Part 12

523 104 7
                                    

Keluarga Hohenstaufen schonberg tidak pernah kehilangan wibawanya. Mereka selalu menjamu tamu undangan mereka dengan hidangan mewah berlimpah.

Berliter-liter minuman, roti-roti panggang yang tidak pernah kulihat, daging dan berupa-rupa buah berjejer tunggi di sepanjang meja buffet yang di tata cantik. 

Itu semua jenis makanan yang jarang di temukan di meja makan orang-orang desa. Maka aku paham kenapa orang-orang desa biasa berpuasa dari siang sebelum malam acara jamuan di adakan.

Orang-orang desaku akan makan terus sepanjang  malam seperti tidak ada hari esok. Mereka mencoba setiap makanan dan ketika makanan di piring mereka tidak enak, mereka dengan mudahnya membuang makanan itu. Meletakan nya sembarangan seperti sehari-hari nya mereka tidak pernah kelaparan.

Warga desaku yang biasanya santun, berubah menjadi seperti binatang setiap acara jamuan ini diadakan. Mereka seperti kawanan hyena, membabat semua makanan sambil tertawa.

Beberapa orang nekat mencoba menjilat keluarga Hohenstaufen schonberg sembari menguyah makanan yang di sediakan.  Memuji habis-habisan. Setinggi langit.  Merendahkan diri mereka serendah-rendahnya untuk meninggikan keluarga Hoheng demi sedikit cipratan kemudahan akses atau entah apa.

Beberapa hanya makan sambil menunduk, tidak banyak bicara atau malah sama sekali tidak bicara dengan sang tuan penyelenggara, karena apa yang mau di bicarakan? Dunia yang terlalu berbeda?

Lalu ada orang-orang seperti aku. Yang ikut karena terpaksa. Berusaha menelan steak, menguyah dalam gerakan mekanis walaupun harga diri terluka. Menguyah makanan dari seseorang yang sebentar lagi akan menyita tempat tinggal mereka; apa yang enak dari itu?

Biasanya aku akan makan sedikit di pojok aula. Walaupun keuangan keluargaku berantakan. Aku tak pernah kelaparan. Ayahku sudah membekali ku dengan ilmu alam. Aku akan tetap hidup selama ada hutan. Hutan yang akan menyediakan segalanya untukku. 

Tapi kali ini berbeda. Aku berjalan lebih dekat ke patung es besar berbentuk angsa. Di sampingnya ada kue dengan icing warna-warni mengeluarkan bau semanis Cherry.

Puja yang tau betul, aku tidak pernah dengan sengaja berjalan ke tengah aula selama bertahun-tahun langsung menarik ujung sweeter ku, heran, "Kamu mau kemana?"

Aku menunjuk ke arah bagian tengah ruangan. Tempat biasanya pak Gunther,- yang kini Hugo Hohenstaufen schonberg berdiri. 

"Kamu ngapain kesana?!"

"Aku nggak tau." Jawabku jujur.  Dalam rencanaku, aku hanya ingin berdiri menatap Hugo dari dekat. 

"Aneh." Seru Puja, "Bukannya kamu takut dengan pak Hugo?"

"Aku nggak takut. Aku cuma nggak suka ada di dekatnya." Jawabku jujur.

"Iya." Puja mengangguk setuju, pandangannya berubah sedikit menerawang dan ia mulai  tersenyum kecut, "Padahal seharusnya kita jatuh cinta dengan pak Hugo. Kayak semua perempuan disini."

Aku tertawa. Lagi-lagi aku tertawa padahal hatiku berdarah. Sementara kakiku terus melangkah. Hingga tapak kakiku berhenti di depan patung es spektakuler. Pahatannya begitu halus. Cantik sekali. Serupa kristal. 

Di balik patung es, aku bisa melihat pahatan lain. Pahatan hidup. Wajah Hugo yang seperti patung yang di pahat oleh seniman terkenal sebagai wajah malaikat. 

Malaikat maut, kalau bagiku. 

Mataku menyipit. Disamping ku Puja menatapku penasaran. Karena hari ini aku benar-benar tidak seperti diriku yang biasanya. 

Hugo hanya berjarak beberapa langkah kaki dariku. Ia memakai kemeja abu-abu yang sewarna dengan warna matanya. Membuat nya, anehnya sepuluh kali lebih mengancam daripada saat ia dalam  mimpiku menodongkan senapan di hutan.

Tanpa sadar aku menelan ludah.  Tepat ketika itu. Hugo menolehkan kepala padaku. Tatapan matanya masih setajam yang kuingat.

Tatapan mata elang.

Tanpa senyum. Dingin. Lebih dingin dari kabut awan desaku.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang