Part 55

338 80 9
                                    

Ayah menepuk puncak kepalaku, menarik perhatianku dari tumpukan puding strawberry favoritku, "Kala, jangan pernah lupa, orang yang paling bisa menyakiti kita adalah keluarga."

"Kenapa ayah tiba-tiba bilang begitu?" Tanyaku bingung.

Ayahku terdiam. Matanya menerawang jauh entah kemana dalam aula Arutala yang megah sebelum akhirnya menunduk menatapku.

"Kenapa ayah sering bilang begitu?" Tambahku. Menuntut.

"Karena keluarga bisa jadi obat tapi bisa juga menjadi racun." Gumam ayahku sebelum matanya kembali terfokus dan bibir beliau tersenyum pedih, "Ayah cuma mau mengingatkanmu."

......

Aku turun dari dalam mobil begitu pak Nawa membuka pintu. Pak Nawa terang-terangan membuang wajahnya sejauh mungkin dariku. Aku berhasil membuat pak Nawa kesal tapi juga mati kutu.

Aku kenal pak Nawa. Aku tau beliau orang yang kompeten dalam pekerjaannya tapi sekali tersinggung, beliau mudah terbawa emosi. Sampai tidak mau memperhatikan apa-apa, termasuk padaku dan rombongan terakhir yang melewati lengkungan pintu masuk aula besar Arutala.

Mataku sekarang jatuh pada Mbah Djiwo. Walaupun berjalan tertatih-tatih, lambat, berumur hampir delapan puluh dan selalu jadi rombongan kecil paling terakhir yang datang, tapi beliau selalu ada.

Aku kenal Mbah Djiwo lebih dari pak Nawa. Aku tau Mbah Djiwo pasti juga akan langsung menatapku. Kami saling bertatapan dan langkah Mbah Djiwo langsung tertuju padaku walau di tahan oleh Puja.

Wajah cucu dan nenek itu kompak merah padam. Ekspresi ingin membunuhku tapi di tahan setahan mungkin.

Ini bagian yang lucu. Paradoks paling gelap dalam hidupku. Seadainya aku bukan istri Hugo. Pak Nawa tidak akan mau repot-repot menahan amarahnya. Puja dan Mbah Djiwo apalagi.

Mereka menekan emosinya bukan karena aku, tapi karena takut dengan Hugo.

Aku dengan senang hati berjalan lebih cepat menyambut kemarahan Puja dan Mbah Djiwo. Menjauhi pak Nawa sejauh-jauhnya. Aku tidak punya banyak waktu. Cepat atau lambat para penjaga Arutala dan para pegawainya akan menyadari keberadaan ku. Mereka pasti mengawasi terus menerus.  Berjalan mendekat. Menuntunku ke dekat Hugo dan aku tidak akan bisa berkutik semalam suntuk.

"Kala." Ujar Puja begitu jarak kami sudah cukup dekat. Kulihat bibirnya bergetar, "Kenapa..."

"Anak sialan." Semprot Mbah Djiwo. Pelan tapi menyakitkan, sementara Puja berusaha mencengkram bahu neneknya sekuat mungkin, menahan beliau tetap diam.

Tapi Mbah Djiwo dengan perangainya dan aku yakin kemarahan nya sudah tidak bisa terbendung lagi mulai merempet tak karuan, "Berani-beraninya kamu mengirim roti kacang!!! Ayam gallus sepertimu apa setelah jadi istri Hugo jadi arogan?"

"Mbah alergi berat dengan kacang Kala." Bisik Puja di tengah pergulatan nya untuk membuat neneknya diam, "Kamu seharusnya tau."

Aku mengangguk, "Aku tau."

Mbah Djiwo dan Puja terperangah sesaat.

"Kamu bisa bunuh Mbah....."

"Aku tau." Jawabku sekali lagi.

Mbah Djiwo muntab, "Wong edan. Sama edannya seperti ibumu! Tau begini Mbah seharusnya makan roti sialan buatanmu itu supaya Mbah mati. Jadi ibumu dan kamu bisa di adili oleh tetua adat!!!"

"Sudah Mbah..sabar." Cicit Puja tapi matanya mendelik menatapku.

"Roti itu buatanku, bukan ibu." Potongku, "Jadi jangan bawa-bawa ibu."

Mbah Djiwo meludah ke tanah, wajahnya lebih benci dari sebelumnya, "Apa sekarang kamu mau sombong seperti Aksara-ibumu? Mentang-mentang jadi istri Hugo lalu kamu pikir ayam sepertimu kebal hukum? Apa ibumu juga berpikir kalau ia punya menantu Hugo ia mulai bisa seenaknya?"

"Bawa Phraya itu ke rumah malam-malam. Terang-terangan kumpul kebo?! Sudah berani dia sekarang? Apa kamu juga seberani itu Kala?"

Aku menatap Mbah Djiwo lebih lekat. Tapi ini yang kutunggu. Jawaban yang lama kucari. Kejujuran yang menyakitkan. Hanya Mbah Djiwo yang bisa melakukannya. Karena ia salah sedikit orang yang paling senang hati mencari kesalahan keluargaku walau cuma sekecil kacang dan menyakitiku setiap diberi kesempatan.

"Apa Hugo tau, anak dari ibu tukang selingkuh sepertimu, apa bisa setia? Ibumu sudah dapat laki-laki sebaik ayahmu saja masih main api. Dan ayahmu yang tolol itu, pura-pura tidak tau seumur hidup! Teman ular seperti itu di pelihara. Masih bagus Mbah tidak bilang ini ke kamu sejak dulu demi ayahmu!"

"Ayahmu terlalu baik untuk ibumu. Seharusnya dia pergi. Pergi sejak lama!! Bersama anak perempuan tidak berguna sepertimu dan istri tukang selingkuh apa bagusnya?! Mbah benci melihat ayahmu begitu. Pasrah saja bertahun-tahun."

"Sayang semuanya sudah terlambat. Salahnya. Salahnya sendiri! Memelihara ular dalam rumah. Sekarang kena racunnya sendiri. Mati! Tinggal tunggu mati!"

"Ayah saya akan sembuh." Balasku. Mataku mulai berair dan kakiku gemetar," Ayah pasti sembuh."

"Jiwa ayahmu sudah di bawa Anagata! Dibawa oleh Pharaya supaya ia bebas bersama ibumu.  Tidak mungkin ayahmu sembuh. Kecuali kamu bersedia menggantikan beliau di Anagata."

"Stop Mbah!" Puja membekap mulut mbahnya. Ia berkeringat dingin, marah "Jangan dengarkan nenekku, Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang