Part 61

590 92 12
                                    

Malam yang aneh tiba mendadak ketika aku memejamkan mata dan membukanya lagi tepat di depan rumah ayahku.

Anehnya, tanpa merasa ini hal yang janggal,  aku ingin langsung melompat-lompat, berlarian menghindari ayahku yang langsung buru-buru mengejarku. Langkah kakiku yang acak membawaku ke sebuah lapangan luas di tengah desa. Ada festival disana. Seperti setengah sadar, aku langsung memutari api berwarna jingga Velvet begitu melihatnya. Menari gerakan yang aku sendiri tidak tau kenapa aku bisa tau.

Semua orang bernyanyi. Bertepuk tangan gembira. Bukan cuma orang sebetulnya, ada hewan-hewan aneh yang tidak kukenal bermunculan disana.  Ular sangat besar yang bersayap. Kunang-kunang berpedar seperti pelangi, monyet yang bergerak seperti manusia, burung-burung warna warni yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Ayahku akhirnya duduk di antara makhluk-makhluk itu. Menatapku sambil menyesap minuman dari segelas benda terbuat dari kayu yang di ambil beliau entah darimana.

Aku tersenyum pada ayah. Itu terus yang kulakukan setiap kali mataku menatap mata ayah. Dari puluhan mata hanya mata ayahku yang menatapku. Sementara semua makhluk lain seakan tidak menatapku. Seakan aku tidak kelihatan. Tapi tidak apa-apa. Tidak di anggap juga tidak apa-apa.

Selama ada ayah.

Sepanjang malam. Kakiku terus bergerak. Aku tidak lelah dan malam seperti tidak akan pernah berakhir. Langit memang gelap tapi tidak segelap dari langit yang kuingat. Warna langitnya ungu bercampur velvet. Tanpa bulan dan bintang. Tanpa angin, kabut dan hujan.

Aku terus menari-nari sampai akhirnya aku menyadari ada satu mata lain yang akhirnya menatapku. Mata seorang nenek tua yang seperti kukenal tapi juga tidak kukenal.

Awalnya aku tidak mau peduli. Tapi nenek itu tersenyum dan di bawah kakinya ada ayam gallus putih yang mematuk-matuk tanah.

"Nenek." Bisikku. Aku mematung beberapa saat sebelum memutuskan berjalan mendekati nenek.

Nenek memakai pakaian tradisional. Kembem dan celana batik. Rambutnya putih, kulitnya keriput tapi anggun. Menua dengan cantik.

"Cucuku cantik." Nenek menepuk-nepuk puncak kepalaku ketika aku sudah ada di hadapannya, "Sedang apa kamu disini, nduk?"

"Aku sedang apa?" Tanyaku balik. Keningku berkerut dan aku mulai merasa bingung dan linglung lagi. Iya kenapa aku disini? Ini dimana?

"Ibu!" Suara sentakan kasar itu menggema. Mengagetkanku. Membuatku menoleh kebelakang karena ayahku langsung mengangkat menggendongku erat-erat lagi di dadanya.

"Bhagya." Senyum nenek masih melekat. Sama sekali tidak hilang. Kini beliau memandang ayahku, "Apa kamu sudah memikirkan keputusan mu benar-benar?"

"Ayah, nenek ini siapa?" Aku menyela sambil menyentuh pipi ayahku yang hanya diam saja, "Apa beliau nenekku?"

"Iya. Aku nenekmu Kala." Nenek itu akhirnya yang menjawab pertanyaanku pada ayahku setelah keheningan yang sangat lama.

"Nenek." Aku menoleh, menjulurkan tangan meminta di gendong nenek, "Kenapa aku belum pernah bertemu nenek sebelumnya?"

"Kita pernah bertemu nduk." Nenek menjulurkan tangannya balik untuk merengkuh dan menggendongku, "Tapi nenek memang tidak pernah tinggal satu rumah denganmu. Nenek harus pergi lebih dulu sebelum kau ada di dunia."

"Kenapa?" Aku menggigit bibir, mencoba mengingat-ingat potongan ingatanku tentang seorang nenek. Aku kenal nenek dari pihak ayahku. Tapi tidak pernah kenal nenek dari pihak ibuku sedari aku kecil, sama sekali.

"Apa nenek itu ibunya ibuku?"

"Anak pintar." Nenek menganggukan kepala senang, "Persis seperti kakekmu."

"Kakek?" Aku menggigit bibir semakin dalam. Kakek ku? Apakah orang asing itu? Yang kata semua orang didesa meninggalkan nenekku sekarat di tengah kebun teh?

Disaat aku terlalu sibuk berpikir, ayahku mendesis  marah dibalik punggungku dan menjulurkan tangan seperti ingin merebut balik aku kedalam pelukannya.

"Sudah cukup Bhagya. Tidak disini. Tidak sekarang. Kamu seharusnya tau konsekuensinya." Nenek memelukku lebih erat. Menepis tangan ayah. Beliau buru-buru membalikkan badan dengan kasar.

Dan kemudian duniaku berputar kembali.

Aku merasa pusing sekali ketika aku lagi-lagi terbangun di tempat yang berbeda. Lagi-lagi tempat yang membingungkan,  aku bingung apa aku benar-benar mengenali tempat ini atau tidak. Asing sekaligus familiar. Aneh.

Aku tidur telentang diatas dipan kayu. Dalam ruangan hangat berdinding batu. Di dekatku ayah dan nenek duduk di satu meja. Menyesap minuman dalam gelas kayu yang sama seperti di lapangan api unggun.

"Kala." Ayahku yang pertama bergegas bangun ketika menyadari aku membuka mata.

"Ayah. Aku dimana?"

"Di rumah nak. Rumahmu." Seru ayahku. Jemari beliau membelaiku.

"Rumahku yang mana?" Tanyaku sekali lagi. Suaraku serak. Aku mau muntah, pusing setengah mati dan bibirku kering terbakar.

"Disini. Rumah ayah."

"Aku mau minum ayah." Bisikku. Suaraku lebih tersengal.

Jemari ayahku berhenti mengelus. Ayahku mematung dengan wajah muram.

"Jangan gegabah Bhagya." Suara nenek bergema di balik punggung ayahku. Sementara apa yang kulihat dari pandangan mataku mulai berubah menjadi potongan gambar buram.

"Dia, Kala. Tidak akan kuat bu." Suara ayahku mulai terisak.

"Karena itu. Justru karena itu."

"Kala harus segera...."

"Bhagya, sebenarnya kamu ingin menyelamatkan anakmu atau dirimu sendiri? Ini semua untuk anakmu atau untukmu?"

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang