Part 54

421 85 5
                                    

"Maaf, apa kamu memanggang kue sebanyak ini untuk pesta perjamuan malam ini?" Tanya pak Nawa, salah sedikit orang yang punya akses keluar masuk paviliun Hugo. Beliau melongo menatap tumpukan roti walnut yang kubuat sepanjang hari dan kutata di atas meja makan yang hampir penuh berbagai macam roti.

Aku menggeleng sambil tersenyum kecil. Roti yang kubuat adalah roti favorit Hugo; sejenis roti Jerman dengan kacang di atasnya yang tidak bisa dimakan langsung tanpa membuat ompong gigi. Karyawan Arutala biasa menghidangkan roti sejenis ini di buffet breakfast hotel bersama soup dan mereka biasa memakan ini juga sesekali, tapi warga desa kebanyakan belum pernah menyantapnya.

"Boleh saya minta tolong pak Nawa untuk membagi roti-roti ini ke karyawan Arutala besok?" Tanyaku dan pak Nawa langsung mengangguk. Sejak aku menjadi istri Hugo, perlakuan Nawa memang banyak berbeda, "Kecuali yang satu ini..."

Aku mengambil sekotak kue yang sudah kusiapkan dan menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan pak Nawa sambil tersenyum manis, "Untuk satu ini, bisa tolong berikan ini khusus ke seseorang sekarang juga?"

Pak Nawa tersentak. Kulihat matanya melirik canggung pada dua penjaga Arutala yang mendadak di tempatkan dalam paviliunku. Mereka berdiri di pintu jendela besar dapur yang tembus langsung ke halaman.

Orang suruhan Hugo; Dua penjaga bertubuh besar tinggi berwajah galak. Yang kutemui di hutan waktu itu. Ramah kalau denganku. Tapi mereka tidak ramah dengan orang lain yang mendekatiku. Mereka terang-terangan mengawasi, mengikutiku dalam jarak pandang sepanjang hari.

Aku tidak protes soal ini pada Hugo dan aku sendiri sudah lama curiga, sebetulnya bukan akhir-akhir ini aku mulai di jaga. Tapi sebenarnya sudah sejak dulu. Hanya dulu tidak seterang-terangan ini dan tidak sedekat ini.

Pak Nawa melangkah satu jengkal mendekat, "Untuk siapa?"

"Untuk Mbah Djiwo dan Puja."

...........


Aku mendongak menatap langit dari jendela kaca sangat besar kamar Hugo. Senja sudah berubah menjadi malam. Kabut mulai turun di sela-sela pohon pinus dan hujan rintik-rintik mulai berjatuhan.

Di belakangku, diluar pintu kamar, aku yakin dua penjaga dan satu pegawai Arutala suruhan Hugo berdiri. Berjalan bolak-balik dengan gelisah karena aku tidak juga keluar dari kamar padahal malam perjamuan sudah akan di mulai.


Aku menarik nafas. Suara ketukan pintu yang kelima terdengar. Akhirnya aku keluar dari kamar. Membiarkan tiga orang yang panik menungguku buru-buru mengejar mengikuti ku melangkah menuju mobil jemputan pak Nawa.

"Pak Hugo sudah menunggu." Suara pak Nawa terdengar terseret. Beliau berdiri di samping pintu mobil. Menahan gerutu dengan wajah yang aku yakin sudah di tahan setahan mungkin untuk tidak tampak cemberut.

Aku tersenyum, melirik ke belakang, ke arah dua penjagaku dan satu orang suruhan Hugo yang berdiri di belakangku. Aku meminta mereka untuk membungkus semua roti buatanku, yang ada di dapur, sekarang juga, sebelum dengan cepat aku masuk kedalam mobil tanpa menunggu jawaban.

Sepanjang jalan aku menatap Padang rumput di antara kabut dari balik jendela mobil. Dihiasi suara mengomel pak Nawa yang pastinya sudah beliau tahan sekuat tenaga supaya ia tidak terdengar terlalu ketus padaku. Protes soal tugas mendadak,-di luar job desk yang kuberikan pada orang-orang tak bersalah yang padahal sudah menungguku keluar dari kamar lebih dari satu jam.

Aku hanya diam. Terus mendengar. Hanya mendengar sampai dari kejauhan aku melihat puluhan orang berjalan dalam rombongan. Berkelompok. Dengan pakaian terbagus mereka. Tampak bahagia sekaligus canggung. Melangkah melewati jalan bebatuan jingga Arutala memasuki bangunan aula perjamuan.

Sesaat, aku seperti melihat diriku yang dulu berjalan di sana. Dengan pakaian sederhana dan wajah tertunduk tidak percaya diri menuju aula perjamuan yang mewah seperti rombongan domba yang di giring ke kandang.

Sepanjang sisa jalan pak Nawa melanjutkan berkata, aku seharusnya mengikuti perintah Hugo. Datang lebih awal di ruang perjamuan. Menemani Hugo menginspeksi persiapan terakhir perjamuan. Bukannya ngotot menolak mentah-mentah Hugo dan malah berdiam di kamar hingga malam.

"Apa kamu gugup tidak mau keluar kamar karena ini malam perjamuanmu yang pertama sebagai tuan rumah?" Gerutu pak Nawa.

"Apa dari kecil Hugo suka kegiatan perjamuan?" Tanyaku balik mengalihkan pembicaraan.

Pak Nawa tidak menoleh. Beliau tetap menatap jalan, tetap menyetir saat menjawab, "Beliau tidak pernah suka daridulu."

Bahu pak Nawa dari belakang mendadak tampak menegang. Beliau pasti tidak suka membahas hal pribadi tentang Hugo, "Pak Hugo pernah bilang sebelumnya. Setelah Bu Leah meninggal dan pak Gunther tinggal di luar negeri, kalau beliau tidak ingin lagi mengadakan perjamuan. Pak Hugo tidak masalah dengan esensi kegiatannya. Tapi beliau tidak suka berkumpul dengan banyak orang dan dana untuk perjamuan akan di alihkan menjadi bentuk lain yang lebih bermanfaat dalam waktu lama untuk warga desa daripada cuma pesta semalam suntuk."

"Tapi setelah menikah denganmu. Pak Hugo membatalkan semuanya. Padahal seluruh rincian kegiatan sudah di buat."

"Kenapa?" Aku berusaha terdengar ringan. Seringan sebelumnya. Seringan gaun santin abu-abu elegan yang kupakai yang aku tau akan senada dengan kemeja abu-abu yang di pakai Hugo malam ini.

"Pak Hugo tidak bilang apa-apa." Jawab pak Nawa. Ia berdeham dengan nada kecut, "Tapi menurut saya, apa kata warga desa kalau tiba-tiba pak Hugo menghentikan tradisi acara perjamuan setelah menikah dengan mu?"

"Pak Hugo bukan orang yang peduli apa kata orang lain. Tapi baru kali ini, beliau sebegitu pedulinya terutama tentang mu. Sejak hari itu. Sejak bertemu denganmu. Beliau khawatir dengan pandangan warga desa tentangmu. Kenapa? Kenapa Kala?"

Aku menelengkan kepala. Hal terberani pertama yang di tanyakan oleh pak Nawa setelah aku menikah dengan Hugo.

"Nanti aku akan minta Hugo untuk yang menjelaskan sendiri pada pak Nawa." Jawabku semanis madu, "Secepatnya."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang