Part 69

521 78 31
                                    

"Apa tidak ada laki-laki yang menarik perhatian mu di desa?" Tanya ibu sambil memotong-motong bahan makanan restauran dengan cemberut.

Aku mendongak dari kesibukanku mengelap meja restauran untuk menjawab singkat, "Nggak ada."

"Seharusnya ada! Umurmu sudah enam belas tahun. Ingat, teman sebangku mu waktu SD saja, sudah di pinang."

"Itu karena Melati sudah hamil duluan Bu."

"Kala." Ibuku menggerutu, tidak mau kalah, "Kodrat wanita itu pada akhirnya menikah, melahirkan, mengurus dapur."

Tanpa sadar aku tertawa. Lucu aja kedengarannya. Tapi tawaku malah membuat ibuku muntab, "Kalau memang tidak ada laki-laki desa Sembagi yang menarik buatmu, coba kamu lebih sering ke alun-alun. Lebih banyak bertemu orang dari desa lain. Supaya kamu ketemu jodohmu! Bukannya main terus di hutan, bisa-bisa jodohmu demit!"

"Iya ibu." Jawabku lembut, sambil mengangguk-angguk, setelah itu aku berhenti mengelap meja, menatap jauh kedepan, menebus hujan yang sedang turun, melewati Padang rumput menuju ke penginapan Arutala nun jauh di dekat danau, "Ibu sendiri, mau jodohku yang seperti apa?"

"Ibu berdoa setiap hari, setiap hujan turun, semoga jodohmu kaya raya, pintar,sehat, tampan, bertanggung jawab!" Jawab ibuku, tanpa berkurang cemberutnya ibuku melanjutkan, "Seperti Hugo."

.....................

Aku menoleh ketika melewati tempat itu, tempat yang kuingat penuh dengan rusa telah kosong dan sepi. Hanya di isi rintik hujan dan rerumputan. Aku tidak bisa melihat satu rusa pun. Sama sekali.

"Jangan di lihat." Ujar Hugo, dengan satu tangan ia memegang stir mobil sementara tangan satunya menarik wajahku untuk mengalihkan pandangan untuk menatapnya.

"Kemana rusa-rusa itu?" Tanyaku sedih karena aku merasa aku tau jawabannya, "Apa di korbankan untuk ritual?"

Hugo terdiam cukup lama sebelum mengangguk, "Ya."

"Mereka semua? Sebanyak itu?"

"Ada harga yang harus di bayar untuk setiap ritual."

Aku menggigit bibir, menahan perasaanku, "Aku tau. Aku pernah melihat ritual Ambara sebelumnya, waktu aku kecil."

Hugo menggertakkan gigi, "Seharusnya anak kecil tidak boleh melihat ritual Ambara."

"Satu rusa untuk satu lentera api yang kulihat di Anagata." Ucapku, tercekat, memotong kalimat Hugo, "Tapi aku nggak suka.... Aku nggak suka membunuh binatang. Aku nggak suka ada hewan yang mati karena aku."

"Hidup itu seperti itu, membunuh atau di bunuh." Geram Hugo dengan kasar Hugo menepikan mobilnya, "Atau kamu lebih suka aku membunuh seluruh tetua adat daripada rusa? Mereka memang lebih bagus mati daripada hidup."

"Hugo!" Seruku kaget, "Jangan bicara sembarang. Sekarang hujan. Gimana kalau doamu di dengar?"

"Kala hujan." Hugo menggeram di ikuti bibirnya yang menyeringai menakutkan, "Seandainya bukan ayahku pemilik Arutala dan bukan aku pewarisnya, apa aku akan di hormati seperti sekarang? Bagi mereka, bukannya darahku seharusnya sekotor darahmu?"

"Sifat manusia bisa di beli, tergantung seberapa banyak keuntungan yang mereka bisa dapatkan. Kamu mungkin tidak tau karena kamu tidak melihat sendiri wajah mereka ketika aku mengancam akan menutup Arutala dan seluruh fasilitas yang ada di desa jika kamu tidak di temukan."

"Para tetua adat itu dari awal tidak pernah benar-benar mau untuk mencari mu, Kala. Mereka tidak pernah benar-benar peduli dengan warga desanya. Mereka sejak awal sudah menerima gelontoran dana pribadi pembangunan desa bahkan sebelum Arutala di bangun. Tapi tidak ada yang berubah sampai akhirnya ayah dan ibuku yang turun tangan sendiri untuk membangun Arutala."

Aku mengerjakan mata, setengah tak percaya dengan apa yang aku dengar. Mulutku terbuka tapi bahkan aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Kakek ku adalah salah satu orang yang membantai warga-warga desa di masanya dan sebelum meninggal, kakekku meminta ayahku untuk membayar dosanya untuk kembali ke desa Sembagi."

Perlahan Hugo menarik pipiku mendekat, aku yang masih membatu bisa merasakan hembusan nafas Hugo yang hangat di pipiku dan tatapan mata abu-abunya yang seakan menembus jiwaku

"Dari sejak pertama kali aku melihat mu Kala, aku seperti melihat diriku sendiri. Melihatku dalam posisimu, dalam keadaan yang lebih tidak beruntung." Bisik Hugo, bibirnya mulai menyapu bibirku, berkali-kali, menutup lukaku, hatiku," Sekarang aku punya segala, tapi segalanya apa ada artinya kalau kamu tidak ada?"

Aku memejamkan mata, merasakan air mataku mulai menetes perlahan, "Apa Hugo benar-benar sayang aku dari dulu? Bukan karena sihir nenek? Bukan karena ada alasan?"

Aku bisa merasakan bibir Hugo yang menciumku mulai tersenyum kecil, "Memangnya kamu bisa mencium orang yang tidak kamu cintai Kala?" Bisik Hugo di bibirku.

Aku menggeleng. Mengangkat jemariku balas memeluk Hugo yang hangat dan damai seerat mungkin.

"Aku selalu sayang kamu Kala." Hugo melanjutkan berkata sesuatu yang akan kuingat selamanya, sampai aku mati nanti, "Bukan karena sihir, bukan karena ada alasan tapi karena itu kamu."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang