Part 64

275 69 17
                                    

Diam-diam aku melirik ibuku. Lebih ke penasaran bagaimana reaksi ibuku setelah mendengar ayahku mengucapkan kata -tidak dengan tegas.

Ibuku bagaikan buku yang terbuka. Perasaannya terpampang jelas di wajah. Saat ini wajah beliau merah padam seperti kepiting rebus. Matanya terang-terangan mendelik menatap ayahku. Sementara ayahku tak bergeming. Beliau tetap duduk tegap tanpa senyum di hadapan laki-laki pertama yang berani melamarku ini.

Gayuh, anak laki-laki yang kukenal dari sejak aku kecil. Ia salah satu bibit bobot bebet unggul di desaku. Salah satu orang yang paling sering di prospek kan oleh anak perempuan desaku yang belum menikah.

Gayuh mewarisi peternakan dan kebun kopi dari orangtuanya. Ia tidak merokok dan tidak suka minum. Sehari-hari, daridulu, yang kutahu ia selalu menyibukkan diri bekerja membantu orangtuanya; bukannya berburu rusa seperti kebanyakan anak laki-laki seangkatannya. Dan sebagaimana semua orang tau, Gayuh termasuk pintar di sekolah.

Jadi apa yang kurang?

Kini mataku menatap Gayuh. Wajah Gayuh pucat pasi. Ia seperti pemain yang tidak menyangka akan kalah dalam pertandingan. Wajah Gayuh juga tidak jelek, ia tipikal pribumi desaku. Bertubuh tinggi sedang tegap, berkulit sawo matang dengan rambut ikal hitam dan hidung Bangir.

Ia sopan, ramah dengan semua orang dan salah satu dari sedikit orang yang menganggap rambut dan mata coklatku, menarik.

Maka apa yang salah?

Mataku dan Gayuh tiba-tiba bertatapan. Gayuh langsung membuang wajah padahal aku ingin sekali melemparkan ekspresi minta maaf setulus mungkin.

Aku tidak sedih karena ayah menolak Gayuh. Sebetulnya malah, aku tak merasakan apa-apa. Ia hanya anak laki-laki yang kukenal sejak kecil. Kami berteman. Karena dasarnya lingkup pertemanan kami kecil. Di sekolahkan di sekolah yang sama dari kecil hingga besar. Dibesarkan di desa yang sama. Hampir tidak ada yang tidak kutahu tentang Gayuh. Begitu juga Gayuh padaku.

"Untuk lamgsung menikah, memang terlalu mendadak. Tapi bolehkan saya mencoba mengenal Kala dengan lebih dekat?" Gumam Gayuh memecah keheningan yang membuat sesak nafas.

Ayahku lagi-lagi menggeleng dengan tegas. Ibuku muntab. Beliau langsung bangkit berdiri, nyaris membanting gelas yang tadinya ia pegang ke atas meja ruang tamu ku yang reyot sebelum beranjak pergi ke dapur. Ibuku jelas tak tahan lagi.

Setelah itu, tidak ada banyak hal yang bisa di lakukan Gayuh dan keluarganya. Mereka mundur dengan teratur. Secara gentleman berpamitan meninggalkan rumahku. Kalah perang. Menanggung malu. Jadi bahan tontonan tetangga. Sudah pasti juga jadi bahan pembicaraan. Oh, tapi bukan mereka antagonisnya. Jelas keluargaku. Anak perempuan dari keluarga banyak hutang, berdarah penghianat, dengan belagunya menolak pinangan keluarga terhormat.

"Kala...." Ayahku akhirnya bersuara pelan sesaat setelah mereka pergi, "Apa keputusan ayah salah?"

Aku menoleh tersenyum menatap ayah, "Apa aku tidak boleh menikah ayah?" Tanyaku balik.

Seketika ayahku tertegun, bibir beliau terbuka namun kelu untuk bicara.

"Kamu harus menikah. Tapi suatu saat nanti." Akhirnya dengan terbata-bata ayahku melanjutkan berkata, "Kalau... memang ada yang pantas untukmu."

"Siapa?"

"Orang yang mau berkorban segalanya untukmu, lebih dari ayah." Jawab ayah sementara tangan beliau tiba-tiba merogoh sesuatu dari kantung jaketnya.

"Buah Loma!" Seruku senang melihat buah favoritku di tangan ayahku. Beliau menyodorkan buah itu padaku. Bibirnya tersenyum getir.

"Ini hadiah terakhir dari ayah untukmu."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang