Part 20

550 99 12
                                    

"Kita selamat Kala.  Kita selamat Kala!" Teriak ibuku riang gembira. Beliau menarik kedua tanganku. Memaksaku menari berputar-putar dalam ruang kamar ayahku yang sempit. 

Ibuku terang-terangan bahagia.   Kegembiraan hatinya menutupi nuraninya. Hingga seorang ibu yang melahirkan ku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas bahwa aku tidak segembira beliau. 

Tepatnya, aku tidak bahagia.

Dalam kasus ini, aku masih belum selamat. Aku masih terancam bahaya.
Kutukan Hugo belum berakhir dan bisa-bisanya sihir itu bekerja dengan  baik pada psikopat seperti Hugo. 

"Kenapa? Kenapa bisa kamu menarik perhatian Hugo? Sejak kapan? Bagaimana caranya?" Seru ibuku. 

Aku mengangkat bahu.

"Ibu belum pernah melihat Hugo senyum seperti itu ke siapapun perempuan desa disini." Wajah ibuku sumringah, "Kamu hebat Kala.  Kamu hebat."

"Ibu. Kasihan ayah. Nanti saja bicaranya.  Aku harus memandikan ayah dulu." Potongku lemah.

"Biar ibu. Biar ibu yang melakukan semua. Kamu mandi saja. Buat wajahmu jadi lebih cantik. Istirahat. Tidur yang lama."

"Apa?" Ulang ku tanpa sadar. Kaget.  Perubahan suasana hati ibu benar-benar sejauh langit dan bumi. 

"Semuanya biar ibu yang kerjakan." Ibuku bersenandung, "Kala, rumah kita kembali. Hutang ibu di anggap lunas oleh pak Nawa atas ijin Hugo. Ibu bahagia. Ibu bahagia sekali. Terimakasih Kala. Kamu anak ibu yang paling berharga. Terimakasih karena sudah menyelamatkan keluarga kita."

.....

"Kala?! Kau apakan anak laki-laki pak Hoheng itu. Kenapa dia jadi seperti terkena penyakit sawan?" Seru Mbah Djiwo. Duduk di singgasana biasanya di pagi hari. Di depan rumahku. 

Aku membeku. Sudah kuduga.  Aku tau. Aku tau sekali bahwa pasti akan  ada satu dua orang tetanggaku yang akan sadar bahwa tingkah Hugo memang aneh. Seperti kata Mbah Djiwo sebelumnya, seperti terkena sawan.

"Mbah lihat kemarin, anak pak Hoheng itu menggandeng tanganmu pergi ke hutan. Bisa-bisanya anak gadis perawan mau diajak berbuat begitu. Hanya berduaan di hutan. Apa jadi selama ini pekerjaan mu begitu? Main api dengan Hugo di hutan? Pantas saja selama ini kau betah sekali kesana."

"Hugo itu Ayam Gallus seperti mu. Ras campuran seperti anjing. Apa jangan-jangan memang begitu? Alasan kenapa Hugo tertarik padamu? Kalian kan sama. "

"Orang seperti mu dan nenek mu memang seharusnya tidak cocok menikah dengan pribumi. Kasihan pribumi-pribumi. Jangan sampai mereka berakhir sama seperti bapakmu. "

"Iya Mbah." Aku mengangguk-angguk. Respon biasa ku. Berusaha tetap sibuk mengelap meja. Mengabaikan para tetangga ku yang lain yang ikut tumplek blek di kursi-kursi restauran keluargaku yang belum buka.

Mereka kompak menatapku penasaran. menonton segala gerak-gerik ku. Masih dalam diam tapi aku tau, para orang-orang tua pengangguran di depanku ini hanya sedang sibuk menyusun-nyusun kalimat, menunggu bisa memotong kalimat Mbah Djiwo.

"Kala!" Teriak Ibuku mendadak dari dalam rumah disertai langkah kaki beliau yang tergopoh-gopoh mendekati ku,  "Ngapain kamu disini, Kala? Istirahat saja. Istirahat saja. Biar ibu yang bereskan."

"Apa kau juga kena sawan, Sara?" Umpat Mbah Djiwo pada ibuku,-ah ya nama ibu ku Aksara. "kenapa kau tiba-tiba semangat bekerja begini. Padahal biasanya kau diam saja seperti ayam."

Wajah ibuku menegang, Serta merta beliau menggebrak meja, "Satu kali lagi Mbah menyamakan anakku dan aku sebagai ayam. Akan ku lempar meja ini ke rumah Mbah. "

"Apa kau berani anak kurang ajar!" Semprot Mbah Djiwo. 

Aku menepuk wajahku gemas. Hatiku semakin porak poranda.  Duniaku benar-benar sudah jungkir balik dalam waktu satu malam. Aku tidak suka situasi ini. 

"Sudah ibu. Sudah." Aku menarik tangan ibuku untuk menarik perhatian Beliau. Tapi bukannya berhenti bicara ibuku malah berseloroh. 

"Nanti kalau Hugo sudah jadi menantuku. Akan kubeli rumahmu Mbah, sampai ke debu-debu nya."

Mbah Djiwo tertawa, "Jangan mimpi ketinggian! Kalau anakmu, Kala bisa menikah dengan Hugo maka cucu ku Puja bisa menikah dengan pak Gunther!"

"Ya silahkan saja serahkan cucumu ke kakek-kakek tua!!" Teriak ibuku marah sambil menggeret ku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan para tetanggaku yang kecewa karena bahan tontonan mereka telah pergi.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang