Aku sering membaca dari buku-buku sejarah, kejamnya ras kulit putih di desa ku dulu. Aku hafal soal itu. Pembantaian yang mereka lakukan; pribumi di hukum pancung, anak-anak kecil rata-rata sakit, berpenyakit kulit, kelaparan di tanah surga, gadis-gadis di perkosa lalu di buang begitu saja, seperti nenek ku.
Karenanya, hatiku terdalam memahami Mbah Djiwo dan kebencian orang-orang tua seangkatan beliau padaku. Seberapa dalam luka yang di torehkan orang-orang asing itu sampai trauma dan kemarahan mereka yang belum terselesaikan hanya bisa di lampiaskan padaku, anak setengah darah asing yang tidak bisa apa-apa bahkan belum pernah melihat wajah kompeni secara langsung kecuali; Hugo.
Hugo tidak perluh menggotong pedang seperti nenek moyangnya. Apalagi menebas leher orang-orang. Ia hanya perluh bersikap semanis madu, dermawan lebih dari Santa. Tapi desaku perlahan tergadaikan di tangannya. Hingga nanti tak tersisa lagi.
Aku menatap Hugo kehabisan kata-kata. Aku kembali ingin sekali marah. Tapi kemarahanku di hadang oleh pendidikan tata krama ku yang kental sejak kecil dan terutama karena aku miskin. Apa orang miskin juga tak boleh marah? Bukan juga. Tapi karena lagi-lagi dari awal memang aku yang salah.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Memejamkan mata sesaat. Kemudian menatap Hugo kembali yang masih memandangku, "Hugo menurut mu aku aneh tidak ada disini ?"
"Nggak ada yang aneh dari cara kamu duduk di depanku."
"Tapi seharusnya aku nggak mungkin ada disini, didepan Hugo." Ucapku lembut pelan sabar, "Dan seharusnya Hugo juga bukan disini. Seharusnya hubungan kita bukan begini."
Hugo memicingkan matanya, anehnya sekalipun matanya memandangku tajam tapi tubuhnya tampak rileks seakan ia sudah biasa mengobrol denganku, "Weirdly, yes."
"Itu Hugo, tau." Aku mengangguk-angguk, perasaanku berantakan, "Hugo pasti tau. Ini seharusnya nggak mungkin, kita mustahil menikah."
"Apa yang mustahil?" Tanya Hugo ringan, bibirnya tersenyum ngejek. mungkin bagi Hugo, memang tidak ada yang mustahil untuk standar nya.
"Apa Hugo pernah jatuh cinta sebelumnya?"
"Belum pernah sampai seperti ini." Jawab Hugo cepat.
"Kalau pak Gunther tau Hugo mau menikah denganku, beliau bisa mati berdiri."
"Ayahku nggak masalah aku menikah dengan siapapun." Balas Hugo, lucunya senyumnya bertambah lebar, hingga ia hampir terlihat seperti anak kecil bandel. Asing, asing sekali. Hugo yang kutahu; ia tidak pernah se ramah ini.
Aku meremas jari-jari ku di atas meja, gemas. Mataku menyipit dan bibirku meringis, "Lihat aku."
Iya, lihat aku. Teriakku dalam hati. Duniaku dan Hugo bagai langit ke bumi. Langit paling tinggi lapis tujuh di sandingkan kerak bumi. Orang paling idiot di desaku pun tau bahwa pasti ada yang tidak beres kalau sampai seorang Hugo mau menikah denganku.
"Aku melihat mu." Jawabnya sesantai sebelumnya dengan suaranya yang berat dan dalam.
Aku menggertak kan gigi, tidak tahan lagi, "Hugo, alasanmu mau menikah denganku, apa? Apa Hugo benar-benar nggak merasa aneh? Apa kemarin-kemarin itu kamu nggak merasa ada sesuatu meledak di rumahmu atau sinar-sinar biru hijau tiba-tiba meletus di kepalamu. Atau kepala mu tiba-tiba pusing, perutmu sakit, badanmu atau mulutmu bergerak sendiri tanpa kamu mau? Karena Hugo seharusnya menikah karena sesuatu yang nyata."
"Kamu nyata." Jawab Hugo, " Kamu ada, Kala."
"Iya tau. Maksudku aku memang manusia, aku bukan hantu. Tapi perasaanmu sekarang Hugo. Apa itu nyata? Gimana kalau perasaanmu tiba-tiba hilang. Lalu suatu saat Hugo bangun tidur ternyata disebelah mu itu aku? Orang yang sebetulnya Hugo nggak betul-betul tau?"
"Kamu anak perempuan yang kulihat dari dua belas tahun lalu. Apa menurutmu aku kurang tau kamu?"
"Tapi kita nggak pernah benar-benar bicara." Ucapku dan aku menekan kan setiap kata dalam kalimatku supaya Hugo, benar-benar mulai menggunakan logikanya.
"Karena kamu tidak pernah beri aku kesempatan untuk bicara."
"Sebentar." Aku menarik nafas panjang, sedari tadi aku benar-benar bicara panjang lebar sampai terengah-engah tapi orang di depanku menjawab santai. Ini membuatku merasa konyol, "Aku juga kenal Hugo dari kecil, tapi bukan berarti tiba-tiba Hugo jatuh cinta padaku, mendadak, sampai mau menikah."
"Nggak ada yang mendadak. I know your father well. Your family. All about you. So what's wrong?"
"Semuanya." Kali ini aku sudah sampai akhirnya, putus asa. Aku harus mencari cara lain. Berunding dengan orang yang sawan memang mustahil, "Hugo, tanduk rusa yang ada di pojok ruangan itu hadiah dari ayahku untuk Hugo kan ?"
Hugo menoleh kearah yang aku tunjuk, di atas meja bar spektakuler di antara lukisan mahal bergaya eropa ada tanduk rusa yang anehnya kukenali, "Ya. Tadinya tanduk itu ada di ruang lain tapi akhirnya ku pindah kesini."
"Kenapa?"
"Karena aku mau."
"Gimana kalau tiba-tiba tanduk itu jatuh dan pecah?"
"Masih banyak tanduk rusa yang lain." Jawab Hugo, kali ini matanya kembali tertuju pada mataku.
Aku membalas tatapan mata abu-abu itu dalam-dalam, "Itu yang aku maksud, gimana kalau perasaan Hugo tiba-tiba hilang, sementara perasaanku mulai ada? Apa aku berakhir seperti tanduk rusa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/186925926-288-k726465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
Roman d'amourMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...