Part 13

627 114 2
                                    

Dalam adu tatapan kami, akulah yang kalah. Karena aku yang mengalihkan pandangan duluan.

Aku membuang wajah. Menertawakan diriku sendiri. Tatapan mata Hugo padaku barusan bukan tatapan orang jatuh cinta. Ternyata mimpiku tentang nenek dalam gubuk kayu memang hanya sekedar mimpi. 

Aku mungkin sudah di ambang gila, hingga berhalusinasi. Bisa jadi, aku sendiri yang mencakar lenganku hingga berdarah.

"Kala." Bisik Puja, "Pak Hugo masih melihat kesini.  Kenapa Beliau melihat kesini.  Kenapa dia melihat ke kita?"

"Ayo pergi." Bisik ku balik.

"Kenapa?" Suara Puja masih terdengar gemetaran. Aku tau Puja takut. Siapa pula yang tidak takut pada Hugo. Ia adalah singa dalam komunitas kami. Kasta tertinggi. Padahal aku dan Puja hanya seekor anak ayam. 

"Kamu kan kerja di hotel seharusnya kamu nggak takut dengan pak Hugo."

"Justru karena aku kerja di hotel!" Bisik Puja. Ia akhirnya mengikuti langkah kakiku karena aku setengah memaksa menarik tangannya, "Aku belum pernah ngeliat wajah pak Hugo se marah itu. Se galak itu. Memangnya aku salah apa ya?"

"Kamu nggak salah apa-apa." Potongku berusaha menenangkan Puja, "Kamu kan tau Hugo dari kecil. Aku pernah cerita kan Hugo pernah ngapain aku waktu kecil? Di plototin.  Wajahnya memang begitu kan,  galak."

"Ssst pak Hugo! Kenapa kamu nyebut nama beliau tanpa embel-embel sih."

Aku berusaha tersenyum, menepuk-nepuk punggung Puja dengan lembut. Menenangkan nya.  Sementara Puja mulai menatapku curiga, "Kamu atau ibumu nggak ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh kan ?"

"Aneh gimana ?"

"Bukannya kamu pernah cerita kalau ibumu berhutang ke keluarga Hoheng? Nenek ku juga bilang ibumu gagal bayar. Itu betul?"

"Iya."

"Bukannya jaminan nya rumahmu kan?"

"Iya."

"Terus kamu masih bisa setenang ini?"

"Nggak. Aku nangis lari kehutan."

"Sungguhan? Kapan ?"

"Tadi pagi. Dalam mimpiku."

Kini gantian Puja menatapku dengan wajah galak. Walau tidak se galak Hugo. Aku tertawa. Menyedihkan sekali. Hatiku remuk lagi. Lucu juga aku ingin tau apa Hugo benar-benar jatuh cinta padaku lewat ucapan nenek-nenek aneh dalam mimpiku.

Membuat hati Hugo jatuh cinta itu butuh lebih dari sekedar sihir.

Tapi aku butuh lebih dari sekedar keajaiban untuk menyelesaikan masalah hidupku. 

"Aku pulang duluan ya." Ucapku pada Puja. Mengabaikan seruan protesnya yang langsung bertubi-tubi, "Kasihan pak Kadus yang sudah nungguin ayahku sedari pagi."

Tanpa menunggu Puja menyetujui, aku berjalan keluar dari aula megah ini. Dalam langkah kaki ku yang tergesa, dengan sengaja aku melepaskan sweeter ku. 

Aku berjalan menebus gerimis yang lagi-lagi datang. Aku sungguh benar-benar akan pulang. Kembali ke rumah, tapi setelah aku melihat danau Rettatisna. Mencuci wajahku disana. Membangunkan ku lagi pada kenyataan. 

Aku berjalan ke dek kayu yang biasanya hanya bisa di akses private oleh pengunjung hotel. Masih dalam senyum gilaku karena aku putus asa.

Aku mendongak menatap langit. Membiarkan air hujan berjatuhan mengenai wajahku, hidungku, seluruh bagian tubuhku. Luka-luka di lenganku.  Sedikit berharap hujan juga menyentuh hatiku yang ketakutan.  Takut akan hari esok.  Takut akan masa depanku.

Membasahi hatiku, perasaanku. Mengingatkan ku bahwa aku masih punya sesuatu yang membuatku bertahan didunia; doa di kala hujan. Kabut dan desiran daun-daun hutan di kejauhan. 

Namun lagi-lagi ada suara langkah pelan yang membuatku waspada. Suara itu tercampur dengan desiran hujan. Orang normalnya tidak mendengar itu, tapi aku terbiasa mengasah instingku selama di hutan.

Aku tau. Selalu tau bila ada sesuatu yang berbahaya mendekatiku. 

Aku menolehkan wajah.

Dalam jarak beberapa langkah. Hugo dengan tubuhnya yang belasan Senti lebih tinggi dariku. Berdiri menjulang menatapku dengan pandangan angkuh tanpa senyum.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang