Part 21

609 107 12
                                    

"Kukira kamu tidak akan datang. Jadi aku hampir pergi ke rumahmu." Ujar Hugo, setelah jarak diantara kami cukup dekat. 

Aku terdiam. Masih tak sanggup berkata-kata. Disaat yang sama penjaga Arutala yang baru saja mengantarku masuk, memohon untuk undur diri.

Di depanku siang ini Hugo memakai baju lebih santai. Polo putih dan celana jeans. Duduk di kursi mewah dalam ruangan mewah yang terlalu indah untukku. Sebuah ruang makan eksklusif di penuhi bunga-bunga dengan jendela kaca menjorok keluar langsung menghadap ke bagian danau.

"Jangan pernah datang ke rumah ku lagi." Ucapku setelah mengumpulkan segenap energi ku untuk bicara. 

"Padahal aku suka rumah mu dan hutan dekat rumah mu."

"Masih banyak bagian hutan-hutan yang lain. Datang ke tempat lain saja."

"Tapi tidak sebagus hutan mu." Hugo tersenyum meledek lalu dengan gerakan luwes ia bangkit berdiri dari kursinya untuk menarik kursi dihadapannya padaku, mempersilahkan aku duduk dengan sopan, "Kamu harus banyak makan sebelum pergi berburu."

Aku meringis ngeri. Ditambah barusan saja tanpa sengaja aku melihat dua pramusaji di pojok ruangan saling lirik melirik bingung.  

Lagi-lagi jelas, ini pasti bukan tingkah normal Hugo.

"Aku nggak mau berburu. Aku nggak suka berburu. Aku nggak suka membunuh bintang." Ujar ku dan dengan sangat terpaksa duduk di kursi yang di persilahkan Hugo. 

Aku tak suka duduk disini. Kursi dan meja ini membuat harga diriku jatuh. Karena bahkan lap tangan yang ada di meja saja kelihatan lebih mahal dari bajuku yang hanya baju terusan berwarna kuning kenari sederhana.

Hugo melipat kedua tangannya didepan bibir. Matanya yang serupa elang mulai menatapku tanpa ampun, "Kegiatan sejenis apa yang kamu suka?"

"Bersih-bersih rumah."

Mata Hugo menyipit semakin dalam, "Selain itu?"

"Masak."

"Yang lain?"

"Merawat ayahku."

"Seperti seorang ibu."

"Iya." Jawabku. Anehnya bibirku tanpa sadar tersenyum kecil. Aku baru tau kalau aku suka disebut seperti seorang ibu. Ibu yang merawat anaknya. Merawat rumahnya. Merawat keluarganya. 

Suasana sunyi beberapa detik hingga Hugo berkata, "Senyummu manis. Kamu harus lebih sering senyum."

Aku buru-buru berhenti tersenyum.

"Kenapa kamu berhenti senyum?" Protes Hugo. 

"Aku nggak suka senyum. " Aku berbohong. Kebohongan pertamaku pada Hugo.

"Tapi kenapa setiap kali aku melihatmu, Kala. Apalagi saat kamu
tersenyum. Aku seperti merasakan menemukan sesuatu yang paling aku inginkan sedunia?"

Karena kamu di kutuk, Hugo. 

"Aku belum pernah menginginkan sesuatu sampai seperti ini sebelumnya."

Iya. Jawabannya tetap sama. Kamu di kutuk nenek sihir, Hugo.

"Aku nggak tau." Jawabku, kembali berbohong. Kebohongan keduaku. Dalam upayaku menyelamatkan diriku sendiri. Toh, masih dalam pengaruh sihir, Hugo tidak akan pernah percaya kata-kata ku sekalipun aku mengaku. Tapi berbeda dengan dua pramusaji di pojok ruangan, mereka akan dengan senang hati menyebarkan apapun yang kukatakan pada warga desa. Lalu tau-tau begitu sadar aku sudah di bakar ramai-ramai oleh warga.  

"Apa yang kamu lakukan padaku?" Tanya Hugo tiba-tiba. 

Jantungku langsung berhenti berdetak untuk bersiap-siap berdetum dalam ritme sangat cepat. 

Aku takut. Benar-benar takut. 

"Kenapa aku tidak pernah lupa wajahmu dari sejak aku kecil?" Tambah Hugo. Ia melepaskan lipatan kedua tangannya dari depan bibir untuk mencondongkan tubuhnya mendekatiku, "Kenapa sejak kecil kamu selalu menghindar? Kenapa kamu selalu takut melihat mataku?"

Aku menggigit bibir, menimbang setiap kata sebelum pada akhirnya menjawab hati-hati dalam euforia takut, "Karena aku memang takut dengan Hugo."

"Apa sampai sekarang kamu masih takut?"

"Iya."

"Apa kamu masih takut walaupun tidak melihat mataku?"

"Aku takut dengan semuanya bukan cuma mata Hugo."

Hugo tergelak, "Boleh tutup matamu sebentar?"

"Nggak mau." Aku menggeleng. 

Tawa Hugo semakin keras, "Kenapa kamu selalu lupa kalau aku selalu dapat apa yang aku mau, Kala." Ejeknya dan mendadak sebuah tangan yang sangat besar menutupi mataku. 

Aku tersentak mematung. Lebih karena terkejut bukannya pasrah dan sebelum aku sempat melakukan sesuatu. Aku bisa merasakan bibirku di sentuh oleh sesuatu yang hangat dan lembut.

Aku buru-buru mendorong panik apapun yang ada di hadapan wajahku. Tepat saat telapak tangan Hugo menjauh dari wajahku, menyisakan wajah Hugo yang sangat dekat dengan wajahku, mata elang Hugo balik menyihir ku untuk membeku. 

"Menikah denganku, Kala."

"Aku nggak mau."

"Harus. Karena kamu harus bertanggung jawab pada apapun yang kamu lakukan padaku." Bisik Hugo sebelum bibirnya menyentuh bibirku kembali. 

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang