Part 38

542 109 15
                                    

Aku menatap bayangan diriku di danau Rettatisna. Aku belum pernah naik Perahu ke tengah danau malam-malam di bawah cahaya bulan.

Hanya orang-orang tertentu di desaku yang punya Perahu dan danau Rettatisna dianggap danau Kramat. Tempat pemandian peri. Tidak banyak orang mau menaiki kapal mengarungi danau tanpa tujuan apa-apa malam-malam.

Dalam bayangan air, aku melihat wajahku lebih pucat dari biasanya. Rambutku yang ikal tampak tidak tertata rapih tertiup angin. Hanya mata coklatku yang membuatku tampak hidup.

Aku tidak tahan melihat wajahku sendiri jadi aku mendongakkan kepala. Menatap kembali Hugo yang duduk di depanku. Mendayung perahu. Aku juga menekuk kakiku sedikit. Membuat diriku senyaman mungkin setelah dua hari hanya terkurung di dalam kamar.

"Hugo sering naik perahu sendirian ke tengah danau?"

Hugo menyeringai kecil. Seperti anak kecil bandel, "Ya. Kalau tidak hujan."

"Kenapa? Apa Hugo nggak takut?"

"Apa yang harus di takuti?"

"Danau ini kan keramat." Ujarku, ada rasa malu samar, seperti aku mengajari Hugo satu di tambah satu, pengetahuan umum yang semua orang tau. Apalagi Hugo.

"Tapi nggak dilarang untuk naik perahu kan?"

"Gimana kalau Hugo ketemu peri?"

"Peri dalam bayanganmu itu bagaimana?" Tanya Hugo balik.

Aku menggigit bibir. Bulu kudukku meremang. Aku nggak berani bicara sembarang disini.

Kesunyianku di balas Hugo dengan berkata, "Ini tempat favorit ibuku, Kala."

"Tempat favorit ayah Hugo,-pak Gunther juga?"

"Oh, enggak." Jawab Hugo dengan nada ngejek. Lebih seperti menertawakan dirinya sendiri, "Ayahku lebih suka pantai daripada gunung."

"Jadi Hugo pasti tau banyak juga tentang danau Rettatisna."

"Sebanyak yang ayahmu pernah beritau."

"Oh." Aku mengangguk. Tanpa sengaja mataku menatap wajah Hugo di bawah cahaya bulan. Mata abu-abu Hugo terlihat lebih terang. Biasanya mata itu membuatku takut tapi anehnya detik ini, aku lebih takut kalau mata itu tidak mau menatapku lagi, "Ayahku juga cerita banyak ke aku, semuanya." Aku melanjutkan berkata perlahan, ragu, "Kecuali tentang Hugo. Aku... nggak tau apa-apa tentang Hugo dan ayah."

Bibir Hugo tersenyum, "Ayahmu nggak akan mungkin pernah cerita, karena ayahmu sendiri juga ngelarang siapapun untuk cerita. Beliau juga melarang aku untuk datang ke rumahmu. Apalagi bertemu kamu langsung, Kala."

Ekspresi bingungku mungkin lucu untuk Hugo sampai senyum Hugo berubah menjadi tawa bahkan sebelum aku berkata apa-apa, "Aku pertama kali tertarik dengan beliau,-ayahmu, sewaktu ada wabah tupai. Ayahmu jadi salah satu pemburu yang dipanggil untuk berburu tupai di Arutala. Ayahmu, yang paling mahir berburu, Kala. Dari semua orang yang pernah aku kenal."

"Sekitar umurku lima belas tahun. Aku minta ayahmu untuk jadi pelatih. Kadang, aku berhari-hari tinggal di gunung dengan ayahmu. Membuka jalur atau mencari jejak hewan atau ya, banyak. Banyak yang di ajarkan ayahmu untukku."

"Daridulu, ayahmu sering cerita tentangmu, Kala. Sampai aku merasa kenal kamu dari sebelum aku benar-benar kenal kamu. Tapi saat aku minta bertemu kamu. Ingin dengar kamu bicara. Ayahmu malah melarang. Nggak adil kan?"

"Ayahku lebih protektif dari ibuku." Aku mengakui. Aku tau dari sebelum ayahku sakit, ayahku yang paling rajin menolak tawaran lamaran pernikahan untukku. Ibuku selalu marah pada ayah, menuduhku akan jadi perawan tua. Tapi disaat tujuan utama semua anak perempuan di desaku adalah menikah tepat waktu. Aku tidak masalah telat menikah atau malah tidak menikah. Selama ada ayah.

"Memang." Jawab Hugo santai.

"Kalau Hugo sendiri? Apa ayah Hugo juga begitu?"

Hugo tertawa semakin keras. Di tambah rambut hitam berantakan jatuh tersapu angin dengan tatanan yang membuat wajahnya lebih dari pahatan. Kuakui Hugo tau caranya terlihat mempesona tanpa usaha, "Nggak Kala. Nggak semua ayah seperti ayahmu."

"Pak Gunther sekarang tinggal di Jerman kan? Kapan Hugo balik kesana?"

"Kamu mau aku balik ke Jerman?"

"Tapi Hugo jarang tinggal lama disini."

"Ya. Sebelum ibuku meninggal." Mata Hugo sedikit menatapku curiga, "Sudah satu tahun lebih aku tinggal permanen disini. Apa kamu nggak tau?" Tanya Hugo namun tanpa menunggu jawabanku dan hanya dengan memperhatikan ekspresi ku, Hugo melanjutkan berkata, "Salah satu alasan kenapa aku belajar tentang desa Sembagi itu supaya aku bisa tinggal di Arutala selamanya."

"Ibuku di kuburkan di tempat ini. Ayahku punya usaha lain di Jerman. Harus ada yang mengurus Arutala dan kamu disini. Ada banyak alasan untukku tetap tinggal."

"Jadi setelah menikah, Hugo bakal tetap tinggal disini?"

Hugo tertegun beberapa saat sebelum dengan cepat Hugo meletakan dayung di tempatnya untuk langsung menggapai kedua pipiku dengan telapak tangannya," Apa ini artinya, Iya? Apa kamu mau menikah denganku, Kala?"

Seketika pipiku merona. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan wajah putih tegang Hugo, "Tapi kalau suatu saat nanti, aku jadi tanduk rusa membosankan yang  jatuh pecah, semudah itu untuk di pindah-pindah dan nggak berguna, aku harus gimana?"

"Nggak akan." Sergah Hugo, wajahnya kalut. Wajah yang aku pernah lihat sebelumnya ketika Hugo mengatakan bahwa; aku, sesuatu yang paling ia inginkan di dunia, "Kamu orang paling aku suka selamanya Kala."

Pipiku merona semakin merah. Wajahku membara namun di saat yang sama aku bisa merasakan air mataku mulai mengalir pelan di bawah tatapan tajam Hugo, "Apa aku harus pergi, menyerah, kalau waktu itu datang?"

"Itu nggak akan mungkin terjadi." Hugo menggeleng, rautnya berubah marah, "Jangan bicara sembarang."

"Apa aku nggak boleh nyerah?"

"Jangan pernah."

Aku nyengir. Tersenyum, tertawa, menangis, sedih dan bingung menjadi satu. Tapi aku sudah sampai ke keputusanku. Karenanya aku melepaskan telapak tangan Hugo di pipiku  untuk mendekatkan wajahku pada Hugo. Merasakan hembusan nafasnya yang hangat di pipiku. Hidungnya yang mancung serupa pahatan dan wajah malaikatnya.

"Maaf Hugo." Bisikku sebelum aku mencium pipi Hugo, "Aku janji, aku akan buat Hugo sungguh-sungguh sayang aku, selamanya."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang