Part 68

366 72 14
                                    

"Kala, kenapa lama?!" Protes Puja tidak sabar.

Aku menoleh sedikit menatap Puja, tapi Puja tidak menatapku, ia menatap gerombolan laki-laki yang berdiri di tempat yang paling dekat dengan tumpukan berkat bumi disebelah prau. Itu adalah tumpukan berkat bumi yang paling banyak dan paling mewah yang pernah kulihat seumur hidupku.

Tapi bukan itu yang paling menarik perhatianku, melainkan seseorang di antara laki-laki pribumi. Dia yang terlihat berkulit paling putih pucat diantara orang-orang berkulit gelap. Kelihatan mencolok dalam pakaian adat khas desaku; bertelanjang dada, hanya memakai celana tradisional khas corak desaku dengan warna mahogany dan memakai ikat kepala.

Sudah lama aku tidak melihat Hugo Hohenstaufen schonberg. Warga desa bilang, Hugo lama di Jerman. Aneh sekali melihatnya sekarang. Apa udara di Jerman berbeda? Bagaimana caranya hanya dalam hitungan bulan, tinggi badan Hugo  melesat lebih jauh dariku? Tubuhnya juga lebih besar, seperti raksasa berotot, wajahnya juga lebih dewasa seperti pahatan. Kenapa Hugo bisa terlihat begitu berbeda sementara aku masih merasa sama saja?

"Berkat bumi yang kita tata sekarang itu sebagian besar dari keluarga Hoheng." Puja menambahkan sambil tersipu-sipu, kemudian kembali menarik tanganku dengan tenaga yang lebih besar, "Ayo lah Kala. Bisa lebih cepat nggak?"

"Kenapa Hugo boleh ikut ritual?" Aku kembali menunduk, menyibukkan diri menyusun buah-buah Loma diatas daun-daun Ellowa dalam wadah bambu, berkat bumi dari keluargaku yang belum lima menit lalu sukses ku jatuhkan ke tanah. 

"Kenapa nggak? Umur Hugo 18 tahun, dia laki-laki. Dia juga kesayangan tetua adat."

"Ayahnya kan orang asing."

"Kamu sendiri darah kotor tapi ikut ritual kan?"

Mataku membulat, nyengir pada Puja, aku tidak marah di sebut darah kotor, aku sudah biasa, "Aku kan cuma membantu menyiapkan makanan bukan benar-benar bagian ritual."

"Ya. Memangnya roh langit dan bumi peduli darah kita dari mana?" Puja menjawab tak sabar, "Lama amat sih nyusunnya Kala? Ayolah..."

Akhirnya aku berhenti menyusun buah Loma. Dengan hati-hati mengangkat wadah bambu dengan buah diatasnya ke atas kepalaku kemudian berjalan mengikuti Puja untuk meletakan barang-barang persembahan ketumpukannya.

Kami berjalan sambil menunduk, sesuai tuntunan yang di ajarkan oleh para sesepuh, harus anggun dengan langkah kecil-kecil, tapi setelah beberapa langkah, kakiku berhenti. Langkahku tertahan oleh satu kaki yang menghalangiku. Tanpa sadar aku mendongak, menyusuri kaki, sampai ke perutnya, dada hingga kepala. Tepat di depanku, Hugo berdiri tanpa senyum, mata abu-abu nya menunduk menatapku tajam seperti beruang yang hendak menerkam.

Lagi-lagi aku merasa seperti kecoa yang akan di injak. Aku buru-buru menundukkan kepala kembali. Tapi gerakan itu salah juga. Karena di depan mataku, dada bidang Hugo terpampang jelas dan kalau aku menunduk lebih dalam aku bisa melihat perutnya yang berotot.

Bukannya aku tidak pernah melihat otot, sebagian besar laki-laki di desaku, termasuk kakek-kakek pun berotot, mereka petani, biasa mengangkat cangkul setiap hari.

Tapi kenapa wajahku merah padam?
Kenapa aku di lumpuhkan rasa malu?

Aku buru-buru mengubah jalur berjalanku dan meletakan berkat bumi dari keluargaku ke atas meja kayu secepat kilat.

Aku sampai lupa, selama ritual adat langkahku harus tetap anggun, pelan dan sopan, tidak boleh membelakangi danau sama sekali, harus berjalan mundur hingga sampai dalam batas Padang rumput. namun dalam otakku aku hanya ingin kabur terbirit-birit.

Begitu aku yakin aku sudah sampai jarak aman, aku melorot lemah. Duduk bersimpu. Wajahku masih merah padam.

"Kala? Maksudnya yang tadi itu apa?" Puja ikut duduk merosot di sampingku.

Aku menarik nafas, tapi udara di sekitarku seakan habis tak tersisa, "Apa?" Aku malah bertanya balik.

"Hugo tadi tiba-tiba berjalan berdiri di depanmu!"

Aku menggeleng, terus menggeleng. Jemari tanganku ku tangkupkan ke pipi. Bayangan mata abu-abu tajam itu terulang kembali.

"Apa kamu ngelakuin kesalahan?"

Aku menoleh, menatap Puja, "Aku salah apa?"

"Mana aku tau! Tapi kata nenek ku jangan main-main dengan Hugo! Di dunia dia punya harta, di langit dia punya kuasa."

"Huh?" Aku bengong.

"Kala, memangnya kamu belum dengar? Katanya ketua adat sendiri yang memilih Hugo untuk jadi salah satu orang yang belajar memimpin ritual-ritual adat. Termasuk ritual Ambara. Ritual tabu itu.  Hugo diajari untuk untuk memanggil roh yang tersesat lewat media air dan api. Sementara anak perempuan seperti kita bisa apa? Hanya berdoa di Kala Hujan."

...............

Kabut hari ini lebih gelap dari biasanya. Jarak pandangku hanya sepuluh meter. Di musim kabut setebal ini biasanya warga desa lebih suka bersembunyi di rumah mereka masing-masing. Tapi khusus hari ini, aku melihat begitu banyak orang berjalan melewati bebatuan merah. Menembus kabut. Bergerombol seperti akan menghadiri perjamuan.

Aku menatap warga desa datang menghampiriku satu persatu. Berpakaian hitam menatap ke liang tanah yang sama. Liang kubur ayahku. Dengan wajah sedih dan kehilangan.

Aku menjabat tangan mereka satu persatu. Bergerak seperti robot. Tidak menangis. Tapi juga tidak berekspresi. Aku berjanji untuk menyimpan emosiku untuk diriku sendiri. Sudah terlalu banyak kegaduhan di desa akibat ulahku. Mereka tidak perluh di tambah repot-repot untuk melihatku menangis sesenggukan.

Yang terpenting, aku sudah melihat wajah ayahku untuk terakhir kalinya sebelum tertutup tanah. Aku memang tidak ada saat ayahku menghembuskan nafas terakhir tapi semua orang yang menjaga ayahku saat itu bilang, ayahku meninggal dalam tidur. Tidak ada erangan atau kesakitan sama sekali. Seakan ayahku pergi atas pilihannya sendiri, atau memang begitu kenyataannya.

"Kala, kamu masih belum begitu sehat. Jadi kamu nggak perluh menunggu disini sampai semua orang pulang." Ujar Ibuku yang berdiri di sebelahku. Mengulang kalimat yang sama berkali-kali. Membujukku untuk cepat kembali pulang.

Aku tersenyum lemah, mengangguk tapi tak bergeming. Di sampingku dengan ekspresi yang sama, Hugo tetap berdiri. Menggandeng tanganku sampai akhir.

Aku baru bersuara ketika hanya tinggal aku dan Hugo di depan liang lahat yang sepi, Bahkan ibuku pun lebih dulu pergi meninggalkan ayahku di tanah. Bosan menasehatiku yang keras kepala.

"Ayah.." panggilku, berlutut disamping Hugo sambil menepuk-nepuk pusara tanah ayahku, suasana sunyi hanya terdengar suara angin gunung dan kabut beradu dengan pohon pinus di sekitarku, "Ayah pernah bilang semua yang bernyawa pada akhirnya akan mati juga. Hanya menunggu giliran. Aku sudah tau. Semua orang juga pasti tau soal itu. Tapi kenapa aku tetap tidak pernah siap?"

"Padahal masih banyak yang mau kubicarakan dengan ayah. Banyak yang masih harus kupelajari. Tapi ayah harus pergi karena aku. Ayah beri segalanya sampai nyawa ayah untukku. Aku minta maaf sudah jadi anak yang selalu ngerepotin ayah sampai seperti ini."

"Sekarang aku cuma bisa memberi ini. Tempat ini. Ayah istirahat disini ya? Memang jauh dari kuburan nenek dan Mbah Nata, tapi disini ayah menghadap langsung ke gunung dan di dekat danau favorit ayah juga" 

"Tapi selamanya, aku janji, ayah tetap ayah tersayang untuk Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang