Part 36

433 90 5
                                    

"Kala!"

Suara ayahku bersahut-sahutan dengan bunyi burung sepah hutan dan serangga. Aku terkikik geli dan semakin menyembunyikan diriku di balik akar-akaran pohon. Aku suka merasa di cari. Kebiasaanku yang membuat gula darah dan tensi ibuku naik.  Makanya ibuku lebih suka menyerahkan tugas mencariku setiap petang datang pada ayahku.

Aku terus tertawa pelan sampai akhirnya aku sadar, suara teriakan ayahku memanggil namaku menghilang dan waktu berlalu.

Aku nggak suka ketika aku tidak di cari. Aku merasa seperti ayahku menyerah mencariku dan tidak peduli lagi.

Aku tidak suka.

Jadi aku buru-buru menyibak akar-akar gantung yang menutupiku dan aku nyaris berteriak ketika menyadari bahwa ayahku ternyata sudah duduk bersila di samping pohon.

Wajah beliau merah padam. Ayahku yang pendiam, baik hati dan tidak pernah marah kali kini kelihatan menyeramkan.

"Maaf ayah." Aku buru-buru memeluk ayahku, ketakutan.

"Kenapa kamu sembunyi sampai sejauh ini?!" Bentak ayahku.

"Tapi kan ayah menemukan ku." Aku gemetaran.

"HUTAN BUKAN TEMPAT MAIN SENDIRIAN SAMPAI MENJELANG MALAM KALA!!! Gimana kalau tadi ayah tidak melihat jejak kakimu?! Gimana kalau ayah nggak menemukan mu atau kamu nggak menemukan jalan pulang? Jangan remehkan alam!!!"

Aku meringis dan mulai menangis. Ayahku menghela nafas tapi mata beliau masih melotot. Aku ketakutan.

"Jangan di ulangi lagi." Bentak ayahku. Beliau dengan cepat mengangkatku ke bahu. Menggendongku disana. Kemudian ayahku mulai berjalan menyusuri hutan. Namun baru beberapa langkah, ayahku mendadak berhenti.

Aku mengusap mataku yang basah, berhenti untuk merengek sesaat karena tertarik pada pemandangan dua patung kayu yang ada di hadapan ayahku. Aku tidak melihat keberadaan patung kayu itu  sebelumnya. Seperti nya benda itu tadi tidak ada disitu. Aku juga belum pernah melihat patung kayu seperti itu didesa sebelumnya. Karena tidak ada pengrajin kayu ukir di desaku.

Patung kayu itu aneh, penuh ukiran kuno. Dan ada wajah manusia di ujungnya. Ukurannya sangat besar jadi mustahil aku tidak lihat sebelumnya saat bersembunyi. Tapi benda seperti juga tidak mudah di bawa-bawa saking besarnya. Tapi kenapa bisa ada disitu?

Yang lebih aneh, di balik dua patung itu kabut gelap turun dari langit di sertai hembusan angin gunung sangat keras. Aku biasa melihat kabut. Tapi aku belum pernah melihat kabut yang segelap itu.

"Itu apa?" Tanyaku tapi ayahku mengabaikanku, beliau malah menggerakan tubuhnya menunduk seperti  memberi hormat sebelum berjalan berbalik arah, menjauhi patung itu.

"Ayah itu apa?" Tanyaku berulang-ulang.

"Anagata." Ucap ayahku pelan, akhirnya menjawab, "Jangan pernah berjalan melewati dua patung Anagata, Kala. Apapun yang terjadi."

"Kenapa?"

"Kamu harus janji."

"Janji." Aku menjulurkan kelingking tanganku ke depan wajah ayahku.

"Kamu juga harus janji, kamu cuma boleh main sampai batas vegetasi hydragea. Lebih jauh dari itu kamu nggak boleh atau ayah nggak akan bolehin kamu lagi main di hutan."

"Ingat Kala, sekalipun kamu sekarang masih kecil. Suatu saat kamu bakal tumbuh besar. Dewasa. Umur bukan ukuran. Setiap keputusan kita itu ada akibatnya. Kesalahan sekecil apapun pasti  ada resikonya. Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati di hutan Kala dan kamu harus belajar bertanggung jawab pada tindakanmu dan hidupmu sendiri."

..........

Aku belum pernah melihat ibuku semarah ini. Ini marah termarah dari ibuku. Ibuku berdiri di depanku. Berdiri berkacak pinggang. Berteriak dalam kecepatan seratus kata permenit sementara aku hanya duduk mematung di samping tempat tidur ayahku.

Terlalu banyak kalimat kasar. Umpatan dan makian. Biasanya satu kata makian bisa menggoresku sampai berdarah-darah. Tapi ribuan makian ternyata malah membuatku mati rasa.

Hatiku sudah kehabisan darah.

Kemarahan ibuku hanya kulihat seperti film hitam putih yang berlalu cepat. Aku mengangguk-angguk supaya kelihatan mendengarkan. Tapi umpatan ibuku hanya lewat kuping kanan keluar kuping kiri. Sedetik berikutnya aku sudah lupa.

Sebetulnya ibuku tidak perluh marah. Karena aku sudah tau aku salah. Tidak perluh di marahi untuk membuatku menyadari kalau aku salah. Kemarahan ibuku tidak akan mengubah apa-apa. Kecuali rasa lega ibuku karena telah mengumpat semua kata kasar untukku.

"BISA-BISANYA KAMU NAIK GUNUNG SENDIRIAN, NGEREPOTIN SEMUA ORANG! KAMU NGGAK TAU GIMANA MARAHNYA HUGO WAKTU KAMU HILANG!!?"

"JANGAN JADI ANAK TOLOL! KAMU MAU DI BAWA KEMANA MUKA KELUARGA KITA?! GARA-GARA KAMU KABUR, KELUARGA KITA JADI BAHAN OMONGAN TETANGGA! BIKIN RIBUT SEDESA! SEMUA NYARIIN KAMU!"

"TERUS SEKARANG GIMANA IBU PUNYA MUKA UNTUK MELIHAT WAJAH HUGO?! BIKIN MALU. BIKIN MALU!"

"MULAI SEKARANG KAMU IBU KUNCI DI KAMAR AYAH. NGGAK BOLEH KELUAR KAMAR KECUALI IBU SURUH!" Teriak ibuku sebagai penutupan sebelum membanting pintu.

Pintu kamar ayahku bergetar. Menggetarkan seluruh rumah malah. Gempa bumi lokal. Aku menarik nafas. Kupingku sakit.

Setelah satu menit diam akhirnya aku menoleh kesamping. Menatap ayahku yang masih serupa balok kayu. Dada ayahku naik turun tanda bahwa beliau masih bernyawa dan mata ayahku juga terbuka. Tapi tidak terarah ke wajahku. Ayahku hanya diam menatap langit-langit seperti patung kayu Anagata

Kamar ayahku tidak ada apa-apa. Hanya ada satu lemari pakaian kuno. Tempat tidur, karpet usang, jendela yang di paku dan kasur. Hiburanku sekarang hanya menatap ayahku yang mematung.

Aku terpenjara disini entah sampai kapan tapi masih lebih baik daripada ayahku yang terpenjara dalam tubuhnya sendiri.

Kini mataku teralih pada bunga Lily of valley di samping ayahku, hadiah dari Hugo. Bunga itu belum layu. Masih seharum yang kuingat.

"Ayah, kata orang Hugo itu dingin nggak peduli, nggak punya hati. Tapi Hugo bilang dia bakal ikut lompat ke jurang kalau aku jatuh kesana." Ucapku pada ayahku, dialog monolog tanpa jawaban, "Padahal seharusnya Hugo panjang umur, sehat, selalu, bahagia tanpa harus ada aku."

"Kasihan Hugo ya ayah? Kasihan juga Arutala, Arutala nggak akan sama tanpa Hugo."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang