Part 26

535 104 11
                                    

Kamu harus bertanggung jawab Kala. 

Aku bisa mendengar langkah kakiku sendiri. Melangkah di lantai marmer yang dingin. Menyusuri wilayah yang seumur hidup belum pernah kulihat.  Bangunan besar terpisah di bagian barat hotel Arutala yang berbatasan langsung dengan hutan pinus. 

Bangunan ini terdiri dari dua lantai.  Dari bentuknya jelas bukan hotel. Bentuknya seperti bangunan eropa, di dominasi kaca yang sebagian menghadap langsung ke danau dan sebagian yang lain menghadap ke hutan. 

Begitu pintu depan bangunan itu di buka oleh pak Nawa aku langsung bisa melihat grand piano berwarna putih, di antara sofa-sofa empuk nyaman. Di depan sofa itu ada tembok kaca panjang yang memisahkan antara ruangan penuh sofa-sofa lain dan ruang makan mewah.  Disisi lain ada tangga berputar yang di keliling oleh jendela kaca berbentuk setengah silinder yang menghadap ke deretan pohon Cemara. 

Kakiku terus melangkah sekalipun sebagian hatiku berteriak tidak mau dan sebagian yang lain tidak punya pilihan. 

Langkahku baru berhenti ketika pak Nawa berhenti di salah satu pintu besar lain. Di lantai dua.

"Ini kamar pak Hugo." Ujar pak Nawa sebelum beliau menunduk dengan sopan padaku. 

Dalam mimpiku, aku tak pernah membayangkan seorang pak Nawa bisa menunduk sopan padaku, jadi aku tidak tau harus berbuat apa selain bertanya canggung, "Apa saya harus masuk ke kamar Hugo?"

"Ya, karena pak Hugo ada disana."

"Tapi ini kamar."

"Tidak apa-apa, saya kan ada di luar."

Aku mendengus sangsi. 

"Pak Hugo sakit, Kala. Beliau betul-betul sakit." Tambah pak Nawa, kali ini wajahnya berubah putus asa. 

Aku terus menatap pak Nawa curiga.  Seumur hidup aku belum pernah masuk kamar laki-laki dan belum pernah ada laki-laki masuk ke kamarku.  Untukku kamar tempat personal dan kamar Hugo jauh lebih personal.  Aku juga tidak akan pernah lupa, Hugo orang yang bisa mencium ku berkali-kali di tempat umum, jadi bisa di bayangkan seberapa berbahaya nya kamarnya

"Tolong Kala." Pinta pak Nawa, wajahnya semakin putus asa, "Saya banyak hutang Budi dengan pak Hugo dan keluarga beliau. Saya nggak mau beliau kenapa-kenapa. Tolong bujuk pak Hugo.  Karena sepertinya hanya kamu yang bisa."

"Tolong percaya saya. Pak Hugo benar-benar sakit.  Beliau mulai sakit semenjak kamu tidak mau menemui beliau. Tidak mau membalas surat-surat beliau."

"Tolong Kala.  Tolong."

Kamu harus bertanggung jawab Kala, kamu harus bertanggung jawab. 

Aku meringis ngeri. Ini salahku.  Memang salahku.  Aku tidak bisa menghindar lari lagi. 

"Hanya sebentar." Gumamku pada akhirnya dan hanya dalam sedetik pak Nawa langsung buru-buru mengetuk pintu, seperti takut aku berubah pikiran. 

Tidak ada jalan kembali ketika pak Nawa membuka pintu dan hampir seperti menarik ku masuk. 

Kamar Hugo seindah rumah ini. Tempat tidur besarnya tepat di tengah ruangan menghadap langsung kaca sangat besar selebar dinding yang menghadap langsung ke hutan pinus. 

Untuk sesaat aku terpesona.  Aku belum pernah melihat hutan pinus diantara kabut dalam sudut pandang ini.  Membuat anehnya bulu kudukku meremang. 

Tapi pesona ruangan ini tidak sebanding dengan pesona seseorang yang terbaring di kasur. Wajahnya pucat dan sedikit kuyu namun  ia tetap serupa pahatan patung yang sempurna.  Bukti bahwa dunia memang seringkali tidak adil.

"Kala." Suara berat Hugo memanggilku. 

Aku mematung sementara pak Nawa secepat kilat menutup pintu kamar. 

Selama beberapa detik aku tetap bertahan dalam posisi yang sama dan baru bergerak ketika Hugo menggeser posisi selimutnya seperti hendak berdiri dari kasur untuk mendatangi ku. 

"Berhenti." Aku perlahan melangkahkan kaki, dan karena aku terbiasa merawat orang sakit, maka secara reflek aku menyentuh lengan Hugo yang sekeras batu untuk memaksa nya tetap di kasur, "Hugo harus istirahat."

"Nggak.  Nggak.  Karena kamu ada disini." Jawab Hugo dan mata abu-abu nya menatapku seperti aku hal yang paling ia inginkan sedunia. 

Aku membalas tatapan Hugo. Memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, Hugo memakai  kaus hitam, celana panjang abu-abu, Rambutnya lembab.  Ada sedikit lingkaran hitam di bawah matanya dan kelihatan jelas memang berat badannya turun drastis dalam waktu mendadak, "Badanmu panas, Hugo."

"Oh, kukira sudah turun." Balas Hugo dengan senyum ceria. 

Aku menggigit bibir khawatir, kondisi Hugo benar-benar memprihatinkan,  tepat seperti cerita pak  Nawa sepanjang jalan menuju kesini, "Apa Hugo sudah makan minum? Hugo sudah minum obat kan?" Tanyaku, sambil menyentuh dahi dan pipi Hugo. 

"Karena kamu sudah disini, aku bakal makan dan minum obat."

Seketika hatiku kembali kelu bukan oleh rasa marah tapi rasa bersalah. Apa memang separah ini sihir nenek ?

"Tanpa aku disini, Hugo tetap harus makan dan minum obat."

"Ya, selama kamu ada." Hugo tersenyum, menarik jemariku dan mencium nya perlahan, "Jangan pergi. Jangan menghindar lagi, Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang