Part 41

381 73 5
                                    

"Puja." Sapaku gembira karena akhirnya bisa melihat Puja berjalan dengan seragam pramusajinya di antara deretan meja buffet makan malam hotel.

Bukannya tersenyum gembira seperti Puja yang kukenal, Puja justru hanya menoleh. Tubuhnya menegang kaku dan kulihat senyumnya seperti senyum basa basi yang di suguhkan oleh penjaga pintu hotel manapun ketika membuka pintu.

"Kala." Ucap Puja pelan sekali. Hampir seperti berbisik. Matanya sedikit melirik sekitar.

Aku mengangkat alis, mendekat,  "Kamu kenapa?"

Kulihat mata Puja langsung memincing. Antara ragu bercampur canggung berdiri di sampingku, "Kamu sekarang istri dari bos nya bos, bos, bos ku, Kala. Menurutmu aku harus bersikap bagaimana?"

............

Dari sekian bulan dalam satu tahun aku paling suka dengan Oktober. Itu adalah waktu buah-buahan endemik desaku berbuah. Terutama buah Loma. Buah Loma mirip seperti buah kesemek, namun tidak menempel di tangkai. Buah loma menjalar dari ujung akar, batang hingga pucuk pohon. Ketika masih hijau rasanya sepat tapi ketika mulai ranum warnanya berubah merah dan rasa buah Loma manis, berair.


Buah kesukaan ayahku.

Dulu sewaktu kecil, ayahku sering mengajakku memetik buah Loma. Berebutan waktu dengan burung, kelelawar buah dan monyet. Kalaupun terlanjur jatuh di tanah, buah itu jadi mangsa semut-semut. Kalaupun selamat, warga desa lain juga akan berebut memetik.

Untungnya ayahku, yang terbiasa membuka jalur dan hafal setiap sudut hutan, punya pohon Loma favorit. Pohon itu tersembunyi di antara pohon sarangan dan pinus di dekat mata air yang sering di datangi ayahku. Tidak ada yang tau ada pohon Loma di sana selain ayahku dan aku. Jadi, kami bebas mengambil buah Loma sebanyak apapun setiap tahunnya, dulu.

Selain buah Loma, aku juga suka dengan adat berkat bumi di bulan oktober. Bukan soal ritualnya. Aku tidak pernah jadi bagian dari ritual. Ritual kuno itu hanya di lakukan oleh para tetua dan laki-laki. Melarung hasil bumi ke danau sambil membaca doa-doa dalam bahasa kuno.

Yang kumaksud kesukaanku adalah festivalnya. Dulu sewaktu aku kecil, sebelum Arutala menjadi sebesar sekarang, festival adat biasanya di adakan di bawah pohon Elowaa setelah larung berkat, di pohon paling besar dan tua di desaku.

Orang-orang duduk di bawah pohon, dibawah hamparan langit, makan bersama. Ketika malam menjelang, anak-anak di perbolehkan makan tebu bakar, bermain, berlarian, membakar ubi di dekat api unggun,  sementara orang-orang dewasa melinting tembakau dan mulai minum air fermentasi aren semalam suntuk.

Sekarang pada dasarnya, festival berkat bumi masih sama saja esensinya. Namun desa kami telah berubah. Festival yang biasanya hanya di isi oleh warga desa yang tumpah ruah melihat langit malam bersama-sama menjadi festival yang di nikmati semua orang, mulai dari warga asli sampai wisatawan.

Festival berkat bumi kini di hiasi berbagai macam karnaval. Orang-orang berjualan berbagai jenis makanan bukan cuma hasil bumi. Ada ratusan jenis permen, balon-balon, hiasan tradisional, bianglala hingga untaian lampu meriah. Berjejer ramai memenuhi seluruh Padang rumput di dekat rumahku mirip pesta semalam suntuk.

Semua warga desaku suka festival, termasuk aku. Bahkan setelah ayahku sakit, dan aku tidak tega meninggalkan ayahku sendirian, aku masih suka dengan sengaja membuka jendela kamar ayah. Menonton hingar bingar festival dari kejauhan walaupun yang kelihatan hanya sorot lampu-lampu dan  suara orang-orang gembira.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang