Aku mengerjapkan mata, heran dengan cara ayam itu memandangku. Tidak wajar. Aneh.
Aku belum pernah melihat hewan apapun di gunung menatapku dengan tatapan itu.
Seakan-akan ia juga manusia.
Pikiranku masih melayang saat pintu di belakangku berderit. Suara deritan mengerikan. Kayu lapuk bercampur besi berkarat.
Aku melompat kaget. Di belakangku, di balik pintu berdiri wanita tua. Setua nenek Djiwo. Wajahnya asing. Aku tidak pernah mengenali nenek tua ini seumur hidupku. Jelas beliau bukan warga desaku.
"Maaf." Seruku dan entah kenapa otakku memproses informasi asing acak, membuatku menebak-nebak apakah nenek tua di hadapanku ini adalah saudara jauh Mbah Nata yang sekarang entah dengan alasan apa menempati rumah Mbah Nata, "Maaf nek, saya tidak tau rumah ini sekarang ada penghuninya."
"Tidak apa, tidak apa-apa anak cantik." Ucap nenek tua itu. Bibir mengkerut nya tersenyum padaku, memunculkan sensasi aneh pada tubuhku seakan aku kedinginan.
Mataku membulat dan aku buru-buru menghapus sisa tangisan di wajahku. Aku jarang-jarang menemukan nenek tua satu angkatan dengan Mbah Djiwo; yang ketika melihat rambut coklat terangku, tidak di kuasai phobia konyol, phobia masa lalu. Seakan aku bagian dari penghianat bangsa. Gundik kompeni.
Sambil tersenyum nenek itu mengalihkan matanya. Tersenyum pada ayam putih di hadapanku yang sekarang sudah bertingkah kembali selayaknya seekor ayam. Mematuk-matuk tanah.
"Ayam Mbah tadi hilang. Mbah sudah cari kemana-mana. Apa kamu yang menemukan ayam Mbah?"
Aku terdiam sesaat, terpesona pada senyum nenek tua didepan ku ini. Ia tua tapi cantik. Menua dengan sangat cantik terlepas dari desain bajunya yang kuno dan sederhana.
"Kamu yang menemukan ayam Mbah?" Tanya Mbah itu sekali lagi dengan mata terarah langsung menatapku. Mata se hitam batu yang menusukku.
Seperti terhipnotis aku mengangguk.
"Ayam Gallus. Kesayangan nenek." Ucap nenek itu sambil menepuk-nepuk puncak kepalaku, kemudian turun mengelus Rambutku yang coklat Ikal terang, "Terimakasih ya sudah menemukan peliharaan kesayangan nenek."
Mataku semakin terbelalak. Bingung dan disorientasi, "Iya nek."
"Anak cantik. Semua orang pasti bilang kamu cantik." Tiba-tiba nenek itu melanjutkan berkata sesuatu yang membuatku kikuk, "Namamu siapa, Nok?"
"Kala."
Mata nenek itu berkelip gembira, "Kala, kamu ingin sesuatu?"
"Maksudnya nek? Kenapa nenek tanya begitu?"
"Karena semua manusia pasti punya sesuatu yang paling mereka mau."
"Yang aku mau banyak, nenek." Aku menjawab jujur sementara nenek tua itu perlahan duduk di sampingku. Badannya tua dan ringkih, namun suaranya masih jelas dan tawanya renyah.
"Nenek tau. Manusia kan memang begitu."
"Kalau gitu, aku minta nenek sehat ya. Jangan lupa makan. Jangan lupa istirahat. Jangan sampai ayam kesayangan nenek berkeliaran lagi di hutan. Bahaya. Sama nenek tinggal disini sendirian ya? Hati-hati ya, batu di sekitar pohon itu licin. Tapi kalau nenek jalan lurus sekitar lima menit dari sana, nenek bakal nemuin semak kerben."
"Iya." Nenek mengangguk-angguk tawanya semakin renyah, "Ada lagi yang kamu mau?"
Aku mengerutkan kening, banyak yang aku mau. Sesuatu yang nenek di hadapanku mustahil bisa beliau kabulkan. Yang ada aku malah bisa membuat tekanan darah nenek ini jadi tinggi. Terkena asam urat, asam lambung, penyakit-penyakit stress pada umumnya.
Paling penting, jangan sampai aku nenularkan stress ku pada beliau.
Lagipula aku juga tak punya hati untuk berkata, gubuk Mbah Nata;- sekarang gubug nenek juga termasuk dalam wilayah yang di kuasai keluarga Hoheng.
Bisa dibilang; terancam di gusur dalam waktu dekat.
"Nggak ada." Aku menggeleng.
Nenek menatapku lebih tajam, "Umurmu sekarang berapa ? Apa kamu belum mau menikah? Anak secantik kamu pasti banyak laki-laki yang mau."
Aku bergumam tidak jelas, biasanya bagi golongan nenek-nenek aku sejelek ayam, tapi untuk orang-orang seumuran ku, aku selalu di anggap cantik dan mereka juga bilang, aku pasti lebih cantik lagi seandainya saja keluargaku tidak punya hutang.
Lagipula laki-laki waras mana yang mau melamar anak perempuan yang keluarganya terkenal punya hutang dimana-mana?
"Ya. Aku mau menikah." Jawabku. Siapa juga yang tidak mau menikah. Hati kecilku selalu tau, aku selalu ingin punya keluarga yang normal dan bahagia.
"Dengan?"
"Kalau sekarang, nggak ada yang benar-benar ingin aku nikahi nek."
"Apa nggak ada laki-laki yang kamu suka?"
Aku menggeleng, semua laki-laki yang kukenal adalah laki-laki yang tumbuh besar bersamaku sejak kecil. Lingkup hidupku tetap kecil walaupun desaku sudah berubah menjadi desa wisata yang ramai.
Sampai aku belum pernah benar-benar jatuh cinta.
"Kalau Hugo bagaimana?"
Aku tertawa, nenek di sebelahku sedang bercanda. Biasanya tidak ada orang desaku yang berani menyebut nama Hugo apalagi sebagai bahan bercandaan. Disaat yang sama aku juga terkejut, sebagai seorang pendatang, ternyata nenek juga kenal Hugo. Tapi siapa juga yang tidak kenal keluarga Hohenstaufen schonberg?
"Ya, ya boleh." Jawabku ikut bercanda.
"Ya." Nenek itu mengangguk, kembali mengelus kepalaku. Jemari kasarnya turun dari menyentuh rambut ke dahi ku.
Detik selanjutnya, angin berhembus kencang , mengaburkan pandanganku dan saat aku membuka mata, aku ada di hadapan nenek Djiwo yang ngomel sementara tanganku memegang kain lap.
Di pagi hari yang kuingat.
Yang terjadi berjam-jam yang lalu.
![](https://img.wattpad.com/cover/186925926-288-k726465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomansaMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...