Part 15

549 104 3
                                    

"Ayah, anak itu melihat ke arah sini terus." Rengek ku pada ayahku tapi tatapan mataku diam-diam jatuh pada anak laki-laki bermata abu-abu, berkemeja biru, rapih, bersih. Beda sekali dengan anak-anak laki-laki seusiaku yang kukenal jarang mandi.

Hugo berdiri, terang-terangan menatapku dari dekat deretan buffet panjang berisi puding susu warna-warni.  Beberapa meter dari tempatku berdiri bersembunyi di belakang punggung ayahku.

"Hugo?" Ucap ayahku pelan, ikut menatap kearah aku menatap, "Hugo mungkin ingin ajak kamu bicara."

"Nggak mau. Dia anak yang dulu pernah ku ceritakan ke ayah. Dia yang mau menginjak jariku itu."

"Anak pak Gunther nggak mungkin dengan sengaja mau menginjak jari-jari mu, nok."

"Beneran, ayah!"

"Coba kamu ajak bicara Hugo. Siapa tau Hugo kasih tau kamu alasannya. Bahasa Indonesia Hugo memang masih tidak bagus. Tapi ayah yakin Hugo pasti punya cara untuk menjelaskan maksudnya padamu."

"Tapi aku cuma mau makan puding. Bukan mau main dengan Hugo." Aku tak berhenti merengek, "Ayah, boleh ayah saja yang ambilkan aku puding?"

"Kenapa kamu tidak ambil sendiri?"

Aku menggeleng lebih keras. Aku nggak benar-benar peduli atau mau tau alasan Hugo. Yang aku tau, Hugo membuatku takut. Aku tidak mau dekat-dekat dengan Hugo.

"Hugo kadang main dengan beberapa anak desa juga kok, saat ia datang ke Sembagi."

Aku tau kok. Aku juga tau setiap Hugo main dengan anak-anak desaku. Hugo selalu di dampingi penjaga-penjaga tinggi besar berwajah seram.  Aku sangsi kalau sekarang semua anak-anak desa yang main dengan Hugo benar-benar mau main. Kebanyakan dari mereka paling hanya takut untuk menolak dan orang-orang tua mereka paling sama dengan orangtuaku, memaksa anaknya bisa dekat dengan Hugo. 

"Tapi aku nggak mau lihat mata Hugo dari dekat."

"Mata Hugo bagus ya?"

"Nggak." Aku menggeleng dengan cepat, "Maksudku bukan itu! Mata Hugo seram seperti mata pak Nata waktu berburu kelinci."

"Kamu merasa seperti kelinci?"

"Iya. Ayah bilang; Hugo punya sebagian danau Ratatisna. Punya hutan. Punya Padang rumput.  Gimana kalau ternyata Hugo ingin punya hutan dan rumah kita juga?"

"Hati-hati dalam berdoa, Kala. Hati-hati dalam berucap. Kita tidak tau ucapan apa yang akan di kabulkan tuhan."

                               ..... 

Aku terpaku dibawah gerimis hujan. Menimbang-nimbang antara aku harus lari kabur terbirit-birit atau tetap diam.

Semua orang di desaku kenal Hugo. Tapi tidak ada yang benar-benar tau tentang Hugo dan sejauh yang ku ingat, ingatanku tentang Hugo juga tidak pernah ada bagus-bagusnya. 

Di hadapanku, seluruh tubuh Hugo meneriakkan tanda bahaya. Ia laki-laki dengan tinggi hampir dua meter. Bukan lagi anak kecil yang kulihat setiap beberapa bulan sekali tapi laki-laki dewasa yang menatapku seperti pemburu menatap buruannya. 

Biasanya aku orang yang mudah untuk mengucapkan kata maaf, terimakasih, permisi dan tolong. Tapi minta maaf pada orang yang hanya diam menonton orang nyaris mati tenggelam itu; kayaknya agak terlalu keterlaluan.

Harga diriku tidak serendah itu.

"Tadi aku nyaris mati tenggelam." Ucapku, aku memberanikan diri mendongak. Menatap wajah pahatan Hugo dari jarak terdekat setelah dua belas tahun lamanya. 

"Tapi kamu nggak mati." Bibir Hugo balik tersenyum angkuh.

"Apa harus mati dulu baru di tolong?"

"Tenggelam itu cara paling bagus untuk belajar berenang."

"Huh?" Aku bengong sesaat. Otakku berusaha mencerna kalimat sinting Hugo. 

"Itu caraku belajar berenang. Di lempar ayahku ke danau."

"Huh?" Lagi-lagi Aku hanya bisa bereaksi sejauh itu.

"Kamu mau belajar berenang?"

"Nggak." Jawabku tegas. Kalaupun aku mau belajar, aku akan cari metode lain yang nggak akan membuatku seperti menggali kuburan ku sendiri.

Tak ku sangka, Hugo tiba-tiba tertawa tepat di depan wajahku. Aku tidak bisa menemukan bagian mana yang lucu jadi aku tidak ikut tertawa. Yang ada tawa Hugo memancing pertanyaan tumpang tindih dalam kepalaku untuk berebutan keluar, "Hugo, apa kamu merasa ada yang aneh? Badanmu? Hatimu ? Perasaanmu?"

Hugo berhenti tertawa, "Apa yang aneh? Apa kamu ngira aku ketawa karena aku gila?"

"Bukan." Aku menggeleng kebingungan. Bingung bagaimana caranya aku tau kalau efek sihir nenek di gubuk pak Nata sungguh nyata. Sungguh mempengaruhi Hugo, bukan sekedar khayalan ku, "Tapi karena Hugo ada disini." Tambahku putus asa. 

Yang aku ucapkan itu benar. Hugo tidak mungkin kebetulan ada disini.   Bukannya di tempat seharusnya ia berada; di ruang perjamuan. Hugo ada disini karena memang ia ingin ada disini. Dan Hugo mendekatiku, berada disamping ku, setelah dua belas tahun tanpa satu kalipun kami tegur sapa; tidak mungkin tanpa alasan.

Jadi aku harus mendengar, melihat sendiri apakah mimpiku benar-benar bukanlah mimpi. 

Hugo langsung menjawab tanpa jeda, tanpa sedikitpun rasa ragu, "Kamu anak perempuan yang selama dua belas tahun tidak pernah satu kalipun berani ada di dekatku."

Aku terperangah. Lagi-lagi Aku harus mengingatkan diriku, tatapan mata Hugo padaku saat ini bukan tatapan orang jatuh cinta. Bukan tatapan orang yang mendadak ingin menikah denganku, seperti sihir yang di ucapkan oleh nenek di gubuk Mbah Nata.

"Tadi kamu berjalan kearah ku, di aula perjamuan." Hugo menatapku seperti menunggu hewan buruannya masuk ke dalam perangkap, "Harusnya aku yang tanya apa kamu merasa ada yang aneh? Perasaanmu? Hatimu? Kenapa kamu tiba-tiba datang setelah dua belas tahun menghindar. Apa yang kamu mau?"

"Hugo ngikuti aku sampai kesini, karena alasan itu?" Aku menatap Hugo tak percaya. Alasan Hugo sesederhana itu. Semembingungkan itu. 

"Ya." Hugo berhenti tersenyum, "Tapi kenapa pula harus ada alasan?"

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang