Mbah Djiwo menatapku. Bibirnya menyeringai tapi raut wajahnya tampak tak suka. Aku masih terlalu kecil untuk pintar melihat situasi. Hidupku masih hitam putih. Dimana aku selalu menyimpulkan senyuman sebagai perasaan bahagia. Aku belum tau kalau ada banyak banyak jenis senyuman. Dan senyum yang di sunggingkan oleh Mbah Djiwo sekarang adalah senyum sinis yang belum bisa kubaca.
Aku balas tersenyum seperti anak kecil umumnya, "Mbah suka bubur? Ini bubur buatanku dan ibu."
Mbah Djiwo menyingkirkan mangkuk bubur yang baru saja kuberikan pada beliau ke atas meja ruang tamunya. Senyumnya hilang dan rautnya berubah jijik.
"Itu bubur sayur. Rasanya enak. Apalagi kalau di tambah kecap yang banyak." Tambahku.
Mbah Djiwo mulai tertawa. Rambut putih di sanggulnya hingga bergoyang mengikuti tubuhnya yang tergelak, "Bubur sayur itu makanan kesukaan ibunya Puja."
"Ooh.. tapi ibu Puja dimana? Aku belum pernah melihat ibu nya Puja." Tanyaku polos.
Tawa Mbah Djiwo semakin keras, ia tersengal-sengal tatapan matanya berubah liar, "Ibu nya Puja mana mau tinggal disini. Di samping rumahmu? Lebih bagus ia bekerja di kota. Tak usah pulang supaya ia tidak bisa melihat cara ibumu memperlakukan ayahmu."
Aku mengerutkan kening. Setauku dalam sehari-hari ayahku selalu memperlakukan ibuku seperti porselen mudah pecah. Lembut dan halus. Tapi ibuku, walaupun caranya tidak seperti ayahku, tidak seperhatian dan selembut ayahku, ibuku tidak jahat pada ayah.
"Ibumu seharusnya tidak menikah dengan ayahmu. Seharusnya ayahmu menjadi menantuku. Seharusnya ibumu bersama Phraya. Supaya mereka berdua sama-sama di buang di hutan atau di gunung saja." Bisik Mbah Djiwo. Pelan-pelan beliau menundukan kepala supaya bibirnya bisa tepat di telingaku, di telinga anak kecil berusia enam tahun yang tidak tau dunia, "Kalau bukan karena Phraya harus mewarisi gelar kepala dusun, sudah sejak lama mereka bersama. Bukan dengan ayahmu dan kamu tidak seharusnya lahir...."
"Pewaris kepala dusun tidak boleh menikah dengan orang sepertimu. Seperti ibumu. Leluhur kalian orang jahat."
"Phraya yang pengecut." Bisik Mbah Djiwo padaku sebelum mendadak tubuhku di tarik dengan keras. Aku tersentak kaget. Sekilas aku melihat wajah murka ayahku. Sekarang aku sudah ada dalam pelukan ayah. Ayahku menggendong tubuhku. Tubuh beliau menutupi wajahku sementara tangan ayahku yang kasar menutupi salah satu telingaku.
Sayangnya aku tidak mengingat apapun lagi setelah itu.
..................
"Hugo mau makan?" Tanyaku setelah Hugo menutup pintu kamar.
Wajah Hugo masih cemberut, ia terduduk di kasur sambil melepas beberapa kancing kemeja nya dengan wajah lelah bercampur marah.
"Tadi di perjamuan, Hugo cuma minum wine." Pelan-pelan aku berlutut di depan Hugo. Mendongak tersenyum padanya, "Hugo makan ya?"
Hugo menghela nafas. Sorot matanya melembut, "Aku tidak mau makan Kala."
"Hanya sedikit?" Tawarku, " Aku buat roti kesukaan Hugo."
"Ya." Hugo akhirnya mengangguk, setelah cukup lama ia hanya diam saja dengan wajah tak puas membalas tatapanku, "Hanya sedikit."
Aku mengangguk, tersenyum lebih lebar. Dengan cepat berjalan ke dapur. Masih memakai gaun perjamuanku. Sebetulnya perjamuan masih belum selesai. Aku dan Hugo lah yang tidak sopan dengan memilih pulang terlebih dahulu.
Dari jendela dapur, aku bisa melihat mobil pak Nawa mulai berkendara menjauh dan dua orang penjagaku mungkin masih ada di aula perjamuan. Karena Hugo yang meminta mereka untuk menjauh saat aku hanya bersama Hugo.
Aku mengambil roti yang ku letakan khusus di dalam salah satu rak. Memotongnya dalam beberapa potongan. Kemudian kembali kedalam kamar.
Hugo masih dalam posisi yang sama ketika aku kembali. Ia hanya melirik sedikit ketika aku datang dan duduk di sampingnya di atas kasur.
"Ayo makan.." ucapku, tanganku mengangkat salah satu potongan roti, mengarahkannya pada bibir Hugo, "Please?"
Hugo terang-terangan tampak berat hati. Tapi ia membuka mulutnya. Mengunyahnya dalam gerakan mekanis. Tidak tertarik sama sekali. Hanya menguyah demi membuatku senang saja.
Tapi dalam setiap suapannya Hugo memang membuatku senang. Bercampur sedih. Bercampur gelisah. Aku terus menyuapkan potongan roti. Sedikit memaksa Hugo sehalus mungkin. Meminta dengan manja. Seperti itu bukan aku.
Hingga aku melihat mata Hugo terbelalak. Hugo mencoba mengangkat tangannya. Menggerakkan bibir. Tapi ia pelan-pelan berubah menjadi patung. Nafasnya berubah menjadi tersengal.
"Kala.." ucap Hugo sekuat tenaga. Suaranya mulai habis. Ia berubah kaku.
Aku tersenyum sambil menangis.
"Apa pak Bhagya,- ayahku pernah bercerita tentang buah darah ke Hugo? Seperti buah ivy berry. Sering tumbuh di bawah pinus."
"Nggak akan lama Hugo. Hanya sebentar. Hanya semalam. Hugo nggak akan kenapa-kenapa. Besok Hugo pasti sudah bisa kembali bangun. Halusinasinya cuma seperti mimpi. Aku janji Hugo. Aku janji."
Aku memeluk Hugo. Merasakan Hugo berusaha sekuat tenaga untuk balik memelukku dengan wajah meletup sangat marah. Tapi aku lebih kuat dari Hugo sekarang. Hugo tidak bisa melawanku.
"Aku sayang Hugo." Ucapku menidurkannya di atas kasur, mencium kening dan pipi Hugo pelan sebelum berjalan menutup pintu. Membiarkan Hugo membeku tapi aku tau. Ia akan baik-baik saja. Melanjutkan hidup kembali seperti dulu.
Sebelum ada aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...