Part 3

1K 146 3
                                        

Aku tidak tau bagaimana aku bisa berakhir disini, maksudku, ini tempat persembunyian favoritku. Gubuk kecil milik salah satu penduduk desaku, Mbah Nata. Tempat tinggal beliau sekaligus tempat beliau biasa membuat tahu untuk dijual ke pasar.

Tempat ini kumuh, gelap, seram dan bau. Bangunan kayu sepetak yang seperti nyaris roboh karena lapuk. Pemandangan paling jelek di sekitar semak hydragea. Nila di Sebelanga susu. Merusak pemandangan.

Tapi teman-teman ku paling tidak suka mencari anak yang bersembunyi disini. Makanya tempat ini adalah tempat bersembunyi yang paing aman.  Karena Mbah Nata galak. Memang galak. Tapi tidak galak untukku karena aku sering membantu ayahku membawakan pak Nata sekarung beras. Semampunya keluargaku untuk membantu Mbah Nata yang tinggal sebatang kara dan penghasilannya jauh di bawah kata cukup.

Kata teman-temanku, Mbah Nata se galak anjing yang tidak di beri makan seminggu. Aku tau tidak sopan menyamakan orang dengan anjing. Tapi aku pernah lihat sendiri Mbah Nata melempar kayu sangat besar ke temanku yang menganggu jam tidur siang beliau sambil menyumpah serapah.

Beruntungnya, detik ini, jam ini bukan jam Mbah Nata tidur siang tapi jam beliau naik ke gunung mencari kayu bakar, karena kalau iya, Hugo yang sekarang berdiri di sebelahku sudah pasti di lempar kayu juga.

Ini yang ku maksud, aku tidak paham bagaimana aku bisa berakhir bersembunyi disini bersama Hugo.
Setahuku, ritme permainan petak umpet selalu sama. Ya begitu itu. Dan segalanya tadi berlangsung dengan cepat hingga begitu aku sadar. Hugo sudah ada di sampingku bersembunyi di celah jejeran dinding kayu lapuk yang sama. Di bagian rumah Mbah Nata tempat beliau biasa mengolah limbah tahu.

Aku tebak Hugo berusia sekitar tiga  empat tahun lebih tua dariku. Usianya mungkin tiga atau empat belas tahun. Mungkin. Aku hanya menebak lewat tinggi badannya yang belasan Senti lebih tinggi dariku. Tapi bisa juga karena, ayahnya orang asing. Bukannya orang asing memang selalu lebih tinggi dan besar dari orang pribumi.

Tapi gara-gara badannya yang tinggi itu. Dia jadi berisik. Kepalanya berkali-kali terantuk atap kayu rendah rumah Mbah Nata. Dan kakinya yang besar membuat beberapa bagian lantai kayu milik Mbah Nata yang sudah lapuk berbunyi bergeretak.

Gara-gara itu pula, tikus-tikus yang tadinya sibuk makan sisa tahu hasil produksi Mbah Nata ikut bercicit berisik. Protes dengan kedatangan Hugo yang berisik.

Hugo berjengit karena beberapa tikus melewati kakinya mencipta kan suara gemeretak yang lebih heboh. Wajahnya masih se datar tadi tapi alisnya mengkerut ketengah seperti sibuk berpikir masalah berat. Bukan wajah takut atau kaget. Wajah yang aneh. Reaksi yang aneh. Seperti robot.

"Petak umpet itu nggak boleh berisik." Ucapku lembut. Halus serupa bisikan sekalipun aku tidak tau, apakah Hugo paham dengan bahasa Indonesia karena setahuku ayahnya Hugo hanya bicara dalam bahasa asing tadi dan di terjemahkan sedikit-sedikit oleh istrinya.

Saat aku bicara, Hugo dengan reflek mengarahkan matanya pada mataku aku buru-buru mengalihkan pandangan.

Bukannya mendengar kata-kata ku Hugo tiba-tiba malah bergerak sangat cepat hampir melompat dan membuatku ikut kaget. Sampai kakiku tidak sengaja terantuk ember cat yang berisi puluhan tahu putih yang di rendam air.

Tanpa sengaja aku jatuh terduduk di lantai bau, basah dan kotor. Hanya sedetik dan niatnya aku akan langsung bangkit berdiri. Tapi sebuah sepatu mendadak hampir menginjak jemariku di lantai. Aku menggeser jariku menjauh karena kaget. Dan disaat yang sama sepatu itu malah seperti ingin menginjak ujung bajuku di lantai.

Aku buru-buru mengepalkan tanganku di depan dada. Takut. Insting untuk melindungi diriku muncul. Tanpa sadar aku mendongak, tatapan mata elang itu menubruk mataku. Mata abu-abu di bingkai hidung sangat mancung dan kulit putih porselen. Tanpa senyum, masih dengan kerutan kening yang sama.

Lalu itu jadi hal terakhir yang kuingat karena setelah itu aku langsung berdiri. Berlari kabur keluar dari gubuk dan tidak peduli lagi sekalipun aku kalah di permainan.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang