Part 57

395 81 10
                                    

"Hugo, apa boleh tuan rumah pergi lebih dulu dari pesta yang dia buat?" Tanyaku, berusaha berbicara dengan nada normal disaat bibir Hugo terus mencium bibirku.

"Apa ada orang yang berani melarang ku melakukan sesuatu?"

Aku menggeleng, memejamkan mata berusaha mengalihkan wajah dengan menunduk. Tapi Hugo terus menarik wajahku. Menciumku berkali-kali. Sekeras apapun aku menghindar.

"Apa kamu lebih suka aku menciummu di tengah aula?"

Pipiku meledak merah.

"Aku sudah cukup sabar mau menarikmu dulu kesini sebelum menciummu, Kala."

Tanpa sadar aku melirik ke kanan kiri. Aku dan Hugo berada di bangunan besar kosong terbuka berbentuk kuno klasik di pinggir dermaga danau Rettatisna. Diantara bunga Daisy, mawar dan hutan pinus. Di bawah kabut dan rintik hujan. Jauh disana, di bangunan yang lain, aku masih bisa melihat cahaya ruang perjamuan menari-nari hangat bersamaan dengan gemerlap pesta dan hiruk pikuknya yang timbul tenggelam.

Aku tidak punya banyak waktu memperhatikan. Karena Hugo kembali menciumku. Lebih kasar dan menuntut dari sebelumnya. Memelukku seerat mungkin. Mencengkram rambutku. Membuatku kehabisan nafas.

"Hugo. Hugo." Panggilku parau. Nada suaraku jauh lebih kacau sekarang. Tidak terkontrol, "Jangan sekarang. Jangan disini." Aku memohon-mohon disaat jemari Hugo mulai menyentuhku seluruh tubuhku.

"Apa aku bisa sabar menunggu sampai kita kembali ke kamar?" Tanya Hugo, bibirnya kembali melumat bibirku.

"Harus bisa." Aku menelan ludah, "Hugo pasti bisa."

"Tidak ada orang disini, Kala."

Aku meringis. Ingatanku kembali pada kerumunan orang disekitarku tadi di aula. Warga desa polos tak tau apa-apa itu hanya bisa berdiri bengong, menatap Hugo memelukku erat-erat di depan semua orang. Mulut mereka terang-terangan melongo-respon normal, berpelukan bukan budaya umum di desa Sembagi.

Apalagi ciuman.

Cara Hugo menciumku sekarang bisa membuat siapapun yang tidak sengaja melihat, mati berdiri.

"Berhenti..."

"Kenapa? Bukannya kamu suka aku Kala?" Tuntut Hugo. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya berubah memburu dan jemari Hugo perlahan menyentuh bagian bawah gaunku.

"Tapi apa Hugo juga suka aku? Suka karena itu aku. Bukan karena sihir? Bukan karena ada alasan?"

Mata Hugo mengeras. Rahangnya menegang. Akhirnya Hugo berhenti menciumku, "Aku menikah denganmu Kala. Apa itu kurang jelas?"

Tapi ayahku juga menikah dengan ibuku dan pak Phraya juga menikah dengan istrinya, Hatiku berteriak, menikah bukan berarti mengubah segalanya.

"Kalau bukan karena sihir nenek. Hugo tidak akan pernah menikah denganku."

"Ya." Hugo menggertakan gigi, "Kuakui."

Aku dan Hugo terdiam. Mata kami bertatapan. Mata abu-abu tajam itu menusukku, hatiku.

Kejujuran yang menyakitkan.

Aku tau seandainya nenek tidak pernah ada. Detik ini, saat ini, Hugo mungkin hanya akan tetap diam menatapku dari kejauhan sementara aku menjadi gelandangan tidak punya rumah. Tidak punya masa depan. Tidak punya apa-apa kecuali ayahku untuk di rawat sampai mati.

"Jangan berpikir untuk mencari nenek itu lagi." Tiba-tiba Hugo menggertak ku, mengembalikan perhatianku padanya. Di depanku mata Hugo menyala curiga bercampur marah,  "JANGAN COBA-COBA UNTUK PERGI LAGI SENDIRIAN KE HUTAN."

"Aku nggak akan pergi kemana-mana Hugo." Aku menundukan kepala, menghindari tatapan mata Hugo.

"Lupakan nenek itu, kala."

"Tapi aku belum bilang terimakasih pada nenek." Ucapku pelan. Selembut mungkin supaya kemarahan Hugo tidak semakin meledak, "Kalau bukan karena nenek, hidupku tidak seperti ini. Tidak sebaik ini."

"Nenek itu bukan sesuatu yang bisa di cari seperti benda. Kamu bahkan tidak tau nenek itu apa dan siapa. Jadi apa yang kamu cari? Dimana akan kamu cari? Sebetulnya apa yang kamu mau?!"

"Tapi kalau bukan karena beliau aku nggak akan pernah bisa di samping Hugo." Tambahku lemah sementara jemariku mulai gemetaran dan mataku memerah menahan tangis.

Hugo mengacak rambutnya jengkel.

"Ada sesuatu juga yang ingin kutanyakan ke nenek, Hugo." Ucapku, aku tau kejujuranku pun menyakitkan untuk Hugo. Karena Hugo membalas ucapanku dengan raut frutasi, "Karena keberuntungan sebanyak ini, pasti ada harga yang harus ku bayar. Iya kan?"

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang