Part 24

493 99 4
                                    

"Kala, kamu anak baik. Dari dulu hidupmu lurus. Kamu nggak pernah ngelakuin hal aneh.  Jahat sama orang lain atau ngelakuin hal yang nggak baik. Jadi wajar kalau tuhan ngasih kamu hadiah." Ujar Puja, masih dalam seragam pramusajinya, didepan teras rumah makan rumahku, menatapku yang baru saja mendapatkan surat dari Hugo yang di antar langsung oleh pak Nawa lima menit sebelumnya. 

"Jangan bicara keras-keras nanti ibuku dengar." Potongku. Dengan cepat tanganku membakar surat Hugo sebelum kubuka. 

Puja menatap kecewa potongan kertas terakhir yang berubah menjadi abu, "Seharusnya di baca dulu. Kamu nggak tau pak Hugo nulis apa. Beliau pasti bener-bener suka kamu sampai beliau berkali-kali nulis surat untukmu. Nggak usah sampai kamu bakar segala karena nggak ada warga desa yang nggak tau, Kala. Dan nggak ada yang nggak tau juga kalau kamu di cium lalu di lamar di Arutala."

   ......

"Ibu, jendela kamarku kenapa?" Jemariku berusaha membuka jendela kamarku, namun benda itu tetap tak bergeming. 

Ibuku tersenyum di depan pintu kamarku, sedemikian lebar, "Ibu minta pak Kadus untuk seluruh jendela rumah kita di paku."

Mataku nengerjap tak percaya, "Kenapa?"

"Supaya kamu tidak lompat lari pergi lagi, setiap Hugo datang kesini, Kala."

Jemariku yang menyentuh jendela mengejang kaku, "Aku nggak mau ketemu Hugo."

Senyum ibuku perlahan luntur. Kesabaran nya sirna. Isi hatinya yang selama ini tertutup senyum palsu terbuka lebar, "Apa kamu tidak hitung berapa kali Hugo sudah datang kesini? Kenapa berhari-hari kamu masih nggak mau temui Hugo? Jangan seperti anak goblok!"

"Tolong ibu. Aku benar-benar nggak mau." Pintaku putus asa. Bibirku, hatiku, perasaanku sudah berteriak meminta tolong berkali-kali berhari-hari. Tapi suaraku tak pernah di dengar. Tidak pernah dianggap ada. 

Ibuku kembali pada omelannya, mirip Mbah Djiwo. Setiap kalimatnya selalu menyilet hatiku. Lebih dalam karena aku tau sebagian besar isi kalimat ibuku ada benarnya; di usiaku sekarang, tanpa masa depan, harapan apa yang ku punya daripada menjadi perawan tua, pengangguran yang setiap hari sibuk merawat rumah dan ayah?

"Kau mau ibumu berhutang lagi? Kamu pikir beras itu murah, bisa kamu cari sendiri di hutan? Hutan di belakang rumah kita sekarang juga sudah milik Hugo! Kau bisa apa tanpa hutan itu!?" Teriak ibuku, dan tentu saja tidak lupa berteriak-teriak membahas soal surat-surat juga. 

"Ibu, apa ibu nggak sadar? Hugo
nggak betul-betul mau menikah denganku. "

Ibuku mendelik, "Kamu itu dari kemarin bolak-balik bicara apa? Buat apa Hugo pura-pura melamar kamu ? Pura-pura suka dengan kamu? Untungnya berpura-pura mau menikah dengan kamu itu apa?"

Iya, untungnya apa? Seharusnya memang ibuku yang paling tau soal itu. Menikah denganku memang tidak membawa untung apa-apa kecuali mulut tambahan untuk di beri makan. Jadi, seharusnya Ibuku yang paling sadar keanehan disini. Tapi kenapa bisa tidak ?

"Apa ibu nggak merasa ada yang aneh dengan Hugo?" Pancingku putus asa. Aku sudah mengatakan hal ini berkali-kali. Aku sampai muak mengatakan ini. 

"Seaneh-anehnya, sejelek-jeleknya, kamu tetap akan jadi istri tuan tanah. Cinta itu nomor terakhir, gampang. Nanti akan datang sendiri setelah terbiasa. Yang lebih penting itu beras! Beras nggak bisa di beli dengan cinta, Kala." Nafas ibuku memburu karena marah dan ia menambahkan berteriak, "Apa kamu pikir ibu selama ini menikah karena cinta?"

Aku terhenyak, lagi-lagi teringat, bualan orang-orang desa; betapa beruntungnya gadis di angkatan ku, seumuran ku, kebanyakan dari mereka menikah karena pilihan mereka sendiri. Bukan pilihan tetua adat.

"Kamu beruntung Kala.  Kamu beruntung! Kamu kejatuhan surga, sementara Hugo ketiban monyet."

Iya, betapa beruntungnya aku, oleh nenek-nenek aku di panggil ayam Gallus sementara oleh ibuku sendiri aku di panggil monyet.

"Sore ini pak Nawa akan datang kesini lagi. Dandan yang cantik.  Terima suratnya! Lebih baik lagi kalau Hugo datang! Jangan tolak lagi. Jangan jadi anak goblok. Ingat, cinta itu paling terakhir.  Yang terakhir.  Jangan lupa pesan ibu, kamu  harapan keluarga, harapan terakhir ibu, ayahmu dan JANGAN keluar kamar sampai ibu suruh."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang