Part 51

472 99 10
                                    

Hugo menggendongku melewati jalan yang kukenal. Semak dengan tumpukan batu yang sekarang kutakuti. Jalan menuju pohon buah Loma favorit ayahku, di dekat mata air Rogoatmo yang keramat.

Aku mencengkram leher Hugo erat-erat. Bingung harus menyembunyikan wajahku dimana. Aku ingin bersembunyi. Menyembunyikan wajahku di sela leher Hugo. Berlindung dari ketakutanku. Tapi tempatku merasa paling aman juga tempat yang paling membuatku takut; semua ada pada orang yang sama, Hugo.

Aku tau Hugo tidak membawa senapan. Tapi aku melihat dengan jelas, Machete besar di pinggangnya. Jujur, aku lebih suka mati di tembak daripada mati di potong-potong.

"Hugo." Bisikku hati-hati, Aku tidak mau membangkitkan kemarahan Hugo, "Kenapa kita kesini?"

"Karena tempo hari kita tidak sempat mengambil buah Loma."

"Sekarang aku nggak mau makan, Hugo." Aku menggeleng cepat-cepat.

"Aku mau. Aku belum pernah makan buah Loma."

Aku menarik nafas. Nafasku sesak. Jantungku berpacu sampai aku takut Hugo bisa merasakan debarannya lewat sentuhan punggungnya denganku.

Kenapa Hugo aneh? Daridulu aku sulit membaca Hugo. Selain karena aku tidak punya pengalaman sama sekali dengan laki-laki kecuali ayah, Hugo memang seperti buku yang tertutup rapat. Tidak tertebak.

Apalagi dengan sihir nenek dan kejadian selama ini. Ada kalanya aku tidak bisa membedakan, yang di lakukan Hugo murni karena sihir atau karena memang itu sungguh Hugo? Bagaimana cara sihir nenek bekerja? Sejauh apa dan apa pantangannya? Aku awam. Tidak tau apa-apa.

Tak berapa lama, Hugo menurunkanku dari gendongannya. Serta merta aku hanya bisa diam. Menatap Hugo pasrah. Ini tempat yang sama. Di tempat terakhir Hugo menondongkan senjata dan memintaku hilang dari hidupnya.

Anehnya lagi, setelah menurunkanku. Hugo berbalik badan, menyodorkan jemarinya. Seakan menggodaku untuk menyentuh jemari Hugo.

Aku menggigit bibir, bagaimana kalau ini jebakan yang lalu setelah kupegang aku di banting ke tanah? Tapi hatiku terdalam terus berteriak, Hugo tidak sejahat itu.

Karena aku tidak membalas uluran tangannya akhirnya Hugo menjatuhkan tangannya. Berbalik arah. Berjalan dengan santai mengambil buah Loma dan melempar- lemparkannya ke udara dengan wajah anak bandel.

"Ini buah yang kamu dan pak Bhagya suka?"

Aku mengangguk.

Hugo menggigit buah itu, kemudian menatapku tajam, "Ayo makan."

"Eh." Aku mendongak menatap langit yang sudah berubah menjadi ungu dan hutan yang semakin gelap gulita sementara di belakang Hugo suara mata air bergemericik di ikuti suara kelelawar buah membuat suasana bertambah seram, "Aku nggak mau makan."

"Kenapa?"

"Aku nggak nafsu makan." Jawabku, menunjuk kegelapan hutan di antara kami, bukannya sudah jelas? "Aku takut."

"Takut kutembak mati?"

"Hugo nggak bawa senapan."

Mendadak suara tawa Hugo menggema. Aku merinding dari ujung kepala hingga ujung kaki. Phrasa itu akhirnya kembali lagi, lewat dalam ingatanku, Hugo yang dingin tak punya hati.

"Sebetulnya aku nggak pernah suka setiap mendengar pak Bhagya bercerita kalau anak perempuan nya suka berkeliaran sendirian di hutan, Kala." Ujar Hugo, perlahan ia memendekan jarak antara kami dengan langkah berisik, menginjak dedaunan kering dan buah Loma yang membusuk di tanah, "Anak perempuan kecil yang cuma bisa diam saja setiap dijadikan bahan tertawaan oleh ketua adat hanya gara-gara punya mata coklat."

"Anak perempuan yang langsung gemetaran, setiap kali aku memandangnya walaupun dari jauh."

"Kenapa kamu sepenakut itu dengan manusia padahal hutan lebih menyeramkan?"

"Apa ayahmu,-pak Bhagya tidak pernah cerita kalau populasi Harimau di gunung meningkat? Banyak pendaki di serang hewan. Kabut-kabut aneh. Gerbang kayu, angin kencang menuju antah berantah. Mitos-mitos gila di luar sana?"

"Orang-orang terkucilkan di kubur di tengah hutan. Mbah Nata dan nenekmu. Dan kalau para tetua adat itu mau lebih gila lagi, bisa jadi orang keturunan asing seperti mu, seperti ku; mereka menunggumu melakukan kesalahan, sampai ada alasan untukmu di kubur disana juga. Kuburan orang terbuang."

"Harusnya kamu jangan pernah kembali ke gunung sendirian, setelah aku hampir menembakmu waktu itu, berbulan-bulan lalu." Bibir Hugo mulai tersenyum, menyeringai, berbahaya, "Apa kamu sudah kapok sekarang, Kala?"

Aku menelan ludah. Kakiku mulai gemetaran dan memalukannya aku selalu membeku setiap ketakutan melumpuhkanku, "Hugo, aku benar-benar takut."

"Kalau begitu kemari." Panggil Hugo, ia kembali menyodorkan tangannya, "Kamu lebih takut mendekatiku atau kamu mau lari masuk ke dalam hutan sendirian sekarang? Pilih salah satu, Kala...."

Aku menelan ludah, tanpa sengaja mataku bertatapan dengan mata elang Hugo. Mata abu-abu terang itu menatapku tajam. Mata yang biasanya berkerut lucu saat tersenyum. Menatapku. Kini dingin tak berbayang. Seperti mata binatang liar menunggu menerkam ku.

Aku menarik nafas. Memberanikan diri. Aku harus mendengar sendiri jawaban Hugo sebelum aku menentukan nasibku, "Apa Hugo menyesali semua keputusan Hugo waktu di bawah sihir nenek?"

"Kamu menikah dengan orang yang tidak pernah punya niat untuk menikah." Jawab Hugo cepat, seakan tanpa perluh berpikir panjang, "Aku yang sesungguhnya nggak akan pernah mendekatimu, sedikitpun, untuk menghormati ayahmu,-pak Bhagya."

"Tapi aku nggak pernah dengan sengaja meminta nenek menyihir Hugo." Tambahku, Nafasku tercekat lebih dari sebelumnya. Lagi-lagi menyakitiku, menyayatku. Menunggu meledak menjadi tangisan yang mati-matian kutahan.

"Apa kamu benar-benar nggak sadar? Sihir nenek dari awal tidak pernah mengubah perasaanku sama sekali." Langkah Hugo semakin mendekat, hingga sekarang Hugo benar-benar tepat berdiri di hadapanku, mengelus pipiku. Seperti ketika Hugo masih di bawah sihir, ketika ia masih menjadi milikku, "Itu semua cuma mengubah tekadku untuk tetap diam, hanya mendengar saja semua tentangmu dari ayahmu. Tetap menepati janjiku pada beliau."

"Seharusnya aku memang menyesal dan seharusnya kamu memang menghilang. Tapi kenyataannya, aku sadar aku tidak akan pernah menyesal, Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang