Part 44

389 82 18
                                    

"Hugo, alam tidak akan membuatmu kelaparan selama kamu mau mengenal mereka." Ucap pak Bhagya sementara tangannya terus membelah semak-semak setinggi dengkul.

"Ada jejak rusa. Kenapa kita tidak berburu rusa saja?" Tanya Hugo acuh tak acuh. Sedikit mengabaikan pak Bhagya yang terus memisah-misah antara ilalang satu dengan yang lain.

"Ini hari phatimalini. Jangan membunuh binatang apapun kalau tidak mau celaka."

Alis Hugo terangkat meremehkan. Sedikit banyak ia agak muak dengan mitos-mitos aneh di desa Sembagi yang banyak baginya tidak masuk akal.

Pak Bhagya hanya bisa tersenyum mahfum. Anak laki-laki berusia lima belas tahun di depannya memang keras serupa pohon Loke. Tatapan matanya pun kaku. Pantas saja, semua orang yang pak Bhagya kenal selalu mengatakan hal yang sama; Hugo yang dingin tak punya hati.

Tapi, bukannya batu sekeras apapun tetap bisa pecah?

"Lihat ini Hugo." Ucap pak Bhagya, beliau tiba-tiba menggoyang-goyangkan salah satu batang pohon yang serupa tangkai kayu panjang mengering, "Ini umbi seribu."

Hugo melirik, tatapannya mulai berubah, ia bisa saja tidak peduli mitos, tapi Hugo selalu tertarik pada ilmu alam. Dengan cepat Hugo ikut membantu pak Bhagya mencabut batang pohon itu hingga umbi-umbian yang yang melimpah keluar dari tanah.

"Umbi seribu itu sangat beracun apalagi yang batangnya masih berdaun. Kalau kamu mau makan, pilih yang batangnya sudah layu atau yang daunnya habis kering tidak tersisa." Pak Bhagya mencabut salah satu umbi kemudian mengangkatnya ke depan wajah Hugo yang seperti sudah siap melahapnya mentah-mentah, "Dan umbi ini tidak boleh langsung di makan. Harus di fermentasi dulu selama dua Minggu sebelum bisa di makan."

"Jadi intinya umbi ini nggak bisa di buat makan, sekarang?" Hugo mendengus dan menekan kata sekarang dengan ekspresi kecut. Ia sangat lapar. Sudah seharian ia dan pak Bahgya menaiki gunung tanpa makan sama sekali.

Pak Bhagya tertawa, "Saya bawa umbi seribu yang sudah di fermentasi Hugo. Saya hanya mau memberitahu kamu kalau ada beberapa umbi di gunung ini yang kelihatannya enak tapi beracun kalau yang menemukannya tidak sabar untuk makan."

"Seperti saya."

"Seperti kamu." Pak Bhagya berhenti tertawa untuk tersenyum, "Hutan memang menyediakan makanan, tapi ada cara  mereka sendiri. Tidak seperti di dapur Arutala yang semua serba ada. Berburu juga begitu. Harus sabar. Menahan lapar juga sama. Itu mengajarkan kamu untuk mengendalikan diri. Karena insting manusia paling kuno itu adalah menghindari rasa lapar."

"Ini kamu mau?" Akhirnya pak Bhagya mengeluarkan sesuatu dari tas ransel nya yang jelek, robek sana sini dan kecil. Tas yang tidak cocok untuk mendaki gunung. Berbeda jauh dengan ransel gunung milik Hugo, "Umbi seribu buatan anakku."

Pak Bhagya membuka tempat bekal miliknya, selain umbi ada beberapa telur rebus dan potongan sayuran.

Di kondisi normalnya, Hugo tidak akan bernafsu untuk memakan bekal pak Bhagya, seumur hidup Hugo belum pernah makan umbi fermentasi. Ditambah selama ini, baik di Jerman maupun di Sembagi ia selalu makan roti dengan daging. Tapi kali ini, anehnya, umbi kecut bertekstur lembek ini terasa sangat enak. Luar biasa enak.

"Anakku pintar masak, Hugo. Kala bisa membuat bahan makanan apapun jadi paling enak."

"Kala Hujan?"

"Iya, anakku perempuan."

"Kenapa bapak bisa menyebut kata 'anakku' dengan cara begitu?" Hugo mengkerutkan kening serius sementara mulutnya terus mengunyah.

"Karena Kala memang anakku."

"Bukan itu maksud saya." Hugo menggertakan Gigi. Membingungkan. Ia tidak tau bagaimana cara menjelaskan bahwa yang Hugo pertanyakan adalah nada suara pak Bhagya ketika menyebut kata anakku. Bahkan hanya dari suara, Hugo bisa merasakan rasa sayang yang luar biasa dari seorang ayah pada anaknya.

Sesuatu yang asing bagi Hugo.

"Kamu kenal Kala kan Hugo?"

"Ya." Hugo mengangguk. Dalam kepalanya langsung terbayang anak perempuan dengan rambut ikal kecoklatan yang ia tau selalu sibuk makan puding Strawberry disamping ayahnya sejak kecil setiap ada perjamuan di Arutala.

Anak perempuan tercantik bagi Hugo di desa Sembagi.

"Ini salah satu makanan kesukaan Kala." Pak Bhagya mulai menceritakan tentang anaknya. Semua tentang Kala disaat Hugo terus melahap makanannya, "Anakku, tidak pernah mengeluh apalagi marah. Anak baik. Anak cantik. Kesayangan saya."

"Apa ada anak sebaik itu?" Tanya Hugo sangsi.

"Hugo tidak percaya karena belum pernah bicara langsung dengan anak saya."

"Kalau gitu boleh saya bertemu Kala?"

Mata pak Bhagya mengerjap, "Jangan. Jangan pernah."

..................

Aku bermimpi buruk. Mimpiku sangat seram. Aku di kejar hewan buas dalam kabut. Aku terus berlari tapi langkahku sulit dan berat. Aku ketakutan. Nafasku sesak. Putus asa. Hingga aku sampai di jurang tinggi. Hidup dan mati.

Detik berikutnya, mataku terbuka. Nafasku tersengal-sengal. Aku berkeringat dingin. Ketakutan. Lebih ketakutan dari sebelumnya karena perlahan aku menyadari bahwa aku ada di kamar yang ku kenal.

Kamarku dan Hugo.

Aku gemetaran. Berharap ledakan ingatan dalam kepalaku hanya bagian dari mimpi tapi ketika mataku membelalak semakin lebar ke sekeliling, tatapanku jatuh pada Hugo.

Hugo duduk diam kaku dengan dua telapak tangan saling bertaut di kursi hitam dekat tempat tidur. Tatapan matanya lekat menatapku. Bukan pandangan sayang. Bukan pandangan jatuh hati yang kukenal.

Tapi raut marah, bingung, tegang.

Aku buru-buru hendak bangun duduk dan berdiri. Namun tubuhku berkhianat. Kepalaku berdenyut keras dan aku ingin muntah karena rasa sakit.

"Jangan bergerak." Seru Hugo. Suara beratnya tidak lagi menenangkan tapi menakutkan.

Aku gemetaran, menatap tanganku yang memar di beberapa bagian.

"Aku kenapa?"

"Menurutmu?"

Aku menggeleng, menunduk. Tanpa berani menatap mata Hugo yang seperti mengulitiku.

"Kamu jatuh Kala, kepalamu terbentur batu di gubuk Mbah Nata."

Nafasku terhenti, bukan karena jawaban Hugo tapi lebih karena Hugo menyebut namaku, "Hugo kenal aku."

"Ya. Kala Hujan." Hugo memiringkan kepalanya sedikit kesamping dan matanya memincing, "Anak dari pak Bhagya."

Bhagya-nama ayahku.

"Beliau yang mengajarkan Hugo berburu."

"Ya." Hugo mengangguk tajam.

Aku menarik nafas, setidaknya ada satu bagian yang nyata, bahwa Hugo memang mengenal ayahku, "Apa Hugo ingat semuanya sebelum ini? Selama ini?"

"Ya." Geram Hugo dan Hugo mendadak menarik kursinya lebih mendekat ke tenpat tidur dengan suara decitan yang menakutnya, "Aku berharap kamu hilang. Jangan pernah muncul di depanku. Tapi disaat yang sama, aku mencari kamu lagi sampai ketemu. Kenapa? Menurutmu kenapa Kala?"

Bibirku gemetaran dan air mataku lagi-lagi jatuh tanpa kuminta,"Maaf Hugo."

"Berhenti minta maaf. " Gertak Hugo, "Aku ingat semuanya Kala. Semua kata-kata mu, tentang nenek. Semuanya."

Aku mendongak, menunggu Hugo semakin muntab.

"Menurutmu, apa solusinya?"

"Aku harus menghilang?"

"Lalu aku cari kamu lagi sampai mati?"

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang