Part 32

659 114 7
                                    

"Kala! Lihat! ini buat kamu, makanan buffet dari Arutala."

Aku tersenyum, menatap Puja yang berjalan gembira kearah ku sambil membawa sebungkus makanan. 

"Mulai sekarang, sebisanya aku bakal bawakan kamu makanan dari sana!"

"Jangan Puja." Aku buru-buru menggeleng, "Gimana kalau kamu dimarahi?"

"Head chef lebih marah kalau masakannya tidak habis dimakan."

"Kalau pak Gunther ?"

"Beliau nggak pernah ke Arutala semenjak istrinya meninggal."

"Hugo?"

Puja mendengus, "Buat apa pak Hugo ngurusin hal remeh remeh kayak sisa makanan?"

"Siapa tau, Puja. Aku khawatir kalau kamu sampai nggak bisa lagi kerja Arutala."

"Nggak Kala, pak Hugo nggak peduli. Urusannya banyak.  Pekerjaannya banyak. Beliau nggak akan peduli hal kayak gini. Beliau bahkan mungkin nggak akan tau aku ada. Setahuku beliau nggak pernah peduli dengan siapapun,-apapun kecuali bisnisnya."

.....

"Tapi gimana caranya Hugo menemukan ku di hutan?" Tanyaku bingung. Itu pertanyaan yang selalu membayangi ku sejak tadi. 

"Hutan?" Hugo membalas pertanyaan ku dengan kening berkerut," Hutan mana yang kamu maksud?"

"Hutan tempat aku tersesat."

"Aku nggak menemukan mu di hutan, Kala. Dari awal kamu ada disini, di pos tiga."

"Huh?" Kali ini gantian keningku yang berkerut lebih dalam, lebih bingung, "Tapi aku seharusnya ada di hutan, di sekitar pos lima."

"Kamu ada disini. Aku dan pak Nawa yang menemukan mu disini tengah malam. Kamu pingsan, basah kuyup." Gigi Hugo menggertak jengkel, ia marah, "Bisa-bisanya kamu hanya membawa jaket parasut dan selendang merah ke atas gunung lalu tidur di pos tiga. "

Aku menggeleng keras-keras, "Nggak. Aku nggak disana."

"Apa kamu benar-benar sama sekali nggak ingat?"

"Aku ada di hutan." Bantahku kikuk, "Duduk di bawah pohon. Kehujanan. Tersesat. Aku nggak bawa selendang merah. Aku... nggak punya selendang merah."

"Sebetulnya bukan masalah selendang merah mu, TAPI APA KAMU NGGAK SADAR BAHAYA HIPOTERMIA ?!"

"Aku tau."

"JANGAN CEROBOH LAGI. JANGAN REMEHKAN ALAM. JANGAN SEMBRONO."

Aku menggigil, kali ini bukan karena kedinginan lebih karena Hugo saat marah benar-benar menakutkan. Sampai Aku hanya bisa terdiam di bawah tatapan Hugo dengan mata membulat takut, "Maaf Hugo."

Hugo menghela nafas, berusaha mengatur emosinya, "SEBETULNYA KAMU MAU KEMANA? Apa yang kamu cari? Nenek yang mana ? Kenapa kamu selalu mengigau soal nenek selama tidur?"

"Nenek yang tinggal di batas vegetasi gunung. Hugo tau kan?"

Hugo terhenyak sesaat, "Nenek itu sudah lama meninggal Kala."

"Tapi selendang merah yang Hugo temukan itu, mungkin punya nenek. Nenek mungkin juga yang bawa aku ke pos tiga dan ngasih aku selendang."

Dengan cepat tiba-tiba Hugo menarik daguku, mendekatkan bibirku ke bibirnya dan mulai mencium ku kasar sebelum berbisik pelan, "Kamu masih belum benar-benar bangun, Kala. Tidurlah lagi. Istirahat yang lama. Sampai kamu benar-benar merasa lebih baik."

"Aku sudah baik kok." Aku mulai merajuk, karena lagi-lagi setelah mencium ku Hugo memelukku se erat mungkin seperti aku bisa tiba-tiba lari, seperti aku  batu, "Aku mau pulang."

"Kamu mau pulang atau mau mengembalikan selendang merah mu ke nenek?" Ejek Hugo. 

"Hhum." Gumamku singkat, "Itu juga."

"Menurut mu baju yang kamu pakai sekarang juga milik nenek ?"

Aku melirik tubuhku yang berbalut kaus hitam kebesaran asing yang tidak kukenal juga, "Mungkin ?"

"Itu milikku." Hugo mendengus, "Baju mu basah kuyup.  Jadi harus ku ganti. Apa kamu juga nggak ingat?"

Wajahku seketika meledak merah. Aku malu. Malu setengah mati, "Aku nggak ingat." Dan aku nggak mau sampai ingat.  Jangan sampai. 

"Itu artinya sekarang kamu masih belum sadar. Tidurlah lagi, Kala. Istirahat yang cukup. Aku pasti bawa kamu kembali ke rumah. Aku juga pasti bawa kamu kemanapun yang kamu mau, tapi nanti bukan saat ini. Bukan sekarang." Ucap Hugo di telingaku dan mulai mengelus rambutku perlahan, seperti cara ayahku membelai rambutku saat aku masih kecil, "Aku janji, Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang