Part 1

2K 131 5
                                    

Suara desiran angin bergema, bersamaan dengan bau air yang menyeruak. Aroma nya segar, basah, berlumut. 

Suara cuitan burung berebutan biji buah perlahan menghilang.  Tersapu angin.  Kabut sudah turun. Tebal  bergulung-gulung putih.  Sebentar lagi hujan akan turun.  Sudah menjadi sebuah berkah di tempat ini. Kabut selalu membawa hujan dan langit sore hampir selalu basah. 

Aku menghentakkan hentakkan kaki di atas pagar batu. Hujan bukan masalah. Bukan sebuah tanda seorang anak perempuan berusia tujuh tahun untuk segera pulang bersembunyi di bawah atap.

Diam di dalam rumah di sore hari juga jarang jadi agendaku. Karena tidak ada yang bagus di rumah. Lebih menyenangkan di luar. Bau air hujan itu asyik, main di rumput yang basah itu seru. Aku juga suka duduk di atas pagar batu disamping rumah melihat ke arah jalur pendakian gunung dengan deretan pohon pinus di antara semak hydragea.  Kabut selalu turun dari sana.  Seperti kabut sihir dalam atraksi sulap atau kabut rendah aneh yang ada di acara pernikahan yang pernah kulihat di kota. Tapi yang ada di desaku lebih indah. Sejuta kali lebih hebat.

Satu-satunya yang mengganggu suasana sore favoritku hanya bunyi kelontengan besi beradu besi. Bunyi pembangunan bangunan, alat berat, desingan truk bahan dan orang-orang yang sibuk memotong keramik dari pagi sampai menjelang malam.

Sejak bangunan itu mulai dibangun ibuku selalu ngomel, kata beliau; berisik! Dan bla bla bla. Panjang sekali gerutuan ibuku dan sialnya aku lah si korban yang harus selalu mendengar ibuku ngomel. 

Rumah besar yang sedang di bangun itu tidak mirip rumah sebetulnya. Lebih mirip bangunan hotel besar yang kulihat di kota.  Megah sekali.  Letaknya tidak pas dekat rumahku, agak sedikit jauh, dekat danau. Jaraknya sekitar separuh lapangan bola, tapi nggak ada suara mengganggu lain yang bisa menandingi suara kelontengan dari sana. Soalnya sumber suara dari sana terlalu mencolok di desa yang biasanya cuma kedengaran suara hewan ternak, burung, kabut turun dan suara ibuku ngomel. 

Masalahnya lagi, ibuku yang hobi ngomel hanya berani bicara di belakang. Ya sama seperti semua ibu-ibu penduduk desa yang lain. Semua ngomel-ngomel. Protes hal-hal nggak jelas.  Yang menurutku itu semua juga karena mereka iri betapa megah dan mewah semakin lama rumah itu di bangun. 

"Penyakit iri itu kelihatan dari wajah. Bikin wajah hitam. Perut gampang sakit. Merusak badan." Begitu kata ayahku sambil menyeruput kopi setiap kali menonton ibu-ibu desa mulai ngerumpi didepan rumahku; temanya, siapa sebetulnya calon penghuni rumah sebesar itu dan kenapa orang itu bangun rumah bagus di kaki gunung.

Beda lagi dengan pak kadus,-kepala dusun, sahabat ayahku yang sering ikut ngopi di rumah. Sebetulnya ayahku juga tukang rumpi, cuma teman ngerumpi nya berbeda circle dari ibuku dan materi rumpian nya juga lebih membuatku pusing kalau kedengaran. 

"Yang bangun rumah itu orang bule, Nok." Ujar pak Kadus singkat.  Entah kenapa beliau tiba-tiba nyeletuk soal itu saat aku ngeluyur lewat. 

Tapi memangnya aku peduli, selama semak hydragea ku tidak di ganggu dan orang-orang bule itu tidak membangun rumah dengan menebang pohon-pohon sekitar jalur semak favoritku.  Aku nggak masalah kok.  

Sekalipun pak Kadus juga menambahkan berkata, "Mereka, bule-bule itu, memang bukan sekedar bangun rumah. Mereka bangun penginapan."

Aku mengangguk-angguk. Sekedar ngangguk. Karena aku belum paham dan setelah aku main ayunan info itu menghilang menguap begitu saja karena memang kabar tersebut tidak membawa dampak signifikan pada jumlah uang jajan yang aku punya untuk beli permen mint coklat. 

Selanjutnya ternyata pembangunan rumah penginapan itu agak lama. Lebih lama dari pembangunan rumah ibadah di desaku.  Seingat ku, usiaku sudah bertambah dua tahun saat rumah penginapan itu benar-benar selesai. Tampak cantik. Besar sekali.  Indah dengan cat putih. Apalagi tepat di dekat bangunan itu ada danau sangat besar.  Besar sekali. Danau kebanggaan desa kami. 

Bangunan itu seperti rumah princess jika dibandingkan rumahku si rakyat jelata dan seperti istana kalau  disandingkan dengan rumah di sebelahku yang jadi kelihatan kayak kandang sapi.

Setelah dua tahun itu juga, akhirnya aku bisa melihat si tetangga baru yang selalu jadi bahan pembicaraan ibuku. Benar kata pak kadus.  Memang bule. Laki-laki tua Rambutnya coklat terang, badannya besar sekali dan matanya abu-abu. 

Beliau bicara dalam bahasa yang tidak ku pahami. Tapi ia membawa satu pick up truck ke balai desa berisi barang-barang yang paling disukai oleh semua orang yang kutau.  Nasi berkat dan paket sembako.

Benda simbolis yang mengakhiri Omelan ibuku dan sebagian besar warga. Tanda perdamaian sekalipun agak terlalu terlambat. Harusnya sejak dulu sejak babat alas.  Tapi ya sudahlah, kata ibuku masih bisa di maklumi karena ia bukan orang pribumi.  Tapi andai saja ia orang lokal, sudah pasti ia butuh lebih dari nasi berkat dan paket sembako untuk menempuh jalur damai dengan warga desa. 

Oh ya, bukan bapak bule itu yang menarik perhatianku. Bukan barang-barang hadiah yang ia bawa untuk di bagi ke seluruh warga kampung, bukan juga wanita paruh baya super cantik seperti perempuan pernah yang kulihat di majalah yang berdiri disampingnya yang sibuk menerjemahkan setiap kata.  Tapi anak laki-laki yang sepertinya seumuran ku, lebih tua sedikit, berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri. 

Ia punya rambut hitam, kulitnya seputih porselen dan matanya abu-abu. Ia memakai kaos polo putih, celana pendek, sepatu olahraga.  Kuku-kuku nya di potong pendek, tidak ada noda hitam cacingan sama sekali. Jauh sekali penampakan kukunya di banding kuku teman-teman sebayaku. 

Ia berdiri dengan wajah datar selama orangtuanya sibuk berbagi. Cuma diam. Situasi yang sama yang bisa menyulut emosi ibuku seandainya itu aku yang melakukannya. Adat disini adalah harus selalu tersenyum sekalipun dunia runtuh dan wajib untuk ikut membantu bila orangtua sedang ada keperluan hajat. Bukan hanya jadi penonton apalagi cuma terima beres. 

Ia menarik untukku karena di tangannya ia menggenggam bunga hydragea. Warna violet.  Bunga kesukaanku.

Dulu, sewaktu aku berjalan-jalan di kota, aku menemukan pohon Tatenbuya dan potongan ranting bunganya juga akhirnya kubawa kemana-mana.  Karena aku suka sekali. Bunganya berwarna Plum. Tidak ada bunga seperti itu di desaku.  Lalu setelah bunga itu kering. Bunga itu aku simpan baik-baik dalam buku kumpulan bunga ku.  Tidak akan ku buang. 

Aku sudah hampir bicara, ingin mengajak  bicara. Mulut ku sudah terbuka dan kakiku hampir melangkah. Tapi sebelum aku melakukan itu semua.  Anak laki-laki di hadapanku menjatuhkan bunga favoritku  ke tanah.  Di hadapanku, sepatu olahraga putihnya yang mahal menginjak bunga Hydragea.  Dengan kasar seperti menginjak benda menjijikkan. 

Mulutku yang sudah terlanjur terbuka, menganga semakin lebar di saat tatapan mata anak itu mendadak menatapku. Bukan tatapan ramah. Tatapan mata tajam.  Mata abu-abu seperti elang. Membuatku merasa seperti anak ayam gemetaran. 

Hingga menjadi lima detik yang cukup, untuk membuatku mengingat hal ini untuk seumur hidupku nanti. 

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang