itu, Dira sangat sibuk sekali. Mengemas beberapa barang dan pakaian anak-anak untuk kami bawa pulang. Meski sudah kuingatkan agar tidak usah bawa terlalu banyak, tapi tetap saja, wanitaku itu keras kepala. Katanya, anak-anak tidak akan nyaman jika semua barangnya langsung diganti. Apalagi, ada pakaian, mainan atau barang kesayangan masing-masing yang pasti akan dicari jika tidak dibawa. Jadilah bagasi mobil penuh oleh barang-barang.

Rencananya kami akan pulang nanti malam. Entahlah mengapa Dira memilih malam hari, padahal aku sudah mengajaknya sore tadi. Aku hanya menurut pada akhirnya. Membantu Dira menaikkan barang, juga merapikan rumah yang akan ditinggalkan. Itu adalah rumah yang Dira sewa dengan harga murah milik Bu Haji, bos tempatnya bekerja.

"Kapan pesanannya datang?" Dira bertanya padaku yang baru saja menutup pintu mobil.

Aku melihat jam yang melingkari tanganku. Mengingat sebentar, "Habis Maghrib. Paling telat jam 7 malam," ujarku padanya.

Dira hanya mengangguk. Lalu, masuk rumah meninggalkanku. Pesanan yang dia maksud adalah kue dan beberapa makanan dari kota, yang sudah dikemas menjadi satu paket. Itu adalah rencana Dira sendiri, yang ingin memberikan sesuatu pada tetangganya di sini sebelum kami pulang. Aku sama sekali tidak keberatan. Justru malah senang.

Setelah Isya nanti, aku juga sudah mengundang beberapa penjual untuk datang ke halaman rumah. Itu adalah para penjual yang Dira kenal di pasar. Bahkan, ada penjual permen kapas juga yang sempat dibeli anak-anak. Selain itu, ada penjual sate, angkringan, bakso, soto, wedhang ronde, dan beberapa penjual lainnya.

Baru Maghrib, banyak tetangga sudah berdatangan. Bu Haji dan keluarganya, serta teman Dira bekerja juga datang. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam, karena aku sibuk mengawasi anak-anak yang berlari ke sana ke mari di halaman. Beberapa orang sangat ramah sekali mengajakku berbincang-bincang. Ternyata Dira benar, di sini tetangganya ramah dan hangat. Saling menyayangi meski bukan keluarga.

Setelah para penjual datang, aku mempersilahkan mereka mengambil apa yang mereka inginkan. Layaknya pesta, dari dalam rumah, halaman hingga jalan di depan rumah, penuh oleh orang-orang. Membuatku tidak bisa berkata-kata. Anak-anak dengan senang bermain bersama anak sebayanya. Mengabaikanku yang duduk sendirian di teras rumah.

"Mas, sudah mau pulang ya? Saya kira mau tetap tinggal di sini," seorang bapak berpeci mendekat padaku. Aku tidak tahu siapa namanya.

"Ah, iya, Pak. Pekerjaan saya tidak bisa ditinggal," jawabku seadanya.

Sembari mengunyah satenya laki-laki itu mengangguk-angguk. "Kerja apa to, Mas?"

"Saya karyawan, Pak," jawabku merendah.

"Walah ... karyawan apa, Mas? Kok duitnya banyak? Kerjanya apa dan di perusahaan apa? Saya punya anak laki-laki. Kira-kira ada lowongan kerja enggak ya, Mas? Kalau ada biar ikut Mas ke kota sekalian. Malam ini juga nggak papa? Ya meski pun anak saya itu tidak punya ijazah, karena dulu cuman sekolah SD dan berhenti di kelas 3. Tapi, anak saya itu rajin, sudah bisa baca tulis juga. Pinter dan telaten anaknya," katanya dengan antusias.

Aku menggaruk tengkukku. Bingung harus bilang apa. Kalau sekolah dasar saja tidak lulus, mau kerja apa? Bisa mungkin kerjanya yang butuh otot. Kalau kerja kantoran, OB saja minimal sekolah menengah atas. Apa mungkin ada yang bisa diisi orang tanpa ijazah? Tapi apa? Apa sebaiknya aku bawa dulu, siapa tahu aku bisa memberinya pekerjaan.

"Coba tanya sama Bu Haji saja, Pak! Kayaknya kemarin nyari orang buat kerja di tokonya," suara Dira tiba-tiba menyeruak di antara kami. Membuatku merasa sangat berterima kasih.

"Bu Haji ada lowongan? Wah kebetulan. Kalau begitu, biar saya tanya Bu Haji dulu saja. Mari, Mas!" pamitnya padaku dengan wajah berbinar.

Aku hanya mengangguk. Lalu, setelah laki-laki itu pergi, Dira duduk di sebelahku. Menggantikan posisi laki-laki tadi. Badannya condong padaku. Matanya mengawasi anak-anak yang masih berlarian di halaman dengan teman-temannya. Aku menarik lembut sisi kepalanya, agar merebah di pundakku. Kubelai halus rambutnya yang tertutup kerudung.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang