Part 67

305 73 31
                                    

"Ayahku ada di Anagata Hugo." Ucapku dalam pelukan Hugo setelah aku merasa jauh lebih bisa mengontrol diriku sendiri, "Jiwanya bukan tubuhnya."

Hugo memelukku lebih erat, sebelum perlahan ia berbisik,"Aku tau, Kala."

Tersentak, aku menggigit bibir. Sesak. Dadaku seperti di cengkram benda berat, "Darimana Hugo tau?"

Hugo mengendurkan pelukannya, menatap mataku, tanpa sedikitpun wajah terkejut, kemudian duduk di sampingku, di atas tempat tidur kamar kami, "Bisa kita bahas soal ini nanti?"

"Tapi Hugo harus segera melakukan sesuatu.  Karena mungkin cuma Hugo yang bisa mengeluarkan jiwa ayah dari Anagata secepatnya."

Hugo menggeleng, "Aku tidak bisa, Kala."

"Kenapa?" Tuntutku dan aku mulai merasa marah, "Bukannya Hugo tau? Kenapa Hugo bisa tau? Kenapa Hugo tidak beri tau aku? Kenapa sepertinya semua orang lain termasuk nenek Djiwo tau, sementara aku tidak? Kenapa ayah tidak bisa keluar dari sana sementara aku bisa?"

"Karena aku sudah meminta ketua adat untuk melakukan itu semua sejak lama. Mengembalikan ayahmu. Tapi tak pernah bisa." Potong Hugo, ia menarik nafas dalam, wajahnya tampak luar biasa lelah, "Aku tau karena aku juga pernah hampir terjebak dalam Anagata dan aku sering mendengar cerita tentang itu dari ayahmu dan dari ketua adat. Tidak ada yang pernah bisa kembali dari Anagata, kecuali kamu."

"Kecuali aku, tapi kenapa?" Aku mulai berteriak marah.

Hugo terdiam cukup lama, menatapku, wajahnya tidak terlihat marah, tidak tampak dingin tak punya hati, tapi lebih seperti wajah pedih, "Aku sudah mendengar semuanya juga dari Phraya, satu hari setelah kejadian itu di rumahmu, malam itu. Apa mungkin aku diam saja? Aku menemui Phraya dan ibumu. Mereka sudah menceritakan semuanya."

"Kala." Hugo memanggil namaku yang gemetaran marah sementara jemarinya menarik jemariku lembut, " Ayahmu, -pak Bhagya selalu bilang keluarganya adalah segalanya. Terutama kamu."

"Tapi bagi beliau, kamu terlalu segalanya."

"Ayahmu daridulu menjagamu seperti porselen yang tidak boleh tersentuh. Seperti obsesi. Sampai seperti tidak normal. Apa kamu sadar itu?"

Bibirku terbuka, jantungku mulai berdetak kacau. Aku mual.

"Aku tau, ayahmu selalu memelukmu, menciummu sebelum tidur. Mengajari mu banyak hal, menolak semua pinangan laki-laki untukmu. Semua itu. Lebih dari itu. Awalnya aku kira, itu memang cinta ayah pada anaknya. Tapi apa sejauh itu? Sebesar itu? Sampai suatu hari aku lihat sendiri cara ayahmu memandangmu memperlakukan mu... Apa itu benar tatapan ayah pada anak perempuannya?"

"Ayah belum pernah lebih dari memeluk dan cium pipiku sebelum tidur." Aku buru-buru membantah sambil menggelengkan kepala.

"Aku tau." Hugo menggenggam jemariku lebih keras, "Aku selalu memperhatikanmu dari dulu, Kala. Bertanya-tanya apa aku salah mengira? Perkiraan ku betul atau apa aku bisa mengubah pikiran ayahmu? Atau apa aku harus diam saja untuk menghormati ayahmu?"

"Sejak lama aku tertarik denganmu, tapi aku yang dulu tidak pernah tertarik untuk menikah. Jadi kalau memang aku ingin berbuat lebih. Menjauhkan ayahmu dan pikiran gilanya darimu, apa aku bisa bertanggung jawab untuk menikahimu? Karena menikahi mu bisa jadi satu-satunya cara."

"Aku memikirkan hal itu dari lama. Aku harus hati-hati karena aku kenal pak Bhagya. Aku takut, kalau aku salah langkah, pak Bhagya akan membawamu pergi, aku di singkirkan sejauh mungkin atau kamu yang akan salah paham. Aku mempertaruhkan banyak hal. Hal-hal yang bahkan tidak berani di pertaruhkan oleh ibumu."

"Ibumu tau ini, Kala. Obsesi ayahmu padamu. Kamu sendiri mungkin menyadari itu. Tapi sulit membedakan antara, cinta seorang ayah dan obsesi. Kamu sendiri juga sayang ayahmu dan tidak suka ibumu. Karena itu, dulu aku tidak mungkin datang ke rumahmu. Menjelaskan itu semua tanpa kamu kira aku gila."

Aku menggigit bibirku semakin dalam, menundukkan kepala dan merasakan air mataku mulai menetes. Sebetulnya akulah yang gila. Karena aku juga tau, selalu tau. Aku mulai menyadarinya namun terus mengabaikannya.

Aku juga ingat cara ayahku menatapku. Menggandeng tanganku. Cara-cara beliau menyayangiku memang agak terlalu berlebihan. Terutama karena aku tidak selamanya anak bayi kesayangannya, aku telah tumbuh dewasa.

"Aku tidak pernah memberitahumu karena aku takut kamu akan mencari ayahmu. Mencari nenek itu. Aku sendiri, juga ragu, apa sekarang aku menginginkan ayahmu kembali? Tidak sama sekali."

"Di malam kamu pergi, saat aku kembali bisa menggerakkan tubuh, aku menyuruh sebagian besar orang untuk mengejar mu ke gunung, tapi kamu tidak ada. Jejakmu berhenti di punggung Naga. Ketakutan ku jadi kenyataan Kala, kamu menghilang."

"Setelah itu aku datang ke ketua adat. Mereka bilang, tidak ada yang bisa dilakukan. Kamu sudah terjebak di sana. Di Anagata. Para ketua adat hanya bisa melakukan beberapa ritual terlarang, yang sebetulnya tabu di lakukan dan mungkin percuma juga untuk dilakukan."

"Tapi kemudian kamu kembali, disaat aku hampir membunuh semua orang."

"Jadi bukan aku, bukan aku benar-benar yang membawamu kembali dari Anagata."

"Tapi kenapa aku kembali?" Aku bertanya sambil menangis, "Seharusnya aku tidak bisa kembali."

"Kala, kamu tau hukum adat di tempat ini, darah di bayar darah, tulang di bayar tulang" Jawab Hugo, aku tau Hugo berusaha untuk sehati-hati mungkin untuk melanjutkan kalimatnya," Dan nyawa harus di tukar nyawa."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang