Part 50

409 88 15
                                    

Hugo menatap ayahnya memakan steak daging dengan gerakan mekanis tertata rapih. Sesuai sistem-peraturan. Seperti robot.

Meja makan sunyi. Lebih sunyi dari hutan.

Hugo tau. Ayahnya bukan orang jahat. Terkadang beliau justru lebih dari Santa. Murah hati. Tapi jangan harap, siapapun bisa datang bertamu mendadak menemui ayahnya. Harus sesuai sistem. Harus perjanjian minimal dua tiga bulan sebelumnya. Disiplin, kaku, otoriter termasuk pada anaknya sendiri.

Tidak ada acara ramah tamah menyuguhi tamu tak di undang dengan berbagai macam makanan. Paling bagus air putih atau malah tidak di hidangkan apapun sama sekali.

Tidak ada basa-basi.

Mustahil Hugo mendengar kalimat protokol ala kaum pribumi dari ayahnya yang menanyakan kapan dirinya menikah, apalagi punya anak. Semua tentang sistem, pekerjaan, sehubungan dengan itu. Tidak pernah jauh dari itu.

"Vati?-ayah." Panggil Hugo.

Ayah nya mendongak, tersenyum formal.

Hugo menarik nafas lalu berkata, "Saya tidak mau kembali ke Jerman. Saya ingin tinggal disini, Arutala. Selamanya dengan Kala."

.....................

Aku berjalan pelan, bukannya aku tidak mau berlari tapi aku tidak bisa berlari. Kakiku, badanku semuanya masih terasa sakit dan berjalan di jalan berbatuan merah Arutala tidak ada bedanya berjalan di runaway. Semua pegawai Arutala selalu menatapku, menilaiku.  Istri dari bos bos bos bosnya mereka, orang pribumi biasa yang ketiban rejeki nomplok yang biasanya hanya mendekam di rumah atau di kebun tiba-tiba keluar dari paviliun. Sendirian.

Aku jarang keluar dari paviliun tanpa di temani oleh Hugo atau pak Nawa. Selalu ada orang lain dan selalu menaiki kendaraan karena Arutala sudah tidak bisa di bilang kecil, tapi sangat besar.

Tapi sekarang aku tidak tau, apa aku harus minta ijin Hugo saat akan pergi. Atau meminta pak Nawa untuk mengantarku. Aku tidak tau apa aku masih punya hak itu? Atau aku sudah di biarkan bebas saja karena Hugo sudah tidak peduli lagi pada nasibku.

Tadinya aku sempat berpikir pergi ke paviliun milik ayah ibuku. Tapi aku tau. Bercerita pada ayahku yang mematung hanya bisa membuat ayahku makin menderita. Pergi ke rumah lamaku juga tidak bisa. Rumahku selalu ramai pengunjung restauran. Mustahil juga bicara dengan ibu kecuali mau nambah masalah.

Sayangnya mendekam di paviliun Hugo lebih menakutkan dari tatapan penduduk desa,- pegawai Arutala, yang tajam menilai gerak-gerikku. Setiap sudut paviliun mengingatkanku pada Hugo, pada dosaku. Pada harapanku yang kosong.

Jadi aku berusaha tidak peduli. Berjalan mengelilingi danau. Memberi makan rusa-rusa. Menghabiskan waktu. Menatap sisa festival berkat bumi. Mengagumi bianglala besar berwarna-warni yang seumur hidup belum pernah kunaiki dan hanya bisa kupandangi.

Sampai akhirnya, gesekan daun dan suara binatang hutan menggelitikku. Aku masih punya tempat untuk kembali. Hutan. Hutan pinus diantara semak Hydragea. Tempatku bisa merasa sendiri. Kenapa aku melupakan tempat itu?

Akhirnya aku mulai berjalan, menembus hutan. Terus melangkah. Termenung. Beratus langkah yang tidak kuingat. Untungnya kakiku punya ingatan naluri. Ia melangkah autopilot ke tempat yang memang aku pahami.

Waktu berlalu, sore menjelang dan aku sampai di semak Hydragea.

Langit mulai berubah menjadi jingga dan kakiku lebih sakit dari sebelumnya. Jadi aku terduduk di antara akar pohon. Memeluk lututku seerat mungkin dan meletakan daguku disana. Memandangi kabut sore yang perlahan turun dan hujan rintik-rintik yang sama seperti masa kecilku.

Dari kejauhan aku juga bisa melihat gubug Mbah nata-gubug nenek sudah ambruk. Rusak. Karena aku. 

Apa aku harus bertemu nenek lagi untuk minta maaf karena rumahnya sudah kuhancurkan?

Anehnya di detik itu juga. Sayup-sayup aku mendengar suara nenek. Suara itu merayuku. Seperti membiusku untuk bangun melangkah. Menanjak lereng. Melewati punggung naga. Membelah gunung. Menaiki tebing hingga ke batas vegetasi.

"KALA?!"

Aku tersentak. Rayuan sayup menghilang. Bayangan nenekpun melebur bersamaan dengan wajah Hugo yang banjir keringat menjulang di depanku.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Bingung dan disorientasi. Di depanku bukan hanya Hugo, tapi ada dua orang lain bertubuh tinggi besar. Para penjaga keamanan di Arutala.

"Kalian boleh pergi sekarang." Perintah Hugo pada orang-orang itu sebelum duduk berlutut di depanku.

"Hugo tau aku disini? Bukannya Hugo seharusnya masih bekerja?" Nafasku tertahan. Perasaanku bercampur aduk.

"Kamu di ikuti mereka sejak awal dan kamu nggak sadar." Hugo menggertakan Gigi, " Separah itu, kamu?!"

"Hugo ngikuti aku daritadi?"

"Bukan aku." Hugo mengendikkan kepala gusar kepada dua orang yang melangkah menjauh, "Mereka."

"Kenapa? Apa Hugo yang minta?"

"KARENA KAMU PASTI CARI NENEK SIALAN ITU LAGI." Gertak Hugo. Aku bisa melihat buku jari Hugo memutih dan rahangnya mengeras. Hugo marah. Marah besar.

"NGGAK!" Dengan panik aku buru-buru berseru, "Aku nggak cari nenek! Aku nggak cari siapa-siapa. Aku nggak akan minta nenek, siapapun untuk mem pelet Hugo lagi!"

Alis Hugo terangkat dan entah kenapa kemarahan Hugo seakan sedikit mereda di gantikan ekspresi aneh, "Pelet?" Ulangnya.

"Iya." Aku mengangguk gugup, "Pelet. Sihir. Mengutuk, pokoknya yang begitu."

"Pelet." Suara Hugo mendesis, kali ini seperti mati-matian menahan geli padahal aku sendiri tidak tau bagian mana lucunya dari kata pelet. Bukannya istilah itu seharusnya seram?

"Di Jerman nggak ada pelet?"

Hugo benar-benar tak tahan untuk tak tertawa kali ini, "Nggak ada, Kala."

"Ramuan cinta, guna-guna, santet?"

"Berhenti nyebut istilah aneh."

Aku menggigiti bibir seperti bayi sebelum menunduk, "Maaf."

"Pelet itu tertuju pada orang yang tidak pernah benar-benar suka." Gerutu Hugo sementara jemarinya mulai memeriksa luka di kakiku dengan perlahan, "Tapi aku sendiri tidak bisa berhenti peduli padamu sejak dulu. Jadi kesimpulanmu apa?"

"Tapi daridulu Hugo nggak pernah benar-benar kenal aku." Itu benar, aku dan Hugo tidak pernah mengobrol satu patah katapun sebelum aku bertemu dengan nenek.

"Salah ayahmu." Jawab Hugo cepat dan dengan cepat pula dalam sekedipan mata, Hugo menarikku ke atas punggungnya. Menggendongku dengan aman di sana.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang