Part 35

442 86 6
                                    

"Apa karena kabut atau karena Hugo takut aku lari?" Tanyaku pada Hugo sambil menatap Hugo yang dengan cekatan mengikat pergelangan tanganku ke tangannya dengan tali begitu kami memasuki wilayah hutan gunung yang pekat dengan kabut. Hingga jarak pandang kami hanya tersisa beberapa meter.

"Kabut." Jawab Hugo pendek sebelum kembali menempatkan ku berjalan di depannya.

Aku terdiam sesaat sebelum berjalan kembali. Berusaha mengabaikan fakta bahwa yang dilakukan Hugo sepanjang jalan menuruni gunung, adalah hal yang sama seperti yang selalu di lakukan ayahku dulu.

Ayahku selalu memastikan aku berada di tengah rombongan pendakian. Beliau tidak pernah memperbolehkan ku berjalan paling belakang apalagi sampai tertinggal. Ayahku juga selalu mengikat pergelangan tanganku pada tangannya dengan tali setiap kali kami sampai di wilayah punggung naga-wilayah hutan yang ku lalui sekarang. Karena punggung naga terkenal dengan kabut hitamnya. Kabut hitam itu tidak benar-benar hitam. Tapi sangat putih pekat sampai siang hari terlihat malam dan selalu turun mendadak.

Dari kecil aku sudah sering dengar berita orang menghilang di gunung dan disinilah tempat favorit penemuan mayat. Tapi bukan cuma kabutnya yang berbahaya, jalur pendakiannya yang dekat dengan tebing itu juga licin, curam, berbatu. Sampai para tetua di desaku selalu bilang, siapapun kalau sampai terpeleset disini siap-siap saja meluncur terus hingga basecamp dan syukur-syukur kalau masih utuh.

"Hugo, apa aku harus jalan lebih cepat? Tandu Pak Nawa sudah nggak kelihatan." Tanyaku, aku menoleh kebelakang menatap Hugo setelah sekian lama kami di liputi sunyi.

"Nggak perluh. Pak Nawa aman dengan mereka."

"Hugo nggak khawatir?"

Untukku berjalan dengan kaki sendiri tanpa membawa apa-apa saja susah, apalagi rombongan pak Nawa, yang seharusnya hanya beberapa meter di depan kami, berjalan sambil menggotong tandu.

Hugo menggeleng. Ekspresi Hugo kembali mengingatkanku pada kalimat pak Nawa sebelumnya; Hugo yang tidak punya hati. Hampir tidak pernah peduli.

"Gimana kalau aku jatuh ke jurang, Hugo?" Tanyaku pelan sambil membalikkan tubuhku kembali menghadap depan. Bibirku bergerak menghianati, disaat sebagian isi hatiku berharap kami tetap di liputi sunyi hingga sampai kebawah lembah.

"Aku bakal ikut lompat." Jawab Hugo lebih cepat dari hembusan nafasku yang tertahan.

"Jangan."

"Apa aku bakal biarin kamu jatuh sendirian?" Tanya Hugo ringan.

Aku meringis sedetik, sensasi mencekik itu kembali lagi, rasa bersalah. Disaat yang sama Hugo mendadak menarik tanganku dengan keras. Aku tersentak kebelakang. Aku hampir jatuh terduduk kalau bukan karena Hugo menahan tubuhku. Disaat yang sama Hugo langsung berdiri didepanku untuk menatap tajam akar pohon panjang besar dengan goresan kabium yang anehnya berwarna merah. Melintang di jalur pendakian. Sebagian akarnya menggantung. Hanya terlihat separuh karena sebagian besar sisa pohon tertutup kabut pekat.

"Kita cari jalan lain." Dengan cepat Hugo menarik kembali tanganku, berjalan berbalik arah.

"Kenapa?" Aku sedikit menoleh kebelakang untuk melihat akar merah itu kembali menghilang ditelan kabut.

"Akar pohon Gana." Ujar Hugo tak sabar sementara tangannya dengan cepat menggores kecil membentuk lengkungan silang samar di salah satu sudut pohon terdekat dengan pisau lipat dari kantung jaketnya,"Jangan pernah meremehkan kepercayaan adat, Kala."

Lagi-lagi Hugo terdengar seperti ayahku. Bersikap seperti ayahku. Ayahku juga pernah mengucapkan hal yang sama. Dengan cara yang sama seperti cara Hugo menyebut tentang adat.

Seingatku, ayahku bilang siapapun yang berjalan di atas akar pohon Gana, pasti akan tersesat. Menghilang. Dan masih seperti dulu, aku masih setengah percaya tidak percaya.

"Darimana Hugo tau soal akar pohon Gana?"

"Ayahmu, Kala."

Lagi-lagi aku hanya bisa diam, aku tidak tau harus merespon bagaimana. Aku tidak pernah menemukan orang lain yang pernah membahas soal akar Pohon Gana kecuali para tetua adat dan ayahku. Yang aku tau, sebagian besar orang seumuran ku mengganggap remeh kepercayaan adat, termasuk aku. 

"Apa Hugo juga tau soal Anagata?"

Hugo menoleh kebelakang, kini memposisikan dirinya untuk berjalan di sampingku, anehnya sekilas kulihat bibirnya melengkung semakin cemberut. Hugo kelihatan marah.

"Aku tau, Kala."

"Apa Hugo pernah lihat juga?"

"Kalau kamu tau, seharusnya kamu tau, Anagata harus di hindari bukan untuk di lihat-lihat."

Wajahku memerah malu. Hugo benar. Anagata itu patung kayu kepercayaan desaku. Letaknya entah dimana. Ada yang bilang benda itu berpindah-pindah. Ia penanda gerbang masuk ke desa leluhurku yang tidak bisa di lihat oleh mata biasa.

"Hugo juga tau soal ,'berdoa di kala Hujan'?"

"Namamu kan? Namamu itu adalah doa."

Aku bergidik. Memang seharusnya sejak awal aku sadar. Apa yang Hugo tidak tau? Seharusnya aku tidak menyamakan Hugo dengan laki-laki kebanyakan yang kukenal. Hugo memang bukan pribumi. Ia setengah campuran, orang asing, pendatang. Tapi bukannya Hugo yang seringkali di tunjuk oleh para tetua dalam ritual berkat bumi? Bukannya para tetangga desaku, para golongan muda yang malah sibuk minum fermentasi gula aren dan melinting tembakau.

Bukan satu dua kali aku melihat Hugo menaiki Prau kecil ke tengah danau untuk memberi persembahan hasil bumi untuk di larung. Hugo juga pernah kudengar bisa melantunkan doa-doa dalam bahasa kuno dan selalu berpakaian tradisional desa di saat festival danau Rettatisna.

"Apa Hugo tau cara menghilangkan kutukan?"

Garis rahang Hugo mengeras, ia pasti bosan karena aku sudah pernah menanyakan hal sama berulang kali, "Kutukan yang sudah terlanjur tidak bisa hilang kecuali berbalik ke pengirimnya."

Langkahku terhenti, "Apa nggak ada cara lain? Apa ayahku nggak pernah cerita apa-apa soal kutukan ke Hugo? Apa tetua adat juga nggak pernah cerita apa-apa?"

"Ayahmu dan aku nggak tertarik untuk belajar hal begitu."

Aku tersentak, kenyataan membanjiri ku, aku sudah sampai jalan buntu, "Hugo?"

"Kamu kenapa?" Tanya Hugo, ekspresi wajahnya mengendur, berubah menjadi khawatir saat Hugo meletakan telapak tangannya di pipiku, "Kenapa kamu seperti mau nangis?"

"Hugo masih mau menikah denganku?"

"Selalu."

"Gimana kalau suatu saat nanti aku juga sayang Hugo?"

"Then love me like your father love your mother."

"Kenapa?" Suaraku bergetar pertanyaan ini lebih untuk diriku sendiri. Perasaan bersalah menyiletku lebih dalam dari sebelumnya. Bisa-bisanya aku merasa tidak adil. Padahal Hugo yang seharusnya merasa begitu. Aku lah yang mencurangi nasib dan Hugo korbannya.

Tiba-tiba telapak tangan Hugo yang besar menarikku mendekat. Hingga bibir kami bertemu.

"Karena kamu milikku." Bisik Hugo di bibirku.

"Tapi Hugo bukan benar-benar milikku." Jawabku sedih.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang