Aku tidak merasa menggerakkan tubuhku menuju Anagata. Yang kuingat aku hanya membuka dan menutup mataku. Duduk memeluk diriku di tanah.
Tapi anehnya, satu dua tiga menit berlalu. Kabut berubah. Turun menjadi butiran es. Aku sudah ada di tempat yang sangat terang. Padang rumput luas. Dengan rumput hijau serupa Padang rumput masa kecilku sebelum hotel Arutala dibangun.
Anehnya lagi, tubuh kaku ku berubah ringan. Seringan kapas. Mataharipun hangat, menyinari. Damai. Langit biru tanpa awan. Seperti kembali menjadi diriku di usia tujuh tahun.
Aku duduk lebih tegak menatap langit. Mendongakkan kepala, merasakannya hembusan angin berbau rumput dan pinus. Membelai wajah. Di dekatku ada pohon besar. Pohon Ellowa lambang desaku. Berdiri rimbun. Jadi satu-satunya pohon di atas Padang rumput yang luas.
Aku tidak ingat berapa lama aku hanya duduk menatap langit. Sampai aku merasa mendengar suara langkah kaki halus samar.
Aku menoleh kebelakang. Ada seseorang yang sangat kukenal. Berdiri di dekat pohon Ellowa. Tersenyum sedih. Senyum favoritku. Dengan baju biru favoritnya yang sering beliau pakai saat berburu.
Ayahku.
"Ayah." Aku menelengkan kepala. Linglung. Diantara perasaan aku merindukan ayahku tapi juga asing dengan ayahku. Bingung, sedih, senang dan pening.
Berapa umurku. Siapa aku? Dimana aku?
"Kala." Ayahku berjalan semakin mendekat. Gerakannya tidak halus samar seperti sebelumnya. Tapi tergesa. Wajahnya berubah sedih, bercampur marah. Hingga beliau duduk berlutut di depanku.
"Ayah..." Suaraku lembut. Memeluk ayahku. Tersenyum nyengir, "Ayah sudah makan?"
Ayahku menatapku. Mata beliau mulai memerah. Nanar.
"Ayah. Aku mau main. Mau lari-lari kesana." Aku menunjuk Padang rumput yang jauh menuju bukit, "Kalau disana ada semak kerben, nanti kubawakan untuk ayah."
"Kala. Kala." Ayahku mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku tersenyum semakin lebar. Lebih bingung. Tapi bahagia. Aneh. Seperti api dan es, seperti langit dan bumi, "Kala. Kala! Kenapa kamu disini? Pulang nak. Pulang."
"Iya. Ayo pulang ayah. Tapi rumah kita harusnya disana. Tapi kenapa tidak ada?" Tanyaku sambil menunjuk arah lain yang berlawanan dengan danau. Seharusnya tembok batu rumahku disana dengan jejeran rumah lain. Tapi yang kulihat sejauh mata memandang hanya Padang rumput hijau membentang.
Rahang ayahku mengeras. Mendadak aku melihat butiran air keluar dari pelupuk matanya. Mengalir pelan. Aku menghapusnya, "Ayah ayo pulang. Aku lapar. Nanti ayah buatkan aku roti kacang ya."
Air mata ayahku mengalir lebih deras. Beliau terus terdiam memandangku sangat lama sampai akhirnya beliau menghembuskan nafas dalam-dalam, wajahnya tegang, "Iya. Ayo. Ayah gendong ya?"
Aku mengangguk, berdiri sambil mengangkat tangan. Jemariku kecil seperti anak kecil. Seperti saat umurku lima tahun. Tapi sekarang bukannya memang umur ku lima tahun? Bukannya saat aku berdiri sekarang, tinggi tubuhku hanya sampai pinggang ayahku?
Ayahku menggendong tubuhku dengan mudah. Meletakan ku di pundaknya. Aku memeluk leher ayah seperti anak kecil umumnya.
Sepanjang jalan aku memejamkan mata lagi, mendongakkan wajahku ke langit ke matahari. Merasakan rasa hangat yang asing. Cuaca desaku jarang sehangat ini. Secerah ini. Di mana hujan dan kabut?
Ketika aku membuka mata lagi, di depan ku, berjarak beberapa meter, ada pagar kayu panjang besar membentang. Padang rumput masa kecilku tiba-tiba berubah menjadi jejeran rumah kayu berbatu-pedesaan kecil dengan pohon tinggi penuh bunga-bunga putih berbau sangat harum di balik gerbang dalam hitungan detik.
Aku menelengkan kepala, bingung. Linglung. Awalnya aku hendak menoleh kebelakang. Melihat Padang rumputku lagi, tapi suara hiruk pikuk desa menarik perhatianku daripada apa yang ku tinggalkan di belakang.
Desa itu penuh orang. Orang-orang yang tidak kukenal. Mengobrol. Berdagang. Bermain. Berlarian. Pakaian mereka sejenis pakaian yang sering di pakai oleh golongan tua di desaku. Pakaian para tetua. Kain yang di batik khusus dengan lambang desaku, pohon Elowaa.
Setelah melewati gerbang, ayahku menurunkanku. Aku menginjakkan kaki di tanah dan baru menyadari aku bertelanjang kaki. Seperti semua orang disini. Seperti ayahku.
Dengan lembut ayah menggandeng tanganku, aku menoleh kanan kiri. Gembira melihat pasar. Senang melihat kerumunan. Senang melihat kupu-kupu sebesar kepala tanganku. Senang melihat hamparan bunga putih yang berjatuhan di tanah.
"Anakku sayang. Ini rumah ayah." Ujar ayahku, mendadak menarik tanganku, perhatianku dari sekitar untuk menatap salah satu bangunan rumah kecil berdinding batu warna vermilion muda pudar pucat di bawah pohon besar, "Ini juga rumahmu sekarang..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...