Part 28

504 93 2
                                    

"Ayah selama ini sebenarnya cerita apa dengan Hugo?" Tanyaku pada ayahku yang terbaring di kasur beliau.

Ayahku balas memandangku, di sudut matanya ada sedikit air mata dan mulutnya terus mengerang. Itu cara Ayahku bicara sekarang.  Tidak jelas.

"Apa ayah dulu sering pergi dengan Hugo? Kenapa ayah tidak pernah cerita?" Gumamku kembali. Ayahku kembali mengerang lagi.  Aku hanya menelengkan kepala. Inilah caraku sekarang berkomunikasi dengan ayah. Aku yang terus berbicara sementara ayahku biasanya hanya diam atau mengerang-erang. 

Tapi ini hari tercerewet ayahku, sedari pagi Ayahku terus berusaha menggerakkan tubuhnya yang membatu sambil mengeluarkan suara-suara keras. Aku dan ibuku tidak paham maksud ayah. Yang aku tau, penyebabnya mungkin karena se vas bunga Lily of valley yang aku letakan di samping tempat tidur beliau. Harum bunga itu semerbak mengalahkan bunga mawar. Anehnya membuat ayah lebih aktif dari biasanya. 

"Ayahmu tau, bunga Lily of valley itu pasti bukan kamu yang petik sendiri." kata ibuku sambil bersenandung gembira memandangi seluruh rumah yang penuh bunga, "Karena kamu belum pernah memetik bunga untuk mu sendiri."

"Apa ayah nggak suka bau bunga Lily of valley? Apa harus di keluarkan dari kamar ayah ?"

"Jangan! Biar saja bunga itu disana. Bau bunga lebih bagus dari bau orang tua yang sudah tidak bisa bangun dari kasur."

"Bau nya bisa hilang,Bu. Kalau jendela kamar ayah tidak di paku lagi.  Jadi bisa berganti udara."

"Supaya kamu bisa kabur begitu? APA KAMU LUPA KAMU HARUS DATANG KE RUMAH HUGO SETIAP HARI?" Ibuku menatapku tidak percaya sementara jemarinya terus menata bunga-bunga berjejer supaya rapih menghias seluruh sudut rumahku, "Biar saja, toh ayahmu tidak bisa lihat sendiri seluruh bunga-bunga yang ada di rumah."

"Aku nggak akan kabur lagi." Bantahku, tepatnya aku tidak bisa kabur lagi.

Aku menghela  nafas dan berjalan meninggalkan ibuku dari ruang keluarga rumahku untuk pergi ke kamarku sendiri. Kamar ku tidak bebas dari bunga juga.  Ada ber buket-buket bunga berjajar, seperti pasar induk bunga pindah tempat kesini.  Ada bermacam-macam bunga, tapi yang paling menggangguku karena ada sebuket bunga Hydragea juga. Bunga favoritku

"Kasihan." Bisik ku pada bunga-bunga ini. Aku lebih suka melihat bunga menancap di tanah, tumbuh liar daripada tertata cantik di rumahku. Karena mereka selalu layu lebih cepat. Mati lebih cepat. 

Disaat aku masih melamun suara seseorang berjalan di depan pintu kamarku menggangguku, aku menoleh kebelakang. Ada rasa marah samar. Rasa marahku pada ibuku. Tapi yang ada di belakangku adalah pak Kadus, pengunjung tetap rumahku. Beliau memakai kemeja kebanggaannya. Beliau memang selalu tampil rapih bersih setiap datang ke rumahku hanya untuk menemui ayahku yang berbau ompol. 

"Apa semua bunga ini dari Hugo?"

"Iya."

"Apa selama seminggu ini kamu juga selalu di jemput pak Nawa untuk pergi ke cabin milik Hugo?"

"Ya."

"Kenapa kamu harus selalu kesana?"

Aku hanya mengangkat bahu karena semuanya terlalu panjang untuk di jelaskan.

"Pantas saja semua tetanggamu sibuk kasak kusuk di depan rumahmu."

Pak Kadus tersenyum singkat padaku, jemarinya mengelus salah satu bunga, siapa pula yang tahan untuk tidak menyentuh bunga-bunga ini, "Apa Hugo tau kamu nggak suka bunga yang di petik?"

Aku menggeleng, hatiku terdalam saja sangsi apa Hugo tau apa makanan minuman kesukaanku atau kegiatan favoritku. 

"Pak Kadus, apa bapak tau kenapa Hugo bisa kenal dengan ayah?" Tanyaku ragu. 

"Karena ayahmu yang mengajari Hugo berburu, Kala." Jawab pak Kadus dan ekspresi nya berubah heran, "Apa Ayahmu sama sekali tidak pernah cerita ?"

"Dari Hugo kecil, ayahmu yang mengajari beliau cara merawat rusa, cara berburu binatang liar, cara membuka jalur pendakian, hampir seluruh soal gunung, danau, semua tentang desa ini ayahmu yang memberitahu Hugo."

"Apa menurutmu, pendapatan ayahmu hanya dari bertani itu cukup? Itu alasan kenapa kamu dan ibumu tidak pernah kekurangan sampai ayahmu jatuh sakit. Karena keluarga Hugo membalas ilmu ayahmu dengan uang."

"Termasuk alasan kenapa Ayahmu bisa berbagi beras ke Mbah Nata, penjual tahu itu dan nenek-nenek yang tinggal di batas vegetasi gunung."

Aku tersentak, lebih dari sebelumnya, jantungku sampai berdetak sangat keras hingga seluruh tubuhku berubah dingin setelah mendengar kalimat terakhir pak Kadus, "Nenek yang mana ?"

Pak Kadus mengangkat bahu, "Bapak hanya pernah mendengar cerita dari ayahmu. Hanya Ayahmu dan Hugo yang tau tepatnya dimana nenek itu tinggal."

"Apa ada warga desa yang kenal nenek itu selain ayah?"

Pak Kadus mengerutkan kening, "Nenek itu sudah lama di tinggal di gunung, di tinggalkan anaknya disana.  Tidak banyak yang kenal karena nenek juga tidak mau di kenal. Tapi Kala, jangan berusaha untuk selalu jadi seperti ayahmu, tidak semua orang bisa kita tolong.  Lebih baik kamu fokus dengan hidupmu.  Kalau suatu saat kamu menikah dengan Hugo, bukannya kamu bisa mengobati Ayahmu? Tolonglah keluargamu dulu sebelum orang lain. Bapak yakin, Ayahmu bisa kembali seperti dulu lagi dengan terapi yang baik."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang