Part 42

331 73 6
                                    

Sesuatu yang paling ketakutan; Kutukanku  kembali dan keajaibanku telah hilang.

Hugo yang seharusnya kembali. Hugo yang tidak peduli dan tidak punya hati. Hugo yang akan langsung menembak ku tanpa ampun seperti binatang.

Hugo yang memang bukan milikku sejak awal.

"Hugo." Bisikku. Mataku berubah merah Semerah buah Loma dan hatiku lebih perih dari terakhir kali kuingat Hugo menodongkan senjatanya padaku. Dalam mimpiku atau bukan mimpiku?-," aku Kala."

"Siapa?" Geram Hugo. Ada sebersit raut bingung heran di antara kemarahan. Senyum Hugo, favoritku menghilang tanpa bekas seakan tak pernah ada, "Siapa kamu?"

Aku menggigit bibir. Nasibku telah kembali. Kenapa pula seorang Hugo mau mengenalku? Sejak awal seharusnya aku memang bukan bagian hidup Hugo.

"Istrimu." Bisikku.

Serta merta ledakan senjata memecah hutan. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Jantungku berhenti berdetak. Menunggu rasa sakit dan darah mulai mengalir. Sedetik demi detik aku menunggu diriku sendiri tumbang. Tapi tidak ada. Aku tidak merasakan apa-apa kecuali lubang besar menganga yang menyedotku, hatiku, hidupku,  kebahagiaanku semuannya menyisakan sesuatu yang mengerikan yang selalu kutakuti,- kenyataan.

Sayangnya, aku masih tidak merasakan apa-apa secara fisik dan tanpa sadar aku membuka mata. Berharap senyum Hugo kembali dan yang tadi cuma mimpi.

Tapi wajah Hugo di hadapanku masih sama. Ia menjulang seperti beruang. Raut wajah tegang bercampur marah. Aku bisa melihat urat-urat lengannya bermunculan. Tanda bahaya untukku.

"Menurut Hugo, siapa aku?" Tanyaku, menantang maut.

"Kamu.." ucap Hugo, raut aneh kini mulai menghiasi matanya yang berkabut, "Kala."

Aku tersenyum sambil menangis, "Maaf Hugo. Maaf kalau aku buat segalanya jadi begini. Maaf."

"Seharusnya nggak seperti ini." Ujarku terisak, "Seharusnya aku jangan pernah menikah dengan Hugo. Maaf aku salah, Hugo. Maaf."

Mata Hugo melebar, tercengang. Senapan di tangannya jatuh ke tanah namun ia tetap mematung beberapa meter di depanku menjaga jarak seakan aku hewan menjijikan. Tapi memang, aku sendiri jijik dengan diriku. Aku memanfaatkan Hugo. Kutukannya, nasib buruknya. Padahal aku tau akibatnya, aku tau bahayanya dan ada harga yang harus aku dan Hugo bayar.

Kamu harus bertanggung jawab, Kala.

Ini salahmu.

Waktumu sudah habis.

Yang kamu minta hanya bisa menikah dengan Hugo. Tapi tidak dengan hatinya.

"PERGI."

Mendadak suara Hugo menggelegar. Aku membeku. Mataku terbelalak. Suara teriakan marah Hugo lebih mengerikan daripada suara ledakan senapan. Bahkan juga lebih menyakitkan daripada luka fisik meninggalkan lubang besar ternganga yang lebih menyakitkan dari bayanganku dari ketakutan yang selama kuperkirakan.

"PERGI. JANGAN PERNAH MUNCUL LAGI DIDEPANKU LAGI."

Aku terus menangis tanpa suara. Aku bisa apa? Aku tidak tau harus menjelaskan darimana dan apa aku punya hak untuk menjelaskan. Kondisi ini terlalu membingungkan untukku, apalagi untuk Hugo.

Apa yang di rasakan Hugo selama ini dan apa yang di rasakan Hugo sekarang? Bagaimana aku di mata Hugo dulu dan kini? Apa Hugo tidak mengenaliku sama sekali atau ia mengenaliku namun jijik padaku?
Apa ia ingat semua yang telah ia lalui bersamaku sekalipun di bawah kutukan? Atau Hugo tak ingat sama sekali?

Apa yang harus kujelaskan?

Bila Hugo merasa seperti baru bangun dari mimpi? Mimpi buruk ?

Padahal Hugo mimpi terindahku.

"Aku suka Hugo." Ucapku pelan di tengah isak, berusaha menyelesaikan kalimatku sebelum  berlari, "Maaf kalau aku terlanjur benar-benar suka Hugo. Maaf."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang