"Hugo." Pak Bhagya mendongak, menatap tumpukan puding strawberry dalam ruang perjamuan, tumpukan itu lebih tinggi dari seluruh tumpukan makanan lain, hampir sedikit berlebihan dengan lelehan fla dan potongan buah strawberry segar yang berlimpah, "Apa kamu yang selalu meminta khusus menu ini setiap tahun?"
Tanpa menatap pak Bhagya, Hugo hanya berdiri terdiam. Menggerak-gerakkan gelas wine nya dengan sentuhan kecil.
"Saya tau kalau kamu tau, Kalau anakku Kala suka dengan puding strawberry. Tapi tidak perluh sampai seperti ini."
"Bukan untuk Kala." Dengan cepat Hugo menjawab, menyesap winenya kemudian kembali pada ekspresi dingin acuh.
Pak Bhagya menghela nafas, "Kalau besok saya bilang Kala lebih suka dengan puding coklat, apa di perjamuan selanjutnya akan ada setumpuk puding coklat?"
"Tidak."
Pak Bhagya tanpa sadar mendengus, sesuatu yang sangat tidak sopan, tapi tanpa sadar beliau lakukan karena ia sudah gemas dengan cara yang di pakai Hugo sejauh ini dan karena ia mengenal anak didiknya, Hugo, lebih dari siapapun didesa.
"Kalau begitu, bisa saya minta jangan kirim setumpuk puding strawberry ke rumah saya malam ini?"
"Ya."
"Tapi kamu pasti akan tetap kirim sekalipun saya bilang tidak."
"Ya." Jawab Hugo, bibirnya menyeringai bandel, "Lebih baik daripada membuang makanan."
"Saya lebih suka Hugo sendiri yang membuang makanan tersisa daripada saya yang turun tangan membuang puding-puding itu."
"Kalau begitu jangan diam-diam di buang di hutan belakang rumah."
Nafas pak Bhagya tersendat, ya, apa pula yang Hugo tidak tau.
"Hugo, puding strawberry memang kesukaan Kala. tapi saya tidak bisa menerima semua itu, untuk Kala. Demi Kala."
Seringai di bibir Hugo berubah semakin lebar hingga menjadi tawa kecil, "Demi Kala atau demi dirimu sendiri?"
..........
Wajah Hugo dengan tangannya yang berlumuran darah menghilang. Aku tersentak. Duduk terbatuk-batuk. Kembali menatap deretan pohon gelap dan mata air Rogoatma yang keramat. Kembali sendirian dalam kabut.
"Hugo." Tanpa sadar bibirku bergerak, menyebut nama seseorang yang sama kurindukannya seperti aku merindukan ayahku, "Hugo..."
Suara parauku semakin jelas. Aku berusaha bangkit berdiri. Perlahan-lahan merasakan kakiku menumpu tanah dan melihat tubuhku basah kuyup oleh lumpur.
Di liputi ketakutan, aku mulai melangkah, satu demi satu, puluhan langkah pelan hingga menjadi langkah yang lebih cepat. Tergesa-gesa. Jantungku berdetak kacau, tanganku gemetaran. Langkah kakiku terseok, canggung dan lemah. Tapi aku terus berlari, sekalipun harus jatuh berkali-kali.
Bayangan Hugo terus muncul di sepanjang jalan aku menuruni gunung, melewati semak Hydrangea. Memasuki jalan berbatu landai, menebus Padang rumput.
Aku bisa mendengar sedikit banyak, suara orang-orang tercekat melihatku bergerak kesetanan. Aku tidak memperhatikan mereka siapa. Aku tidak tau apa mereka mengira aku orang gila yang baru keluar dari gua. Aku tidak peduli apa mereka mengenaliku atau tidak dan bagaimana penampilanku.
Aku terus bergerak. Aku tak peduli apapun. Hanya Hugo.
Langkahku mulai melambat ketika aku melihat kerumunan orang-orang. Banyak orang. Mereka memunggungi ku. Berdiri di Padang rumput. Menatap kearah yang sama. Menuju rumah panggung milik para tetua adat yang terdekat dengan danau.
Sekuat tenaga, aku mencoba membuka kerumunan. Membelah lautan manusia. Awalnya butuh usaha. Sampai akhirnya sebagian besar orang di sana menyadari bahwa orang yang berusaha menyusup masuk adalah aku.
Tanpa komando namaku mulai di teriakan. Bersahut-sahutan dengan nada yang berbeda-beda. Mendadak lautan manusia itu membelah dengan sendiri nya seakan mempersilahkan aku lewat. Secepatnya.
Wajah orang-orang desa yang kukenal sejak dulu itu tidak tampak bahagia melihatku. Carut marut. Bercampur aduk antara takut, tegang, sedih, marah, kaget dan sebersit lega. Ekspresi yang aneh. Ekspresi yang membuat ku merasa lebih takut. Tapi segala ketakutanku mulai memudar begitu aku melihat seseorang yang berdiri sendirian di tengah kerumunan, di antara semak bunga Daisy.
Persis dalam bayangan yang kulihat sekelebat di mata air Rogoatma. Hugo memakai baju adat. Tangannya memegang machete berlumuran darah. Wajahnya pucat pasi. Tatapan matanya kosong. Dingin, sama sekali tidak punya hati. Seakan tak berjiwa.
"Hugo." Suaraku pelan kehabisan nafas, "Hugo.."
Hugo menolehkan wajah. Menatapku.
Duniaku mendadak menjadi hening. Suara kerumunan di belakangku menghilang. Aku tidak bisa mendengar apapun dan melihat apapun kecuali Hugo yang berdiri diam mematung.
"Hugo." Jemariku terangkat sedikit saat aku mulai berbicara. Aku ingin menggapai Hugo tapi kakiku menyerah. Tubuhku sudah sampai batasnya, hingga satu-satunya yang bisa kugapai hanya semak bunga Daisy didekatku.
"Kala." Bibir Hugo mulai bergerak, wajah pucat pasinya mulai berwarna, matanya kembali menyala. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara machete jatuh ke tanah dengan bunyi berdenting. Besi dan tanah. Seperti mataku dan Hugo. Coklat dan abu-abu.
Aku memejamkan mata, kesadarankupun tampaknya juga mulai menyerah. Bayangan Hugo mulai berubah samar. Satu-satunya yang kulihat setelah itu, hanya Hugo berlari dan berlutut di hadapanku. Jemarinya merengkuh jemariku. Aku tersenyum dan tidak mengingat apapun lagi setelah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...