"Tapi pak Hugo yang seharusnya memang tidak seperti ini." Tambah Pak Nawa sinis, "Seharusnya pak Hugo tidak mungkin hanya karena kamu, beliau sampai mengirim puluhan surat, jatuh sakit, tidak nafsu makan, menembus badai petir, naik ke atas gunung, bersikeras menikahimu."
"Kenapa menurutmu, Kala? Kenapa?" Pak Nawa kembali memicingkan mata padaku, menguliti ku, sementara tangannya mendadak berhenti membolak-balik sosis di atas panggangan, "Apa kamu tau tepatnya kenapa pak Hugo mendadak berubah ?"
Aku menggeleng dan sedikit bersyukur aku memakai jaket Hugo yang sangat kebesaran untukku, sampai jemariku yang gemetaran menghilang di balik lengan jaket yang panjang.
"Kamu yakin?" Tanya pak Nawa sekali lagi dan mendadak beliau berjalan mendekatiku.
Tubuhku menegang kaku, otakku memproses gerakan pak Nawa sebagai ancaman. Hingga tanpa sadar insting ku, mendongak menatap langit, berdoa petir tiba-tiba menyambar pak Nawa hingga beliau jangan sampai dekat denganku.
Detik berikutnya, mataku tiba-tiba terbutakan oleh kilatan cahaya. Di ikuti suara ledakan sangat keras hingga aku terjungkal kebelakang.
Aku tidak bisa berteriak saking kagetnya. Yang aku tau, aku terus dalam posisi meringkuk di tanah karena terkejut dan karena telingaku terus menerus berdenging.
"Kala. Kala!?" Suara seseorang memanggilku kembali ke dunia. Mengumpulkan kesadaran ku. Setelah bermenit-menit yang terasa selamanya membangunkan jantungku yang sesaat lumpuh karena terkejut.
Aku mendongakkan kepala, membiarkan seseorang itu,-Hugo memelukku.
Sesaat kemudian, masih dalam posisi bergelung dalam pelukan Hugo, aku melihat puncak pohon besar yang menaungi pos tiga, telah pecah. Terbakar oleh petir. Menjatuhkan dahan-dahannya yang lebih besar dari tubuhku ketanah dan yang salah satunya menimpa pak Nawa.
"Pak Nawa?!" Bisikku ketakutan, aku hampir melompat berdiri tapi tubuhku di tahan Hugo.
"Jangan kesana." Perintah Hugo padaku sementara aku gemetaran panik.
Di depan mataku, orang-orang yang tadinya aku tau sibuk bicara dengan Hugo sekarang mengerubungi pak Nawa. Berlarian. Memindahkan batang pohon dari tubuh pak Nawa dan segera melakukan pertolongan pertama.
Aku menggigil panik sekalipun aku tau setelah batang itu di pindahkan dari tubuhnya, pak Nawa masih bisa bergerak sedikit. Beliau mengerang kesakitan namun hidup. Tapi itu masih tidak cukup untukku.
Kamu harus bertanggungjawab Kala.
Semua ini karenamu.
Ucapanmu.
Hati-hati saat berdoa.
Kamu tidak tau doa apa yang akan di kabulkan oleh tuhan.
"Hugo, pak Nawa kesakitan karena aku." Bisik ku gemetaran di telinga Hugo.
Hugo mengerutkan kening. Mengusap air mata di pipiku tanpa berhenti menatap mataku lalu mengecek seluruh tubuhku memastikan aku bebas luka, "Mustahil."
"Sungguhan! AKU YANG TADI berdoa semoga pak Nawa tersambar petir."
"Gunung Sembagi memang daerah rawan petir, Kala." Ucap Hugo kalem, "Dan kalau kamu bisa mengendalikan petir seharusnya kamu tidak hampir di sambar juga."
Aku meringis putus asa, "Tapi itu betul-betul karena doaku, Hugo."
Mata Hugo menyipit sesaat sebelum ia menepuk pundakku, "Bagus. Kalau kamu bisa mengendalikan petir, aku nggak perlu lagi melanjutkan kontrak kerjasama pembangunan pembangkit listrik tenaga air lewat bendungan Danau."
Hatiku mencelos dan bibirku ternganga tak percaya. Untuk waktu yang lama Hugo hanya terus mendengar ku merengek dan baru bersuara kembali saat dirinya melihat pak Nawa diletakan di atas tandu yang tadinya disiapkan untukku.
"Tunggu disini sebentar." Pinta Hugo. Beliau langsung bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pak Nawa yang terbaring di atas tandu yang sudah hampir di bawa oleh orang-orang.
Aku seharusnya diam seperti permintaan Hugo tapi aku tidak tahan untuk berdiri dan ikut menghampiri pak Nawa.
Hugo menatapku terkejut, karena aku bertindak diluar perintahnya, ada sedikit raut kecewa namun Hugo kelihatan jelas berusaha mengabaikannya dengan berbicara cepat pada beberapa orang di sekitar pak Nawa.
Di depanku pak Nawa utuh tanpa luka bakar. Beliau hanya terus mengerang keras, matanya tertutup gelisah sementara kaki kirinya terpelintir ke arah yang salah. Dengan tulang menyembul dari daging bercampur darah.
"Maaf seharusnya tandu ini untukmu." Kata salah satu orang yang berjalan paling dekat denganku sambil menandu pak Nawa menuju bangunannya pos tiga yang permanen, yang juga terlihat lebih aman daripada tempat pak Nawa terbaring sekarang.
"Nggak apa-apa. " Jawabku cepat suaraku tegang, "Saya bisa turun jalan kaki. Sendirian."
"JADI..." Suara berat itu mendadak bergema menakutkan dari sampingku, ketus dan kasar, "Setelah semua ini, kamu masih bisa bilang; mau pulang, jalan kaki. Sendirian?"
Sedetik aku memejamkan mata, mengalihkan perhatianku dari pak Nawa yang pergi di tandu untuk mempersiapkan mentalku untuk menghadapi kemarahan Hugo.
"Ya." Aku akhirnya menolehkan kepala, mendongak menatap Hugo dengan berani, "Aku bisa sendiri."
"Kala." Suara berat itu semakin mendekat, begitu juga dengan tatapan mata abu-abu tajam itu, "Aku akan minta orang lain lagi untuk membawa tandu dari basecamp."
"Aku bisa jalan kaki sendiri." Bantahku sambil menunjuk diriku sendiri dari ujung kepala sampai ujung kaki. Usaha besar untuk membuktikan aku sehat. Setidaknya jauh lebih sehat dari pak Nawa.
Bukannya segera menjawab, Hugo malah terdiam cukup lama, terus memandangku dengan aura mencekik.
Aku menelan ludah, keberanianku perlahan menguap. Sedikit nekat, aku mengulang lagi kalimatku sebelumnya dan menambahkan berkata,"Aku juga tau jalan pulang." Sambil mengangkat dua lenganku yang tertutup jaket kebesaran Hugo yang bagiku cukup meneriakkan fakta bahwa jaket ini mustahil membuatku kedinginan.
Raut Hugo semakin marah. Wajahnya seperti bom yang hampir meletus.
"Hugo, aku nggak apa-apa." Ucapku, perasaanku campur aduk dan tubuhku merespon dengan berkeringat dingin, "Aku bisa sendirian. Aku cuma mau pulang. Secepatnya."
"Untuk apa? Untuk kabur? Untuk menghilang lagi? Untuk mencari nenek?"
"Aku cuma mau pulang tanpa jadi beban orang lain lagi. Kalau Hugo mau, Hugo juga boleh minta beberapa orang untuk antar aku pulang ." Jawabku sebelum menambahkan pelan, sungguh-sungguh, "Aku nggak akan menghilang lagi, Hugo. Janji."
"Oh ya?" Hugo menundukkan tubuhnya hingga wajah kami sejajar, "Should I cage you?"
Aku meringis.
"Or should I kiss you?"
Kali ini aku meringis sambil menggeleng ngeri.
"Or should you kiss me first?" Ucap Hugo. Tatapan matanya dingin. Tanpa jiwa. Tatapan Hugo yang seharusnya untukku, sejak dulu, "Kamu harus pilih salah satu, Kala."
Aku mengerjapkan mata. Sunyi senyap. Duniaku berhenti berputar. Mataku terkunci lebih dalam. Aku takut bila hatiku tanpa sadar mulai berdoa lagi sesuatu yang akan ku sesali, terutama pada Hugo.
Hingga akhirnya tanpa pilihan, aku menganggukkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...