Part 37

416 84 9
                                    

Seperti di atas langit masih ada langit. Maka di atas ibuku masih ada Hugo. Aku tau ibuku tidak bisa mengurungku selamanya di dalam kamar. Hugo cepat atau lambat pasti akan datang ke rumahku dan ibuku nggak mungkin membiarkan Hugo bertamu,-duduk mengobrol denganku di samping ayahku yang berbau ompol.

"Kala...." Kali ini suara ibuku semanis madu. Tidak pahit seperti biasanya. Memanggilku dengan suara lemah; kalah, "Ada Hugo."

Aku berhenti menyuapi ayahku kemudian menghadap ke pintu kamar ayah.

Hugo berdiri di samping ibuku dengan pakaian rapih. Tinggi ibuku hanya sebatas bahu Hugo. Tubuh tinggi Hugo di balut kemeja mahal eksklusif yang di jahit sesuai pola tubuh.

Mau tidak mau aku jadi melirik daster ibu ku yang tua, baju dasterku yang kusam lalu terakhir ke ayahku yang bajunya mirip keset WC dan baunya kayak WC.

Betapa jauhnya hidup kami.

"Hugo." Sapaku dan aku tersenyum.

Hugo balas tersenyum. Singkat dan tidak menyentuh matanya. Hugo tidak benar-benar tersenyum. Matanya terus menatap ayahku.

Ayahku bisa di bilang guru untuk Hugo dan aku bisa memahami rasanya, melihat guru yang selama ini mengajariku segalanya tiba-tiba kulihat lumpuh tidak berdaya. Perasaanmu mungkin akan ikut tidak berdaya atau dasarnya Hugo tidak punya hati. Karena kenyataannya selama bertahun-tahun sebelum ini, tidak pernah satu kalipun Hugo menjenguk ayahku.

"Kenapa datang malam-malam?"

"Aku mau bertemu ayahmu." Jawab Hugo tenang.

Aku bisa merasakan udara seakan mendadak menghilang dari ruang kamar ayah. Nafas ibuku tercekat dan mataku mengernyit kecil,"Kenapa?"

"Maaf." Ujar Hugo, lagi-lagi tampak berusaha tersenyum, "Boleh aku bicara berdua saja dengan ayahmu?"

Ibuku terkesiap menjawab lebih dulu pertanyaan Hugo padaku, "Ayah Kala sudah lama tidak bisa apa-apa. Beliau tidak akan bisa menjawab sekalipun di ajak bicara."

Hugo mengangguk, "Saya tau."

Aku terdiam. Berpikir. Hal seburuk apa yang bisa terjadi kalau ayahku bicara berdua dengan Hugo? Tidak ada. Jadi aku bangkit berdiri. Menarik paksa tangan ibuku, yang tampak malu. Malu pada Hugo, malu pada kondisi ayahku. Seakan ayahku adalah aib keluarga.

"Kenapa kamu narik ibu keluar dari kamar?" Protes ibuku berbisik. Begitu aku menutup pintu kamar ayah. Ekspresi wajahnya campur aduk. Membuatku sedih, "Kasihan Hugo harus lihat ayahmu seperti itu! Ngobrol dengan patung! Harusnya kamu tolak! Lagian buat apa Hugo mau bicara dengan ayahmu itu?!"

Aku hanya mengangkat bahu sambil berjalan ke ruang tengah. Memposisikan diriku duduk di salah satu sofa. Mendongak. Menunggu semprotan kemarahan ibuku meledak. Tapi ibuku hanya berdiri didepanku, memandangku marah sangat lama sebelum beliau menghentakkan tangan dan berjalan menuju pintu depan rumah dengan raut muak.

Aku menunggu dan terus menunggu. Menunggu Hugo sekaligus menunggu ibuku. Siapa tau ibuku berubah pikiran dan kembali kesini lagi untuk menyumpahi ku.

Tapi Hugolah yang lebih dulu kembali, Hugo keluar dari kamar ayahku beberapa saat kemudian.

"Kala." Panggil Hugo. Ia berjalan ke depanku sambil mengulurkan tangan, telapak tangan besar yang bisa menutup satu wajahku, "Ayo ikut aku sekarang."

Aku menatap uluran tangan itu. Ada banyak yang ingin kukatakan. Tapi bibirku terkunci. Sudah dua hari aku terkunci dalam kamar. Berpikir. Bicara satu arah dengan ayahku. Sepanjang malam sepanjang hari.

Apa harus begini? Apa tidak ada jalan lain?

Aku mengangkat tanganku perlahan. Menggapai uluran tangan Hugo dan barulah setelah itu aku melihat Hugo tersenyum.

Sungguh-sungguh tersenyum.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang