part 62

484 96 11
                                        

Rasa panas ini menyiksa. Aku menggigil. Kerongkonganku terbakar. Aku hanya bisa memejamkan mata. Tidur bergerak gelisah. Ketakutan. Mengerang kesakitan. Satu-satunya yang membuatku merasa nyaman hanya sentuhan pelan jemari tangan ayahku. Aku hafal dengan belaian jemari beliau yang kasar. Tapi jemari beliau tidak sehangat yang kuingat, melainkan dingin seperti es batu. Menyengat kulitku.

Waktu berjalan sangat lama selama aku tersiksa. Rasa sakit itu mulai mereda ketika aku mendengar suara hujan turun. Aku membuka mata. Nyaris saja berlari ke luar bangunan rumah ayahku. Menyambut hujan. Menyapu rasa sakit dan panas di kerongkonganku. Tapi sebelum aku sempat bergerak. Tanganku di tarik oleh ayah.

Ayahku langsung memeluk diriku seerat mungkin. Aku mengerjapkan mata. Balas memeluk ayahku. Cukup lama aku dalam pelukan ayah, sampai ayah melepaskannya.

Ayahku tersenyum dengan mata merah nanar.

"Jangan keluar darisini, Kala." Bisik ayahku, "tetap disini."

"Kenapa ayah?" Tanyaku, mataku bergerak liar ke luar ruangan, melihat butiran air menetes-netes ke kaca jendela. Aku haus. Aku haus setengah mati.

"Belum pernah ada hujan di tempat ini." Ujar ayahku. Tangannya semakin keras mencengkram pergelangan tanganku, "Seharusnya tidak pernah ada hujan."

"Hujan kan turun setiap hari ayah." Potongku heran. Setiap hari, setiap sore bersama kabut dan petir.

Mata ayahku memincing, menarik pipiku supaya aku terus menatap ayahku tanpa menatap ke balik hujan di jendela, "Sejauh apa yang kamu tau Kala? Sejauh apa yang kamu ingat?"

"Kita di Sembagi. Di rumahku dan ayah."

"Kita tidak di Sembagi."

"Ini Sembagi." Kataku keras kepala sambil menoleh kanan kiri, "Dimana ibu? Dimana nenek?"

"Ibumu ada di tempat seharusnya kamu berada. Tempat hujan selalu turun." Jawab ayahku dan lagi-lagi pandangan mataku mendadak berputar. Gelap. Aku masuk kedalam siksaanku lagi.

Aku terbangun entah berapa lama kemudian. Kepalaku pening setengah mati. Aku bahkan tidak mampu mengangkat jemariku sekarang. Tubuhku lemas sekali. Aku hanya bisa tidur telentang di atas dipan kayu.

Hanya mataku yang bergerak. Antara menatap ayahku yang menatapku menderita dan rintik hujan di jendela. Rintik hujan itu begitu memanggil. Godaan terberat. Sedih sekali aku tidak bisa menggerakkan tubuh untuk lari keluar rumah dan menyambut hujan.

"Hujan terus turun..." Suara sayup ayahku terdengar.

Aku menarik nafas sekuat tenaga. Nafasku tersengal.

"Apa selama ini Hugo menjagamu?"

"Hugo?" Bisikku, dengan suara yang setengah mati berusaha kukeluarkan, siapa Hugo? Kenapa ia mau menjagaku?

"Dengarkan ayah Kala." Ayahku kini membantuku untuk bangun dari posisi tidur untuk duduk bersandar di sisi dipan kayu, "Karena ini mungkin yang terakhir kali..."

Kenapa?

"Ayah salah. Ayah salah. Tidak seharusnya ayah mencoba membunuh Phraya. Baik di hari phatimalini atau bukan. Tidak seharusnya.. ayah salah. Membunuh yang bernyawa dimanapun kapanpun itu.... Ini semua salah."

"Roh langit bisa membaca jiwa. Tidak seharusnya ayah mencoba menikam Phraya saat itu di punggung naga..."

"Detik itu, gerbang Anagata terbuka. Tubuh ayah tetap di dunia tapi jiwa ayah tidak. Ayah tidak bisa kembali. Gunung sembagi mengikat ayah. Jangan bermain-main dengan alam. Dengan dirimu dan nasib orang lain. Tidak ada jalan untuk kembali untuk orang seperti ayah."

Aku melihat ayahku duduk menangis. Air mata beliau deras bercucuran menatapku. Sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ayahku yang gagah, berwibawa dan penyayang.

"Tapi ayah serakah Kala. Selalu menginginkan sesuatu yang bukan milik ayah sejak awal. Ibumu. Ayah hanya ingin ibumu menjadi milik ayah seutuhnya. Hatinya. Jiwanya. Tapi sekarang ayah justru kehilangan kamu. Ibumu. Segalanya."

"Ayah tau Phraya selalu sayang ibumu. Kamu,- seperti dirimu anaknya sendiri. Jadi bukankah seharusnya beliau selalu menjaga mu, Kala? Tapi kenapa kamu ada disini? Ini bukan tempatmu, Kala."

"Kenapa hujan juga turun? Hujan ini bukan karena Phraya dan ibumu, hujan seharusnya tidak bisa turun disini." Ayahku tersedu-sedu semakin dalam. Mata beliau memerah," Hanya Hugo yang bisa. Tapi kenapa? Kenapa Hugo?"

Aku mengangkat tanganku mengelus rambut ayah yang mulai memutih perlahan dengan sekuat tenaga.  Sementara dalam otakku ada satu nama yang terus berputar. Hugo. Apa aku kenal Hugo? Aku tidak paham dengan isi pikiranku sendiri. Aku seperti asing dengan nama Hugo tapi disaat yang sama, dalam hatiku terbayang mata abu-abu yang menatapku tanpa senyum di balik tumpukan puding strawberry.

Anak kecil dengan rambut hitam berantakan yang terus menatapku seperti elang.

"Apa aku tidak boleh kenal dengan Hugo?" Bisikku pelan.

"Ayah tau, Hugo selalu tertarik denganmu sejak kecil. Tapi apakah sepadan dengan konsekuensi nya?"

"Ayah tau, kamu anak ayah paling baik. Secantik ibumu. tapi apakah itu cukup untuk Hugo yang punya segalanya? Ayah takut, Kala. Ayah tidak mau kamu berakhir seperti ayah dan ibumu. Cinta yang tidak setara itu berat Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang