Part 9

517 104 7
                                    

"kamu cantik, Kala.  Tapi lebih cantik kalau rambutmu hitam." Ucap Puja sambil memainkan rambutku. 

"Aku suka rambutku." Protes ku sambil mencoba melepas tangan Puja dari rambutku. 

"Harusnya rambut mu lurus hitam.  Tapi kenapa rambut mu coklat terang ikal? Kenapa warna matamu juga begitu?" Lanjut Puja, menepis tanganku. Mengabaikan rasa tidak sukaku dengan tetap memegang rambutku penasaran.

"Aku nggak tau." Jawabku sambil mengangkat bahu. Itu pertanyaan  aneh bagi anak berusia tujuh tahun sepertiku, "Ibuku juga sama kan? Rambut ibuku juga seperti ini."

"Iya. Makanya nenekku bilang kalian mirip ayam Gallus. Ayam putih itu."

.....

Lagi-lagi aku berlari.  Seperti menyelamatkan diri. Tapi bedanya saat ini aku kembali ke rumah sambil membawa ayam putih.

Aku memeluknya di dadaku.

Begitu sampai rumah.  Ibuku yang biasanya layu memandangku dengan tatapan marah. Beliau duduk di salah satu meja restauran.  Di atas meja ada selembar surat. Aku tebak pak Nawa baru saja dari rumahku dalam pertemuan ke empat. 

"Kala!" Teriak Ibuku.  Ia menatap ayam yang kupeluk dengan wajah luar biasa merah, "Kau bawa darimana ayam itu?!"

Aku berhenti. Mematung.  Ayam di pelukanku menjerit kembali.  Ketakutan karena suara ibuku. Paruhnya mematuk lenganku dengan keras. Hingga lenganku berdarah. 

"Dari hutan." Jawabku jujur. 

"Bohong! Kamu bohong! Ayam hutan tidak seperti itu!"

"Tapi aku memang dapat ayam ini dari hutan." Balasku. 

"Kembalian binatang itu. Jangan bawa ke sini! Mau kau apakan pula binatang itu. Bawa pergi! Buang!"

Aku menggigit bibir. Kesakitan karena darah yang mengalir kecil di lenganku sekaligus sakit karena hatiku.   

"Kala." Ucap pak Kadus yang sedari awal memang duduk tidak jauh dari ibuku di depan rumah, "Itu bukan ayam hutan, Kala.  Tidak ada ayam gunung yang seperti itu."

Gigitan di bibirku semakin keras, dan aku mulai bisa merasakan aliran cairan seperti besi dari bibirku. 

"Hugo, Hugo yang nangkap ayam ini."

"Hugo ?" Ibuku menyebut nama itu dengan tersendat namun mendadak ibuku bangkit berdiri seperti orang kesetanan, menanyakan sesuatu, hampir berteriak padaku, mengomel, mengejekku, sesuatu yang di luar kendaliku, " kamu bicara dengan pak Hugo tentang hutang kita? Kamu bicara sesuatu kan Kala? Kamu memohon ke beliau untuk beri kita waktu untuk membayar hutang?"

"Nggak." Aku menggeleng.  Aku sudah bilang kan, aku tidak pandai berpura-pura.

Ibuku muntab, kursi restauran rumahku yang sepi beliau banting ke lantai, hampir mengenai ku. 

Beruntung.  Betapa beruntungnya aku.

Kenapa keberuntungan ku tadi tidak ku manfaatkan, seharusnya aku memang pasrah saja, mati di tembak seperti hewan oleh Hugo, manusia paling terhormat di desaku.

Siapa tau dengan begitu, hutang Ibuku lunas.

Di bayar dengan nyawa.

"Pergi! Pergi! BAWA BINATANG SIALAN ITU PERGI!" Teriak ibuku, di belakangan nya pak Kadus berusaha memegangi Ibuku yang berusaha mencakar wajahku. 

Aku patah hati. Pemandangan ini membuat hatiku pecah berkeping-keping.  Jadi aku melangkah pergi.  Menahan seluruh tubuhku hatiku tetap utuh untuk melangkah. 

"KAU SUKA ORANG-ORANG TUA ITU MEMANGGIL KITA AYAM? DAN KAMU BAWA AYAM ITU KESINI?!" Ibuku menyumpah serapah di belakangku. 

Aku berjalan lebih cepat, kembali ke dalam hutan.  Merasa seperti orang paling tolol sedunia. Aku tau ibuku paling benci binatang unggas yang ku pegang ini.

Menjadi Salah satu alasan juga kenapa ibuku lebih memilih membuka warung seafood dibanding ayam yang tersedia berlimpah di desaku.

Lucunya seakan hutan tau aku sedang bersedih. Langit yang seharusnya siang berubah segelap malam. Segelap hatiku.  Segelap hidupku.

Lagi-lagi Aku berjalan tidak tentu arah. Sambil menangis tanpa suara.

Kali ini aku berjalan dengan berisik. Supaya Hugo sialan itu menemukan ku lagi beserta binatang buruannya ini yang kubawa kabur. 

Berharap semoga Hugo tidak berpikir dua kali lagi untuk menembak ayam ini sekaligus aku. 

Aku tak tau berapa lama aku berjalan berputar-putar dalam hutan.  Tenggelam dalam tangisanku sendiri. Sampai aku tiba di gubuk setengah hampir roboh yang semakin tak terawat semenjak pak Nata pemilik sebelumnya meninggal. 

Aku tidak tau kenapa aku berakhir disini, masih menggotong ayam. Ini bukan tempat  tujuanku.  Karena langkah kaki ku memang tanpa tujuan. 

Setelah sampai di gubuk itu, aku terduduk di salah satu kursi panjang kayu yang sudah lapuk. Melepaskan ayam yang tadinya kupeluk.

Kubiarkan bebas. 

Anehnya, ayam itu tidak kabur.  Ia tidak menjerit-jerit lagi seperti sebelumnya. Justru malah menatapku seakan ayam itu hendak  mengajakku bicara.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang