Part 40

632 101 4
                                    

Menikah dengan Hugo benar-benar mengubah segalanya.

Aku tau.

Sejak awal aku sudah tau.

Ibu dan ayahku kini tinggal di salah satu paviliun di Arutala yang paling dekat dengan klinik. Ayahku mendapatkan perawatan yang memang sudah seharusnya sejak awal. Beliau di temani oleh caregiver sepanjang waktu sementara ibuku bebas untuk menghabiskan waktu tuanya sesuai kemauannya. Terserah beliau, tapi ibuku memilih untuk tetap bekerja. Melanjutkan usaha restaurant seafoodnya yang secara ajaib mendadak ramai lagi.

Sementara aku, sesuai janjiku, aku tidak tau cinta yang ideal seperti apa. Bayangku tentang hal seperti itu, hanya ayahku. Rasa sayang ayahku pada ibuku. Bukan kebalikkannya. Jadi aku melakukan segala yang kuingat tentang ayahku.

Aku belajar memasak untuk Hugo setiap hari, seperti ayahku dulu pada ibuku. Menggantikan chef khusus yang biasanya memasak dan di antar langsung ke paviliun milik Hugo.

Aku juga hampir melakukan semua nya sendiri karena aku lebih suka merawat Hugo dengan usahaku sendiri daripada menyerahkan sesuatu yang memang kewajibanku kepada orang lain sekalipun aku bisa dan hanya tinggal minta.

Reaksi Hugo,- sejauh ini ia tidak pernah mempermasalahkan apa-apa. Hugo tidak masalah masakanku sedikit gosong atau aku mengubah taman belakang rumahnya menjadi tempat bercocok tanam. Ia membiarkanku melakukan apapun, kadang pulang ke rumah asalku untuk membantu ibuku, merawat ayahku sendiri bersama caregiver atau melakukan hal remeh temeh rumah tangga.

Menjadi paradoks ke empat dalam hidupku.

Disaat aku berusaha menyayangi Hugo seperti cara ayahku merawat ibuku. Tapi justru Hugo yang lebih menyayangiku lebih dari cara ayahku menyayangi ibuku. Hingga akulah yang akhirnya sungguh-sungguh sayang Hugo dan bukannya kebalikannya.

Dan mau tidak mau aku mengakui, seperti kata ibuku, cinta selalu datang di saat terbiasa.

Apalagi terbiasa dengan Hugo yang ternyata sebegitu mudahnya untuk di cintai.

Mata abu-abu Hugo sekarang tidak pernah lagi membuatku takut. Mata abu-abu yang selalu menatapku sambil tersenyum setiap aku hendak memejamkan mata di malam hari atau ketika aku membuka mata terbangun di pagi hari.

Seseorang yang selalu tertawa bahagia setiap melihatku ada. Yang tidak pernah keberatan kupeluk sepanjang waktu. Yang menberiku kehidupan yang selama ini hanya kupikir cuma mimpi di siang bolong.

Kenyataannya, aku belum pernah sebahagia ini.

Sebahagia aku bersama Hugo.

Sekarang seperti biasa aku menyiapkan pakaian Hugo. Hugo jarang memakai pakaian sangat formal saat hendak ke kantornya, Arutala. Ia biasanya hanya memakai kemeja dan celana hitam. Tapi sebelum mandi, Hugo sudah berpesan khusus hari ini ia tidak ke kantor. Hugo ingin berburu di hutan untuk hari ulangtahunnya.

Mau tidak mau aku membuka sudut lemari pakaian disisi paling ujung ruangan. Sudut yang tidak pernah kubuka sebelumnya karena sudah lama aku tau Hugo tidak pernah berburu.

Nafasku sedikit tercekat ketika aku menarik salah satu pakaian yang sangat kukenal. Pakaian berburu yang kuingat dalam mimpiku,- atau bukan mimpiku? Mimpi burukku yang belum berlalu.

"Kala? Ya aku pakai yang itu saja." Ujar Hugo. Aku tidak sadar Hugo sudah berjalan keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk.

"Tapi..." Mataku terbuka lebar, rasa takutku mulai menjalar. Sayangnya bibirku kelu. Hugo tidak pernah melarang ku melakukan apapun sebelumnya jadi aku tidak suka untuk melarang Hugo untuk melakukan hal yang ia suka juga, "Hugo benar-benar mau berburu?"

"Kamu takut? Apa kamu nggak mau ikut aku pergi?"

Aku menggeleng ragu, "Aku ikut Hugo."

"Aku lebih suka kalau kamu ikut." Potong Hugo, sementara aku mulai membantu Hugo memakai pakaian berburunya, "Karena kamu memang harus belajar berburu Kala."

"Kenapa harus?" Protesku kembali. Aku sudah mengatakan ini berkali-kali.

"Karena kadang kamu masih suka pergi ke hutan sendirian. Gimana kalau sesuatu terjadi dan kamu nggak bisa apa-apa?"

Aku mengatupkan bibir. Membatalkan ucapanku selanjutnya karena aku tau, percuma.

"Iya aku bakal belajar. Tapi aku nggak mau latihan menembak ke binatang." Jawabku akhirnya putus asa.

Hugo tersenyum puas, "Ya."

"Tapi Hugo juga jangan nembak burung, kelinci atau ayam hutan di depanku ya?"

"Lalu?"

"Kalau rusa, boleh."

"Kamu tau kalau dalam satu hari belum tentu kita dapat buruan rusa."

Iya. Lebih baik lagi kalau nggak menembak binatang sama sekali, "Aku nggak suka Hugo membunuh binatang."

"Tapi lebih baik membunuh daripada dibunuh, Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang