Part 17

499 98 8
                                    

Aku menatap Hugo duduk diatas kursi kayu lapuk yang dibuat sendiri oleh ayahku bertahun-tahun lalu. Hugo kelihatan aneh. Ia tidak cocok berada di rumahku. Hugo seperti berlian di tengah tumpukan sampah dalam balutan kemejanya yang rapih dan mahal.

Dan ternyata bukan cuma aku yang merasakan keanehan itu. Dari sampingku, bibir Ibuku terang-terangan ternganga. Ibuku seperti habis tersambar petir. Hangus dalam posisi mematung. Lebih aneh lagi untuk pak Nawa, debt colector yang biasanya judes dan angkuh. Mata beliau bolak balik melirik Hugo satu dua kali. Beliau keringatan dingin, membisu. Mati kutu.

"Kala." Suara berat Hugo memecah keheningan.

"Iya?" Jawabku gugup.

Lagi-lagi tatapan Hugo padaku saat ini bukan tatapan jatuh hati. Membuatku makin tidak yakin; sebenarnya apa tepatnya yang ku katakan pada nenek? Apa benar aku bercanda ingin menikah dengan Hugo? Artinya sama saja aku meminta nenek untuk membuat Hugo jatuh cinta padaku sampai ingin menikahi ku.

Tapi kalau memang, tindakan aneh Hugo sekarang karena jawaban bercandaku pada nenek yang terkabulkan, kenapa aku tidak merasa Hugo sudah jatuh hati?

Apa begini normalnya cara Hugo jatuh hati? Beginilah cara ia menunjukan hatinya. Dengan membiarkanku hampir mati tenggelam, hampir mati kedinginan lalu tiba-tiba muncul di rumahku setelah berhari-hari tanpa kabar.

Aku tau cinta karena sihir itu bukan cinta sungguhan. Cinta artifisial yang tidak nyata. Hugo hanya tersihir. Tidak benar-benar jatuh cinta padaku karena seharusnya aku memang tidak akan pernah bisa membuat seorang Hugo jatuh hati.

Kasihan Hugo.

Aku menatap Hugo dengan perasaan sangat bersalah. Memang salah ku bicara sembarangan. Tapi mana aku tau nenek-nenek di gubuk mbah Nata itu penyihir. Dukun. Peri. Peramal atau setan.

Aku bahkan tidak tau nama si nenek.

Aku sungguhan tidak sengaja menyihir, mempelet, mengutuk Hugo. Terserah apa istilahnya. Yang penting kehadiran Hugo disini adalah sesuatu yang di luar kendaliku dan Hugo.

"Duduk. Duduk Kala, di depan Hugo." Suara cicitan ibuku tiba-tiba bergema. Jemari tangan ibu yang kurus kering mendorong paksa bahuku untuk duduk sopan di kursi lapuk tepat di depan Hugo.

Aku terpaksa duduk dan menyesal karena Hugo mendadak melayangkan senyuman padaku. Dibalik mata tajamnya, Hugo memang tampan. Ia gambaran Malaikat dalam kehidupan nyata dan semakin mirip malaikat disaat tersenyum. Padahal aku tau Hugo terkenal paling pelit senyum dalam keluarganya.

Melihat senyum Hugo, ibuku kembali dalam pose tersambar petirnya dan pak Nawa yang sedari bertahan diam bagai patung di samping Hugo terang-terangan shock. Aku jadi semakin yakin seratus persen ini bukanlah tingkah Hugo yang normal.

"Hugo!" Tanpa sadar aku berseru.

Aku tidak pernah mau memperalat orang lain dengan sihir untuk kepentingan pribadiku. Aku takut dengan konsekuensinya. Aku takut orang lain akhirnya tau. Merasakan tandanya. Menyadari keanehannya. Tau bahwa semua ini palsu. Tau bahwa aku salah. Apalagi aku tidak tau bagaimana cara sihir si nenek bekerja. Apakah selamanya atau sesaat? Dan apa aku tahan melihat Hugo jatuh hati padaku karena terpaksa?

"Ya, Kala?"

"Ikut aku. Tolong ikuti aku."

....

Nafasku macet setelah melihat apa yang di ambil Hugo dari mobilnya. Tadi Hugo dengan sopan meminta ijin padaku untuk mengambil sesuatu sebelum bersedia berjalan berdua mengikuti ku ke hutan; yang aku tidak sangka sesuatu itu adalah,-senapan berburu.

Secara naluri aku mulai berkeringat dingin. Aku tidak akan pernah lupa Hugo pernah menodongkan senapan itu padaku dalam mimpi,-atau bukan mimpi ?

Mimpiku terlalu nyata hingga senapan angin yang di bawa Hugo sekarang sama persis dengan senapan angin dalam mimpiku, dalam ingatanku. Senapan mewah dengan material kayu dan titanum,- monel kalau warga desaku menyebut.

Setelah mengambil senapan, Hugo dengan santainya mengulurkan tangan. Menggenggam pergelangan tanganku dengan kasual seakan kami teman lama. Aku gelagapan. Pucat pasi, panik, ketakutan. Disaat yang sama aku juga bisa merasakan suara tarikan nafas tertahan para tetanggaku dari belakangku termasuk ibuku, yang sudah pasti diam-diam menonton, sejak mobil pak Nawa terparkir didepan rumahku.

Tanpa pilihan, aku membiarkan Hugo tetap menggenggam pergelangan tanganku. Aku berjalan didepan, terburu-buru. Setengah menarik tangan Hugo.

Kami melewati lembah basah. Semak-semak kecil di kelilingi bunga-bunga hydragea. Tempat ini selalu agak gelap dan teduh. Lalu bila kabut sedang turun, maka tempat ini akan seperti pintu menuju dunia lain.

Semakin lama, langkah kakiku semakin cepat. Nafasku memburu. Sepanjang jalan aku sama sekali tidak berani menoleh kebelakang. Aku takut melihat Hugo tersenyum saat menatapku. Senyum yang seharusnya bukan untukku.

Aku tidak pantas menerima senyum itu.

Tujuanku hanya satu. Gubuk Mbah Nata. Tak butuh lama aku sampai di depan gubuk Mbah Nata. Gelap, kosong, sunyi. Bangunan itu sudah ndoyong. Hampir ambruk.

Belum sempat tanganku menyentuh pintu depan kayu. Pintu itu sudah terbuka sendiri. Dalam suara rintihan kayu beradu dengan alumunium karatan. Suaranya mengerikan. Berdecit. Reflek aku meloncat mundur takut dan betapa kagetnya aku karena punggungku beradu dengan tubuh orang lain.

"Kala." Suara berat dalam Hugo menggelitik telingaku.  Lebih seram dari suara decitan pintu.

Aku menoleh, menatap Hugo dengan ekspresi horor dan ekspresi ku bertambah horor karena dengan tenaga lebih besar berkali lipat dariku, Hugo dengan mudahnya membuat tubuhku berbalik. Menghadap dirinya. 

Ketika kami sudah berhadapan.  Hugo langsung menunduk menatapku dari dekat. Rambut lurus pendek hitamnya jatuh di kening, dengan cara yang aneh. Terlalu tampan dan rapih untuk standarku. Mata abu-abunya dan bentuk hidungnya...

Keberadaan nya terlalu berlebihan untukku. 

Rasa bersalahku kembali. Menghantam ku berlipat-lipat dari sebelumnya. 

Aku seperti penyihir jahat yang nencurangi nasib. Mengubah takdir Hugo.

"Apa yang kamu cari disini?"

"Nenek! Nenek yang punya ayam Gallus. Ayam putih!"

"Nenek siapa yang kamu maksud, Kala? Nggak ada lagi yang pernah tinggal di gubuk ini selain Mbah Nata." Ucap Hugo. Menyebalkannya semakin didengar suara Hugo juga semakin seindah wajahnya. Berat mengalun.

"Hugo kenal Mbah Nata?" Tanyaku kaget.

"Aku hafal seluruh penduduk desa Sembagi."

Aku mengerjapkan mata, pengakuan Hugo jauh di luar ekspektasi ku.  Dalam bayanganku, dengan uang sebanyak itu, Hugo tidak butuh untuk repot-repot mengingat nama-nama rakyat jelata seperti warga-warga desa ku. 

"Kamu ingin ayam Gallus?" Tanya Hugo lagi.

"Bukan!" Pertanyaan Hugo menjatuhkan ku kembali ke bumi, "Aku ingin bertemu nenek yang memelihara ayam Gallus."

"Nggak ada ayam Gallus didalam hutan, Kala.  Tapi kalau kamu mau ayam lain. Ayam hutan.  Aku bisa cari untukmu.  Sekarang juga."

Dengan gemas, aku menepuk keningku sendiri, "Nggak, nggak, nggak. Kita datang ke sini bukan untuk berburu."

Dengan sorot mata tajam namun dengan bibir menyungging senyum kecil lucu, Hugo terkekeh, "Lalu apa yang kamu cari."

"Cara untuk menolong Hugo."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang