Part 66

275 61 15
                                    

"Bhagya! Kamu itu terlalu berlebihan. Kamu pikir dengan membiarkan anak mu tidak menikah, anakmu tidak akan pernah meninggalkanmu begitu?!"

"Kala akan meninggalkanmu, cepat atau lambat. Ia perempuan, kodratnya adalah menikah. Memberi keturunan. Ikut dengan suaminya. Atau kalau tidak di ambil suaminya, kau pikir Kala tidak akan di ambil tuhan?!"

Aku memejamkan mata. Merosot duduk dari posisiku sebelumnya. Berdiri bersandar di pintu kayu kamarku. Di balik pintu, suara teriakan ibuku semakin bergema. Keras luar biasa. Menusukku. Hatiku.

"Sebenarnya maumu apa? Membiarkan Kala jadi perawan tua? Hidup sampai tua bersama kita? Menunggu kau mati dulu baru bisa menikah? Jangan tolol Bhagya. Bukan begini caranya mencintai anakmu!"

"Sudah kubilang berkali-kali sejak dulu. Semua ini salahmu! Kau juga yang minta ke tetua adat, untuk membuat mereka terus bercerita ke semua orang di desa seakan menikahi Kala yang punya darah asing itu salah. Tapi kau sendiri. Kau sendiri menikah denganku, bukannya darah ku juga kotor seperti katamu?"

"Egois. Apa kau sudah puas menghalangi seluruh laki-laki yang hendak menikahi Kala?! Menolak seluruh pinangan mereka! Menjauhi Kala dari dunia. Kala bukan barang yang cuma kamu yang bisa miliki. Yang hanya kamu yang boleh membawa nya kemana-mana. Memang kalau kau mati anakmu akan kamu bawa juga ke liang lahat?"

"Cukup Sara." Suara ayahku bergema balik, lebih keras dan berat dari ibuku. Suara pertama  yang di keluarkan ayah setelah rentetan suara ibuku, "Aku cuma tidak mau Kala, terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia. Seperti pernikahan kita."

"Jadi menurut mu, Kala yang harus bertanggung jawab atas semua kesalahan kita? Apa karena aku tidak bisa benar-benar jadi milikmu, maka Kala bisa jadi penggantinya?" Ibuku mendesis, lebih marah dari sebelumnya, "Apa kamu benar-benar mau menikahi Kala, Bhagya? Darah dagingku. Darah dagingmu sendiri..."

....................

Aku bermimpi aneh. Aku kembali menjadi diriku yang masih kecil. Duduk sambil mengayun-ayunkan kaki di atas pagar batu rumahku. Memandang jauh ke Padang rumput hingga ke danau.

Petang menjelang, aku bisa melihat siluet kecil diantara kabut gelap; beberapa warga desa dan para tetua adat menyalakan obor api dan memasang bendera-bendera kuning. Kain seterang matahari. Warna sakral di desaku.

Tidak berapa lama, suara gong besar bergema. Tanda ritual adat di mulai. Tapi gong itu tidak bertalu hanya satu kali. Namun berkali-kali. Tanda bahwa ini bukan ritual adat yang biasa. Bukan ritual berkat bumi yang meriah tapi upacara adat yang lain. Yang lebih sakral.

Wajah para tetanggaku, yang sebagian besar tadinya di luar rumah, disekitarku buru-buru memeluk anak-anak mereka,  masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat.

Aku berhenti mengayunkan kaki. Menelengkan kepala. Aku tidak tau ibuku ada dimana. Tidak ada yang memelukku, melindungi ku seperti anak-anak seusiaku yang langsung di peluk orangtuanya. Tidak ada yang menarik ku pulang. Beberapa dari mereka, tetanggaku tadi hanya menyuruhku segera masuk rumah, tapi tidak ada yang benar-benar menggiringku untuk aman bersama mereka.

Hanya aku sendirian.

Untungnya aku tau ayahku ada dimana. Ayahku selalu ada bersama para tetua adat setiap ritual. Aku tau ayahku dekat dengan mereka. Ayahku adalah salah sedikit orang di desa yang mampu menyiapkan seluruh perlengkapan yang di butuhkan setiap upacara adat.

Maka aku melompat turun. Berlari menembus kabut Padang rumput untuk mendatangi ayahku.

Tak berapa lama tubuh kecil ku berhasil meliuk-liuk. Diam-diam bersembunyi di balik salah satu pilar kayu yang di antara rumah panggung di dekat danau. Mengintip sekumpulan laki-laki dewasa berpakaian adat berkumpul di dekat tetua adat yang berjejer membelakangiku dekat api unggun.

Aku sudah biasa melihat ritual. Tapi ritual yang ini sedikit aneh. Karena selain setumpuk hasil bumi, bunga, air dan tanah keramat, aku juga melihat berderet-deret hewan ternak. Tidak ada kaum perempuan dan anak-anak juga. Bahkan dewasa muda pun tidak ada. Hanya orang-orang tua yang umurnya kurang lebih sama seperti ayah.

Tak berapa lama para tetua adat mulai duduk di tengah tanah lapang yang terdekat dengan danau diikuti yang lain. Mereka menyalakan dupa sebelum menyanyikan lagu sakral di desaku. Dengan bahasa kuno. Hingga satu persatu warga desa bangkit berdiri, menggerakkan tubuh menari dengan mata terpejam. Kesurupan.

Aku tersenyum-senyum. Lebih tertarik melihat domba-domba lucu daripada rutinitas ritual. Sampai aku melihat salah satu tetua adat yang tertua ikut berdiri. Beliau sudah sangat keriput. Jenggot putihnya panjang dan kurus seperti tinggal tulang berbalut daging. Ditangan kurusnya memegang machete.

Aku tidak berekspektasi apa-apa, hingga suara tebasan membuat waktu ku berhenti berputar. Mataku terbelalak. Domba kecil lucu yang kukagumi semenit yang lalu, mati bersimbah darah dengan cara yang paling tidak manusiawi.

Mulutku nyaris berteriak. Aku ketakutan. Tanganku segera kutangkupkan ke bibir. Tapi tebasan pertama itu belum selesai. Semua orang yang menari ikut mengeluarkan parang.

Mereka menari sambil membabat nyawa seluruh binatang hidup yang ada di sana. Mata mereka masih terpejam tapi tangan mereka dengan lihai menebas kemana-mana hingga banjir darah.

Aku ambruk ke tanah. Tidak bisa menahan tangis lagi. Tanpa sadar aku mulai memanggil-manggil ayah. Aku takut. Aku ingin di peluk ayah.

Suara tangisanku ternyata benar-benar di dengar ayah, karena saat aku mendongak kembali aku melihat ayahku berdiri di depanku, dengan baju penuh darah. Mencengkram parang.

Tapi beliau tidak seperti ayahku walaupun bibirnya tersenyum, matanya tidak.

"Kala" ayahku menyeringai, aku menjerit, "Apa yang dilakukan ayah itu salah?"

"Jangan pernah lupa. Orang yang paling bisa menyakiti kita justru adalah keluarga..."

Aku menjerit lebih keras, meronta-ronta. Aku mau berlari tapi aku berlari di tempat. Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernafas. Tapi kemudian aku teringat, aku bukan lagi anak berusia tujuh tahun. Umurku jauh melampaui itu, ini semua tidak nyata, hanya dalam ingatanku. Masa laluku.

Aku menarik nafas keras. Membuka mata. Bangkit dari kasur. Terengah-engah. Keningku berkeringat dingin.

"Kala? Kala?!" Seru seseorang di sampingku.

Mataku terbelalak, aku berada di dalam kamar Hugo. Ruangan besar nyaman yang aku sangat familiar. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku di peluk, sentuhan hangat yang kuingat.

Hugo.

"Semua baik-baik saja. Semua sudah berlalu. Semua hanya.... mimpi buruk."

Lalu aku mulai menangis tanpa suara.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang