Hugo tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Suaranya membahana. Memantul dalam hutan. Bergema.
Aku mengkeret takut. Situasi ini lebih menyeramkan daripada saat aku masih kecil. Saat Hugo hendak menginjak jemariku dalam permainan petak umpet.
Bedanya Hugo yang dulu melakukan tindakannya dengan sadar. Tapi Hugo yang ada di depanku sekarang, bukan Hugo sebenarnya.
Hugo yang sebenarnya akan menginjak ku seperti kecoa. Menembak ku seperti ayam. Seseorang yang tidak akan tertawa terbahak-bahak di depanku. Yang tidak akan mau tau kalau aku; ada.
Aku tau, aku tidak akan pernah ada dalam hidup Hugo seandainya aku tidak pernah bertemu nenek.
Suara tawa Hugo, membulatkan tekad ku; aku tidak boleh membiarkan sihir konyol ini berlarut-larut. Aku dan Hugo harus kembali pada takdir kami masing-masing.
"Hugo. Kenapa kamu tiba-tiba ada di rumahku?" Tanyaku pelan setelah Hugo berhenti tertawa.
"Karena bukan aku yang butuh di tolong, Kala. Tapi kamu."
Aku menggigit bibir, mataku menyipit, bodohnya aku, mana mungkin Hugo tidak tau soal hutang keluarga ku.
"Kenapa Hugo tiba-tiba peduli? Padahal sudah bertahun-tahun keluargaku berhutang. Menurut Hugo kenapa Hugo tiba-tiba peduli?" Pancingku. Aku ingin menerka apakah Hugo sendiri menyadari ada hal yang aneh pada dirinya.
Hugo tersenyum. Berbeda dari sebelumnya. Senyum Hugo sekarang adalah senyum jahat. Senyum angkuh, "Karena aku selalu dapat yang aku mau."
"Apa yang Hugo mau?"
"Kamu."
Aku meringis, "Kenapa, aku?"
"Menikah dengan ku, Kala."
Sontak aku merinding dari ujung kepala hingga ujung kaki, sementara bibirku berdesis ngeri. Aku takut. Aku benar-benar ketakutan sekarang, "Nggak mau."
Hugo menelengkan kepalanya kesamping dengan ekspresi semakin berbahaya. Aku buru-buru melangkah mundur. Lebih baik aku terjebak di dalam gubuk Mbah Nata yang hampir roboh dan gelap daripada menghadapi Hugo.
"Kenapa kamu coba untuk lari?"
"Karena aku nggak mau menikah dengan Hugo!"
"Kenapa?"
"Karena Hugo nggak kenal aku dan aku nggak kenal Hugo."
"Kamu tau aku, Kala. Dari usiamu delapan tahun."
Aku bergidik, "Pokoknya aku nggak mau."
"Apa perluh ku ulangi lagi?" Senyum Hugo semanis madu tapi tatapan matanya membunuhku perlahan. Aku mundur lebih jauh namun lagi-lagi langkah kaki Hugo terus mendekat, "Aku selalu dapat apa yang aku mau."
Dan mendadak Hugo mendekatkan wajahnya semakin dekat pada wajahku. Hingga aku nyaris jatuh kelantai saking ketakutannya. Mataku bertatapan dengan mata Hugo dari dekat. Mata coklat dan abu-abu. Besi dan tanah. Hugo memang seseram matanya. Naluri ku sejak kecil memang tidak salah. Hugo memang berbahaya.
"Apa kamu punya pilihan?" Ejek Hugo.
Aku ternganga shock. Bibirku kelu.
"Apa kamu punya rumah lain untuk di tinggali? Keluarga lain untuk menolong? Simpanan uang? Masa depan?" Tanya Hugo, selama lima detik ia menungguku menjawab. Sialnya, aku tidak pintar berbohong, aku butuh waktu lama untuk menyusun kalimat kebohongan dan aku butuh lebih dari sekedar lima detik untuk bersiap-siap berbohong. Sayangnya lima detik diam ku diartikan Hugo sebagai anggukan kepala, "Kamu nggak punya pilihan Kala."
Tepat setelah itu. Kakiku kalah menopang tubuhku. Tubuhku jatuh ke lantai dalam posisi duduk. Aku sedang tidak sehat dan menghadapi Hugo membuat tubuhku tambah sakit.
Dengan santainya Hugo malah berlutut di depanku begitu aku jatuh terduduk. Menciptakan suara bergeretak seram pada lantai kayu lapuk gubuk.
Seperti harimau hutan yang bahagia buruannya tumbang.
Hugo tersenyum, "Kala, karena kita sudah sampai di hutan. Kenapa kita tidak sekalian berburu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...