Untuk waktu yang lama aku berusaha untuk tidur. Terus memejamkan mata. Berusaha melupakan bahwa aku tidur di pelukan seseorang yang selalu ku takuti selama belasan tahun sampai aku benar-benar terpaksa jatuh tertidur.
Aku terbangun masih dalam pelukan Hugo. Hugo masih dalam posisi yang sama. Membuatku khawatir Hugo sudah mati rasa karena duduk dalam posisi yang sama berjam-jam.
"Hugo, boleh aku bangun?" Aku mencoba menggeliat bangun.
Hugo menatapku lama, meneliti seluruh wajahku, tanganku, gerakan tubuhku sebelum mengangguk, "Ya."
"Boleh aku keluar?"
"Sebentar." Tangan Hugo dengan cepat mengambil sesuatu dari belakangku, kemudian memakaikan jaket besar tebal untukku. Membuatku merasa seperti bayi yang di pakaikan jaket kebesaran, "Pakai ini. Jangan di lepas. Di luar tidak hujan tapi masih berkabut. Kabut menjelang sore. Sebentar lagi tandu siap. Tolong tunggu sebentar dan jangan jauh-jauh dariku."
"Tandu?" Ulang ku tak percaya, wajahku kembali merah padam terbakar, "Maksud Hugo aku nggak akan di minta turun gunung naik tandu kan?"
Hugo tersenyum ngejek. Lagi-lagi ekspresi anak bandel yang membuatku mati kutu. Lebih mati kutu lagi karena Hugo langsung keluar tanpa menjawab pertanyaan ku setelah ia memakai baju entah dari mana. Mau tidak mau aku mengikuti Hugo keluar dari tenda dan langsung menyesal.
Di luar tenda Hugo ada tiga tenda lain yang berdiri, di tempat datar berumput yang kukenali di dekat pos tiga, dengan beberapa orang yang jumlahnya sekitar lima di sekelilingnya sibuk mengobrol namun langsung terdiam begitu melihatku.
Aku mematung.
Apa aku harus minta maaf dulu ke semua orang karena sudah merepotkan atau buru-buru masuk lagi ke dalam tenda saking malunya?
"Kala." Pak Nawa yang biasanya berpakaian klimis kini berpakaian seperti pendaki umumnya berjalan ke arahku dengan wajah lega, "Gimana keadaan mu ? Sudah lebih baik?"
Aku masih mematung. Hanya bisa menelan ludah. Satu-satunya orang yang kukenal dari semua orang hanya pak Nawa.
"Saya bawa makanan. Kala mau makan dulu atau minum? Mau saya buatkan susu panas atau teh?"
Aku menggeleng gugup, perasaan ku campur aduk. Aku tidak nafsu makan sama sekali, "Nanti saja pak Nawa."
Di sampingku, Hugo mendengus. Dengan cepat ia mencium bibirku sambil bergumam, "Anak nakal."
Tepat detik itu, aku berharap seandainya bumi bisa terbelah dan menelanku seketika itu juga.
Di detik yang sama, tanpa rasa bersalah, Hugo bicara dengan nada kasual meminta pak Nawa untuk tetap menyediakan semua makanan dan minuman untukku.
Padahal pak Nawa sendiri, yang berdiri di hadapan Hugo, terang-terangan seperti ayam mabuk menelan gambir. Beliau gelagapan salah tingkah dan aku sendiri hanya bisa menggigiti jariku, sama salah tingkahnya sembari terus menunduk.
Akhirnya aku terpaksa makan. Aku duduk di potongan kayu besar di dekat tenda Hugo yang bersebelahan dengan kompor portable, menunggu Hugo bicara dengan orang-orang yang ada disini; Soal bagaimana dan rute aku turun.
"Kala." Pak Nawa yang sedari tadi bertahan diam disamping ku sambil memanggang sosis akhirnya bersuara pelan, "Lain kali jangan begini lagi. Kamu nggak tau seberapa marah pak Hugo ke saya begitu tau kamu menghilang dan saya tidak bisa langsung menemukan kamu."
Aku mengangguk menyesal, "Maaf."
"Mungkin semua orang mengira, termasuk saya sebelumnya dan mungkin kamu sendiri sama, kalau pak Hugo dingin tidak punya hati." Ucap Pak Nawa, beliau melirik Hugo sekilas sebelum melanjutkan berkata, "Tapi beliau punya hati, khusus untukmu."
"Kamu tau Pak Hugo baru saja sembuh tapi dia langsung turun tangan sendiri untuk mencari kamu. Bertanya sana-sini ke semua orang. Mencari tau sendiri lewat cerita sahabat ayahmu. Tengah malam beliau kesini, naik gunung tanpa membawa apa-apa. Hujan badai. Hanya untuk kamu."
"Saya belum pernah melihat pak Hugo se peduli ini. Se sayang ini. Se khawatir ini. Pak Hugo yang saya kenal tidak seperti ini." Pak Nawa kini memusatkan penuh perhatiannya padaku, membuatku merasa rahasiaku di kuliti hidup-hidup, "Apa kalian benar-benar sering bertemu di hutan diam-diam seperti kata ibumu?"
Kepalaku mengangguk canggung. Kebohongan yang tidak meyakinkan. Karena aku sendiri bahkan tidak berhasil membohongi diriku sendiri.
Hugo berubah seratus delapan puluh derajat bukan murni karena aku. Aku bukan benar-benar pilihan Hugo. Tapi fakta itu tidak bisa ku ungkapkan semudah itu. Apalagi pada pak Nawa. Aku tak bisa bilang, kalau semua yang terjadi tidak sama dengan dugaan semua orang, karena kejujuran seekstrim itu biasanya harus di bayar nyawa.
"Kamu cantik, Kala. Tapi sekedar cantik apa cukup untuk pak Hugo?"
Aku menggeleng. Aku sadar itu.
"Sayangnya pak Hugo sudah memilih kamu untuk jadi istrinya. Jadi kamu harus berusaha membuktikan bahwa kamu bukan pilihan yang salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...