Part 56

385 84 9
                                    

Sesedih apapun aku, dunia tetap berjalan. Aku menatap tumpukan puding strawberry berwarna merah menyala dengan potongan strawberry dengan lelehan saus Fla membentuk tumpukan puding megah di tengah ruangan perjamuan. Berusaha tampak bahagia sesuai dengan euforia.

Disampingku berdiri Hugo. Kami berdiri di titik tengah, tempat keluarga Hugo selalu berdiri sejak dulu hingga detik ini. Hugo memakai kemeja dan jas. Rambut hitamnya jatuh sedikit di kening dengan siluet aneh membingkai wajah yang anehnya membuat Hugo kelihatan lebih menakutkan sekaligus menawan.

Perlahan jemariku menarik pelan ujung kemeja Hugo sementara mataku masih mendongak menatap hal yang sama. Puding strawberry. Tanpa menunduk menatapku, Hugo terus  meminum wine nya. Tatapan matanya tak terbaca. Kosong. Dingin. Namun ia membiarkanku terus menarik ujung kemejanya.

"Hugo, waktu aku kecil, sepulang jamuan aku dan ayah sering diam-diam membawa pulang puding strawberry."

Hugo meneguk wine nya lagi. Tak menjawab.

"Dulu aku selalu pakai jaket tebal yang banyak kantungnya setiap jamuan untuk masukin coklat dan permen. Jadi kalau teman-teman sekolahku datang ke rumah aku punya makanan kecil untuk di bagi."

"Tapi tujuh tahun terakhir kamu tidak pernah pakai jaket lagi." Akhirnya Hugo berbicara. Dengan suara beratnya dan wajah waspada seperti sebelumnya.

Aku mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat kapan tepatnya aku menanggalkan jaketku, berhenti membawa permen diam-diam dan akhirnya hanya memakai gaun sederhana dari ibuku setiap jamuan.

"Karena aku pernah ketahuan Hugo masukin permen ke kantung?" Aku meringis malu.

Bertahun-tahun lalu,  Hugo memang pernah memergokiku diam-diam memasukan makanan ke kantong. Seingatku waktu itu, Hugo hanya diam memandangiku dengan mata tajam abu-abu dan bibirnya meneguk santai minumannya seperti sekarang. Dengan santai menontonku sementara aku langsung mengkeret membeku menciut seperti maling ayam. Tak berkutik.

"Tapi tahun berikutnya kamu masih datang dengan jaketmu lagi."

"Ngg?" Keningku bertaut lebih dalam. Aku tidak ingat. Kenapa pula Hugo ingat?" Mungkin aku berhenti pakai sejak ibuku bilang, aku kelihatan jelek kalau pakai jaket saat perjamuan."

"Kamu nggak jelek." Hugo mendengus, "Kamu nggak pernah kelihatan jelek."

Seketika aku menolehkan kepala. Mendongak menatap Hugo. Masih dalam raut acuh tidak acuhnya Hugo melanjutkan berkata, "Aku tau." Gumamnya, "Karena aku selalu melihatmu sejak dulu."

Hugo masih juga tidak menatapku. Hugo yang kelihatan dingin tidak punya hati. Atau yang barusan itu karena sihir nenek? Atau karena euforia ruang perjamuan yang membuat siapapun tampak lebih bahagia seperti tersihir?

Di depan kami ratusan manusia ramai tertawa bebas, bicara sambil menguyah makanan sebanyak mungkin hingga bisa pulang dalam keadaan kekenyangan. Mereka berdiri dengan pakaian terbaik, diantara tumpukan makanan berlimpah ruah. Riuh. Berdesakkan. Sebanyak itu.

Tapi dalam duniaku detik ini. Segalanya sunyi. Ingatan mata abu-abu Hugo memenuhi duniaku. Mata yang selalu kulihat menatapku sejak aku kecil. Menari-nari seperti bayangan api unggun.

Bukannya aku hanya satu dari ratusan manusia di desa Sembagi? Kalau Hugo mau, ia bisa mengacuhkan ku sejak dulu. Seperti panjangan jelek dalam ruang perjamuan. Wajah asing tak di kenal. Yang tak menarik untuk dikenal. Yang akan langsung di lupakan dalam satu tatapan.

Haruskah aku percaya, Hugo punya hati untukku. Bukan karena nenek.

Tapi karena aku?

Hugo mudah untuk di cintai, tapi apa aku juga sama? Aku tidak pernah menemukan cinta lain seperti rasa sayang ayahku padaku.

Apa aku bisa menjadi seseorang yang berarti untuk orang lain? Apa aku bisa di sayangi. Untuk apa? Untuk alasan apa?Apakah diriku sepadan untuk di cintai seperti rasa sayang ayahku padaku.

Pada ibuku.

"Hugo." Kali ini aku kembali menundukan kepala, pipiku merona, nafasku sesak seperti udara di dunia ini hilang dalam satu hisapan.

"Aku sayang Hugo." Bisikku.

"Aku nggak tau sejak kapan. Tapi aku sayang Hugo. Sungguh-sungguh sayang. Bukan karena sihir. Bukan karena ada alasan. Tapi karena itu Hugo." Suaraku bergetar pelan.

Sesaat suara riuh kembali terhenti. Semua orang di hadapanku menjadi bayangan kabur seperti kabut diantara pinus. Duniaku terasa berhenti berputar sampai jemari sangat besar mencengkram wajahku. Menariknya dengan kasar.

Dan ketika duniaku kembali.

Aku sudah dalam pelukan Hugo.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang