Part 53

534 85 6
                                    

"Kamu pikir ibu menikah dengan ayahmu karena cinta? Cinta itu akan datang sendiri, Kala, kalau kamu sudah terbiasa!!"

Aku memejamkan mata. Suara ibuku terus berteriak. Bersahutan dengan suara pak Phraya.

"Ibumu cantik Kala." Ujar pak Kadus, beliau memandang ibuku sambil menyesap kopinya di depan rumahku, tatapan matanya berpindah lekat padaku, "Kamu juga secantik ibumu."

Aku yang sewaktu itu masih kecil mendengar dengan bangga. Ibuku cantik. Aku cantik. Jarang ada orangtua yang menyebut terang-terangan bahwa ibuku cantik. Biasanya mereka para tetua akan menyebut mataku dan ibuku aneh.

"Boneka kecil." Panggil pak Kadus di hari yang lain sambil menepuk-nepuk kepalaku. Sahabat ayahku yang hampir selalu datang setiap hari membawa permen kesukaanku, "Apa ayahmu sudah pulang dari gunung?"

Aku menggeleng. Sibuk dengan permen mint coklat yang di berikan oleh pak Kadus.

"Seandainya saja kamu anakku Kala." Pak Kadus termenung, kembali terus menatapku yang melompat riang cuma karena permen, "Bapak akan beri kamu permen coklat sebanyak yang kamu mau. Setiap hari."

"Kenapa bapak nggak punya anak sendiri saja?" Tanyaku, berhenti melompat untuk minta di pangku.

"Kamu saja sudah cukup. Anak cantik. Boneka kecil. Kala tersayang."

Aku memejamkan mata kembali. Berusaha mengenyahkan ingatan masa kecilku. Tapi kepalaku berkhianat. Terus membanjiri ku potongan cerita.

"Orang yang paling bisa menyakiti kita, justru adalah keluarga." Ayahku memotong roti, memberikan potongan terbesar yang paling penuh coklat untukku, "Tapi jangan balas kejahatan dengan kejahatan, Kala." Ayahku tersenyum menepuk-nepuk puncak rambutku, "Kamu janji ya. Kamu harus jaga ibumu."

"Cuma kamu yang ibumu punya. Cuma kamu dan ibumu yang ayah punya."

Ayahku yang sehat dan tegap berdiri di depan kompor tua rumahku. Tersenyum. Senyum ayahku yang lembut, sedamai danau Rettatisna mendadak menghilang di gantikan wajah keras Hugo tanpa senyum, "Terserah ayahku,-Pak Gunther, mau melakukan apa." Ujar Hugo dingin, kepalaku mengulang rahasia yang di ceritakan Hugo padaku tentang ayahnya selama ini, "Dulu aku nggak pernah peduli, selama ibuku baik-baik saja."

"Sekarang setelah ibuku meninggal, Aku lebih tidak peduli. Terserah." Geram Hugo.

Aku menarik nafas, Bukannya aku juga bisa untuk tidak peduli selama ayahku baik-baik saja?

Kenapa pula harus peduli?

"Kenapa bapak selalu datang ke rumah saya dengan pakaian rapih?" Tanyaku pada pak Phraya dalam satu waktu setelah sekian lama aku hanya diam memperhatikan.

Pertanyaanku di balas Pak Kadus dengan tersenyum.

"Karena kondisi ayah begini." Aku melirik ayahku yang hanya terdiam di tempat tidur. Bau ayah seperti bau tanah yang lembab, bau tidak enak. Bau orang yang lama hanya terdiam di atas kasur. Ayahku seperti biasa hanya diam. Tatapan matanya ke atas. Kosong. Hanya dadanya yang bergerak yang membuatku yakin ayahku masih hidup.

"Apa masalahnya?"  Pak Phraya balik bertanya.

Aku menggigit bibir. Karena seandainya ayahku masih bisa bicara. Beliau pasti sedih tidak bisa menyambut tamu dengan cara yang sama. Ayahku suka bersih dan rapih. Ayahku yang sekarang pasti ingin seperti pak Kadus. Berpenampilan sama wanginya. Sama wibawanya.

Kesadaranku mendadak kembali tumpah ke bumi diikuti rasa nyeri luar biasa yang menjalar di jantungku. Cepat-cepat aku mundur satu dua langkah. Semakin menjauh dari pintu rumahku. Menarik tangan Hugo. Berjalan cepat. Kembali ke jalur gelap, yang jauh dari tatapan diam-diam orang lain. Jauh dari ingatanku yang menyakitkan.

"Kala!!" Seru Hugo entah setelah beberapa lama kami menembus hutan, tangannya menarik pergelangan tanganku dengan keras, hingga lamunanku pecah.

Mau tidak mau, aku terpaksa menoleh. Berhenti di bawah pohon Ellowa yang besar dengan akar menjuntai.  Mendongak menatap Hugo, berusaha tersenyum. Di depanku, di bawah sinar bulan yang suram, Hugo berkeringat dingin padahal nafasnya berkabut. Wajahnya pucat, garis rahangnya keras. Lucunya di saat yang sama, Hugo juga sama sepertiku, ia meneliti setiap perubahan ekspresi wajahku dengan wajah tegang.

"Aku sudah panggil namamu berkali-kali Kala. Sejak tadi. Kenapa kamu diam? Kenapa kamu nggak berhenti? Kenapa kamu tidak merespon? Kenapa?!"

"Aku nggak apa-apa Hugo." Aku menepuk-nepuk jantung Hugo sekali lagi, "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Hugo baik-baik saja. Aku baik-baik saja." Ulangku. Berkali-kali.

Tapi doa ku tidak berlaku pada Hugo, Hugo justru dengan kasar menarik pergelangan tanganku sebelum meletakan jemariku di bibirnya dengan mata abu-abunya tetap tajam menatapku, "Apa kamu sudah tau sejak lama tentang mereka?"

"Aku pernah merasa." Aku mengakui, "Sedikit."

"Kamu nggak bisa bohongi diri sendiri selamanya." Bibir Hugo terus bergerak di jemariku. Menciumnya pelan.

"Aku tau Hugo." Potongku, "Tapi aku bisa apa?"

"Hukum adat masih berlaku kan?" Mendadak bibir Hugo tersenyum. Menyeringai. Senyumnya yang kadang membuatku takut. Seperti kalimat Hugo yang seringkali singkat tapi mematikan. Bukti bahwa tidak ada satupun orang yang boleh bermain-main dengan Hugo.

"JANGAN." Aku buru-buru menggeleng panik dan melepaskan genggaman tangan Hugo dari tanganku, "Bukannya Hugo yang bilang, para tetua cuma menunggu waktu. Menunggu kesempatan supaya aku. Ibuku, bisa dibuang. Terkucilkan. Sendirian? Gimana dengan ayahku? Jangan. Jangan. Jangan sampai ada satu orangpun yang tau."

"Tunggu waktunya Kala." Hugo terkekeh tidak peduli,  Hugo yang dingin tak punya hati, "Bangkai tidak bisa di sembunyikan selamanya."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang