Part 6

558 101 6
                                    

"Kompeni itu orang jahat! Kamu tau Nok? Dulu semua hasil bumi tempat ini di keruk! Di bawa semua! Gadis seusia mu dulu, paling bagus hanya pakai karung goni. Anak yang kecil-kecil malah tidak pakai baju. Kamu masih beruntung Nok, beruntuuuungggg." Seru nenek dari Puja, tetanggaku sekaligus temanku sejak kecil. Beliau duduk di salah satu kursi kayu yang seharusnya di peruntukan untuk pengunjung restauran keluargaku. Sayang, tempat itu selalu jadi singgasana beliau setiap pagi. Setiap aku sibuk membersihkan bagian depan restauran rumahku. 

Aku hanya mengangguk-angguk sembari mengelap meja tempat ibuku biasa menyiapkan bahan-bahan untuk menu restoran.

"Dan gadis-gadis waras tidak ada yang berani punya rambut panjang! semua di pangkas pendek ! Mereka pura-pura budeg dan bisu. Payudara mereka juga di bebat kain. Pura-pura jadi laki-laki. Sembunyi di lubang di bawah kandang ayam. Pintar-pintar gadis-gadis itu, tidak kayak nenekmu."

Aku mengangguk-angguk lagi, kali ini menyibukkan diri mengelap sendok.

"Nenek mu itu ndableg! Sudah tau kompeni itu orang nakal, nenekmu malah nekat berkeliaran. Bicara seenaknya. Lah ya to, Hamil! Kompeni yang memperkosa nenek mu mana mau tanggung jawab?! Nenekmu di tinggal begitu saja di kebun teh. Orang tidak waras nenek mu itu."

"Jadi kamu jauuuuh, jauuuh sekali lebih beruntung. Hutang keluargamu tak sebesar jerih payah nenek mu.  Membesarkan seorang diri ibumu yang tukang ngutang itu. Di kucil kan warga desa. Sekarang kau tau kenapa rumahmu ada di ujung desa. Dekat hutan. Dulu di sini banyak ular! Biar dimakan ular! Dibenci pribumi di buang kompeni. Makan dari beras aking jamuran yang di masak lagi."

Kali ini aku mengangguk sambil pura-pura sibuk mengikat rambutku. Sedikit berharap seandainya saja aku sepintar gadis-gadis seangkatan nenek Puja yang usianya sekarang delapan puluh tahun, pintar dalam pura-pura budeg dan bisu. Sayangnya aku terdidik untuk sangat sopan pada orangtua dan aku tidak pintar berpura-pura. 

Aku sudah pernah mendengar hal yang di ucapkan nenek dari Puja, Mbah Djiwo, selama seratus kali, di ucapkan setiap hari, setiap kali melihat wajahku. Berkali-kali sampai aku hafal, titik koma, nada pengucapan, penghayatan, pengulangan setiap hembusan dan tarikan nafas dalam setiap penekanan kalimatnya. Hingga membuatku pasrah kalau aku sampai harus mendengar hal yang sama ini lima puluh tahun kedepan. Karena seperti keajaiban kabut dan hujan di desaku, desaku juga di berkahi para lansia-lansia yang berumur sangat panjang dan sehat.

"Kau dan ibumu itu seperti ayam Gallus. Rambut dan mata coklat muda mu itu terlalu mencolok.  Terlalu panjang rambutmu.  Apa tak bisa kau potong rambutmu itu? Apa keturunan nenek mu itu tidak ada yang mau belajar? Kalean harus membaur, jangan bangga menjadi ayam Gallus di tengah Cemani."

Baru setelah itu aku melirik Mbah Djiwo tanpa mengangguk. Aku paling tak suka mendengar diriku dan ibuku di samakan dengan ayam arab, "Mbah, mau kerben?" Potongku berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat sekeranjang buah arbei gunung yang ku petik sendiri.

Bukannya teralih, Mbah Djiwo melanjutkan mengoceh.  Kali ini membahas Puja, cucunya yang sekarang punya jabatan pramusaji di hotel Arutala lewat bantuan orang dalam, kakak pertamanya.  Soal ini aku sudah dengar ribuan kali. Jadi aku sudah hafal polanya juga. 

"Kerja! Kerja! Cari uang yang banyak untuk bayar hutang ibumu. Kau ini punya darah kompeni, harusnya pintar cari uang, bukan pintar berhutang atau merampok! Apalagi hanya cari buah kerben."

Sesaat aku memejamkan mata rapat-rapat mengalihkan pandangan. Kalau bukan demi ibuku dan keluargaku sudah pasti aku akan muntab sekarang juga. Tapi aku tau. Bertengkar dengan nenek-nenek hanya merendahkan martabat ku dan menambah masalah keluargaku pula.

"Iya nek." Jawabku lembut, menatap bagian depan teras restoran rumahku yang sudah bersih dan akhirnya aku punya alasan untuk berjalan pergi masuk ke dalam rumah, meninggalkan nenek Djiwo beserta omelannya.

Masuk kedalam rumahpun bukan tempatku merasa nyaman. Rumahku tidak pernah menjadi tempat yang menyenangkan untuk di huni sejak aku kecil.

Aku berjalan melewati ibuku yang hanya duduk termenung di salah satu sofa rumahku yang paling tua dan lapuk. Hanya diam saja. Itu yang selalu di lakukan ibuku setahun belakangan ini.

Stress karena hutang berhasil mematikan minatnya untuk melakukan apapun.

Ibuku yang cantik, suka ngomel dan resik, berubah menjadi seonggoh tubuh tanpa jiwa. Diam saja sepanjang hari. Melamun. 

Setelah pemandangan ibuku terlewat, aku memasuki kamar ayahku. Ayahku sama saja. Ayahku yang dulunya gagah, sekarang hanya bisa tidur. Hanya matanya yang bergerak.

Beliau benar-benar tidak bisa apa-apa. Berbicarapun tidak.

Ibuku sudah lama menyerah dengan kondisi ayahku. Jadi tidak mau tau dan menyerahkan segala tugas mengasuh ayah padaku. Dan kini ibuku, yang tampaknya juga telah menyerah pada nasibnya, juga menyerahkan tugas domestik rumah tangganya padaku.

Aku beruntung. Beruntung sekali.

Jadi bagaimana aku bisa berkerja kalau tanpaku, ayahku dan rumah ku tak terurus? Ditambah dari gelagatnya, ibuku semakin tidak semangat lagi untuk mengurus restauran nya. Pengunjung semakin sepi dan rumahku semakin kosong tanpa jiwa.

Sekarang disamping ranjang ayahku, ada pak kadus duduk. Pengunjung tetap ayahku sejak dulu. Salah satu dari sedikit orang yang peduli. Yang masih ingat bahwa ayahku masih hidup.

Pak kadus tetap pak kadus- kepala dusun. Jabatannya tetap itu. Tak akan berubah sampai ia mati dan jabatan itupun nanti akan di turunkan pada anak laki-laki kandungnya yang sayangnya ia tidak punya. 

Untuk kasus pak kadus saat ini yang sebatang kara ditinggal mati seorang istri dan tanpa anak maka jabatan itu akan jatuh pada keponakannya. Turun menurun seperti gelar kerajaan. Karena memang begitu adat di desa Sembagi.

"Nok." Panggil beliau padaku, "Sudah berapa kali pak Nawa datang ke sini nagih hutang ibumu?"

Aku menggigit bibir, tatapan mataku jatuh pada ayahku yang melirikku dalam posisi membeku layaknya batu,  "Tiga."

"Oh." Pak kadus menganggukkan kepala, tak bisa di pungkiri. Wajah cemasnya tampak sekali. 

Akupun juga sama. Wajahku gentar. Kulitku yang putih pucat bertambah pucat. Aku takut. Aku takut sekali pada kenyataan. 

Pak Nawa adalah orang kepercayaan keluarga Hoheng. Beliau yang biasa menagih hutang dari rumah ke rumah. Setiap bulannya.

Kalau ada pembayaran tersendat selama lebih dari setengah tahun. Beliau akan datang sebanyak empat kali dalam satu bulan.

Setelah itu, berakhir.

Jaminan sertifikat rumah resmi tergadai.

Di pertemuan ke lima, pak Nawa akan datang membawa aparat. Begitu polanya. Setiap warga di desaku sudah paham. Kejadian itu selalu jadi tontonan warga. Buah bibir. Setiap warga yang gagal membayar hutang. Akan pergi.

Tidak pernah ada pilihan lagi.

Harus pergi.

"Jangan lupa makan. Jaga kesehatan ya Nok." Begitu ucap pak Kadus. Aku yakin beliau bahkan tidak tau harus berkata apa lagi.

Aku mengangguk. Aku pun sama, kehabisan kata-kata. 

"Jangan lupa nanti malam." Lanjut pak Kadus, "Ada jamuan makan untuk seluruh warga desa di hotel Arutala. Disana kamu harus makan yang banyak ya. Jangan khawatir waktu pergi. Bapak yang akan jaga ayahmu dulu malam ini."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang