Part 49

343 77 8
                                    

"Kenapa barang ini kamu bawa kembali lagi?" Hugo mendelik, menatap pak Nawa, orang kepercayaan ayahnya, diam menunduk membawa sekantung barang yang Hugo minta beliau antar ke rumah pak Bhagya.

"Maaf pak Hugo." Pak Nawa menelan ludah, "Saya tidak bisa."

"Kenapa?" Tuntut Hugo. Semakin kesal. Ia meletakan buku yang ia pegang ke atas meja dan memajukan tubuhnya dari  yang awalnya bersandar di sofa terarah mengintimidasi ke pak Nawa.

"Karena tadi saya sudah menemui keluarga pak Bhagya. Baru tengah malam tadi pak Bhagya di antar turun dari atas gunung oleh pak Phraya- salah satu kepala dusun Sembagi."

"Lalu?"

"Pak Bhagya tidak sadarkan diri sampai siang tadi dan sampai malam ini beliau sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara, bicara apalagi bergerak." Pak Nawa bergidik takut, "Hanya diam. Seperti patung."

"Saya tidak enak, kalau saya tiba-tiba datang memberi sepatu dan baju berburu baru pada orang yang baru saja lumpuh tiba-tiba."

Dalam satu gerakan Hugo bangkit berdiri. Dalam pikirannya hanya satu. Ia harus pergi menemui pak Bhagya sekarang.

"Pak Hugo, maaf. Tolong dengar saya sebentar." Pak Nawa menarik tangan Hugo  buru-buru dan langsung mengkeret begitu Hugo menghadiahinya tatapan maut, "Sebelum saya pulang dari rumah pak Bhagya tadi, saya juga di titipi pesan."

"APA?!" Hugo nyaris berteriak karena perasaannya kalut tidak karuan.

"Pak Phraya- Kadus, bilang, pak Bhagya menitipkan pesan bahwa beliau tidak mau pak Hugo menginjakkan kaki satu kalipun di rumah pak Bhagya. Selama beliau masih ada."

...............

"Kenapa kamu banyak gerak?" Tanya Hugo tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya dari balik koran yang ia baca.

"Hugo minta aku bersikap seperti tidak ada apa-apa kan?" Jawabku pelan gugup sambil meletakan beberapa potong roti kedepan meja Hugo.

Tanpa sengaja aku melihat tangan Hugo mencengkram koran yang ia pegang keras-keras hingga aku buru-buru mundur beberapa langkah kebelakang, berkeringat dingin.

"Tanganmu, badanmu, kepalamu memar Kala." Ujar Hugo nada suaranya tidak menggertak, tapi lebih dingin dari kabut dipunggung Naga, "Kenapa kamu tidak di kamar saja?"

Aku buru-buru menggeleng, "Kalau di kamar, aku cuma bisa nangis."

Serta merta Hugo meletakan korannya di atas meja, mendengus. Tatapan matanya tertuju padaku untuk beberapa detik hingga akhirnya ia mengalihkan pandangan ke roti di atas meja makan.

"Roti walnut, biji bunga matahari, kismis, dan hefebrotchen."

Lagi-lagi hatiku terasa tersayat. Aku ingat ketika Hugo masih di bawah kutukan nenek, Hugo akan selalu tersenyum melihat kue yang kubuat masih hangat keluar dari oven. Lalu kami makan berdua. Tertawa bersama.

"Kamu belajar ini semua setelah kita menikah." Ini pernyataan bukan pertanyaan dari Hugo, "Padahal kamu tidak suka roti, Kala."

"Kamu lebih suka makan ubi dan puding daripada salad dan roti. Lebih suka coklat dan benci kacang. Lebih suka bunga yang tumbuh di kebun daripada bunga yang di petik." Hugo melirik buket bunga mengering di dekat meja makan, "Tapi kenapa di bawah kutukan aku malah membiarkan kamu melakukan apapun yang sebetulnya aku yang suka tapi bukan yang kamu suka?"

"Hugo. Aku suka masak roti untuk Hugo kok." Aku memberanikan diri menyela, karena kenyataannya memang begitu.

"Kenapa?"

"Karena aku ingin Hugo sehat selalu, panjang umur, bahagia." Mulutku bergerak dengan mudahnya, terlalu mudah karena ini yang selalu kukatakan pada ayahku sejak dulu hingga sekarang dan yang selalu kukatakan pada Hugo sesaat setelah Hugo menciumku sebelum aku tertidur di malam hari.

Kalimatku hanya membuat Hugo diam. Tatapan matanya kosong mengulitiku. Aku membeku lebih beku. Aneh. Aku tidak terbiasa dengan reaksi dingin Hugo. Tidak terbiasa kembali. Dia Hugo yang sebenarnya.

Hugo yang bukan milikku.

"Kamu selalu bilang begitu." Hugo akhirnya bereaksi, ekspresi wajahnya berubah tak suka, "Persis seperti yang ayahmu bilang."

"Hugo?" Panggilku takut-takut.

"Ya?"

"Boleh aku tetap berdoa begitu untuk Hugo?"

"Kenapa pula aku melarang?" Kali ini ekspresi tak suka Hugo di iringi senyum tipis. Terpaksa tersenyum. Tapi tetap kuanggap tersenyum.

Senyum Hugo yang kurindukan.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang