Part 8

523 105 3
                                    

Hugo Hohenstaufen schonberg.

Aku tau dia sejak usiaku delapan tahun. Hanya tau. Sekedar tau. Bagiku, ia hanya anak laki-laki yang kulihat dari kejauhan.

Kulihat satu detik dan terlupakan. 

Keluarga Hugo, pak Gunther dan Bu Leah secara berkala datang ke Arutala. Seperti legenda peri danau dalam cerita rakyat desa kami. Keluarga Hoheng selalu muncul di waktu-waktu tertentu dan kemudian pergi begitu saja dalam waktu lama. 

Mereka menyerahkan hotel sebesar Arutala pada orang kepercayaan keluarga kemudian berpelesiran ke luar negeri dengan mudahnya seperti warga desaku bolak-balik kamar mandi.

Aku ingat di setiap kedatangan, keluarga Hoheng selalu mengadakan acara di balai desa atau aula hotel mereka untuk perjamuan makan dan pembagian barang gratis. Mereka yang seperti bangsawan menyambut langsung kami; warga desa, para rakyat jelata yang tanpa malu-malu gembira disuguhi makanan mewah gratis. 

Bertahun-tahun selalu sama, semua orang makan dengan gembira. Beberapa orang  selalu ada yang mencoba mengobrol dengan pak Gunther. Sebisanya karena tidak ada satupun warga desaku yang benar-benar fasih bahasa inggris. Sisanya makan dalam komunitas masing-masing. Tidak ada yang benar-benar berani mendekati Bu Leah sekalipun beliau selalu tersenyum, apalagi mendekati Hugo yang semakin dewasa, auranya membuat hampir semua orang kompak mati kutu. 

Tradisi itu berlangsung hingga sepuluh tahun dan baru sedikit berubah setelah istri pak Gunther, Bu Leah meninggal. Sekarang pak Gunther lebih banyak menetap di luar negeri sementara anaknya Hugo menggantikan beliau lebih sering datang ke Arutala

Masih dalam perjamuan yang sama. Tradisi yang sama.

Ayah ibuku dulu sangat suka datang ke perjamuan dan aku harus ikut. Seluruh warga desa ikut. Tanpa terkecuali. Bahkan orang-orang tua yang paling vokal menceritakan kebencian mereka pada kenangan masa lalu, bangsa penjajah, kompeni, juga datang. 

Bukannya pak Gunther juga orang asing? Ia berasal dari Jerman dan ia menguasai separuh tanah desa kami beserta sektor ekonominya. Bukannya ia juga 'kompeni'? Penjajah modern. 

Hingga inilah menjadi paradoks kedua dalam hidupku.

Sementara Hugo, ia separuh pribumi. Dalam darahnya mengalir darah asing juga sepertiku. Ia memang punya rambut hitam tapi matanya abu-abu terang. Jadi apa bedanya denganku?

Uang

Siapa yang punya uang, ia yang punya kuasa. 

Mata abu-abu Hugo sering di puji. Sementara rambut coklat dan mata coklat terang ku sering di anggap aneh.

Maka inilah paradoks ketiga. 

Saat ini, Hugo menatapku.  Ia memakai pakaian yang sangat rapih dan elegan. Pakaian berburu. Berbeda dengan orang-orang dewasa pemburu desaku yang selalu kelihatan seperti pendaki gunung habis hilang sebulan di gunung. Kembali dalam keadaan bau dan compang-camping. 

Sudah lama aku tidak bertatapan mata dengan Hugo. Aku sampai lupa kapan terakhir kali. Karena dasarnya, aku tidak suka bertatapan dengan matanya. Jadi sekalipun aku datang ke perjamuan, aku hampir tidak pernah mau dekat-dekat dengan Hugo. Dan untungnya beberapa tahun belakangan ini aku bisa menghindar dari datang ke perjamuan dengan alasan merawat ayahku yang terbaring seperti patung. 

Kini, aku mempertahankan posisiku, berdiri waspada, seperti mangsa di depan pemburu.

Hugo sendiri malah menelengkan kepalanya. Matanya menyipit. Tubuh tingginya yang lebih dari seratus sembilan puluh senti berdiri menjulang. Tanpa senyum. Menakutkan nya, ia tiba-tiba menggerakkan tangannya yang memegang senapan berburu. Seperti menggoda buruan.

Aku menelan ludah. Sekarang aku bertanya-tanya, sebetulnya yang mana yang lebih terancam mati? Aku atau ayam putih yang terjerat di belakangku?

Atau seharusnya sejak awal aku tidak perluh ikut campur? Kenapa pula aku melindungi ayam ini?

"Jangan tembak. Tolong jangan bunuh binatang ini." Ucapku, suaraku bergetar. Bibirku bergerak sendiri. Melawan. 

Dalam otakku, bayangan ayam putih berputar. Seakan itu aku yang terjerat di sana. Antara hidup dan mati. 

Mata Hugo menyipit semakin dalam. Membuatku teringat bunga Hydragea kesukaan ku yang pernah ia injak bertahun-tahun lalu. 

"Tolong."

Beberapa detik dunia terasa semakin gelap. Cahaya matahari seakan benar-benar hilang. Kakiku gemetaran. Aku kehilangan orientasi waktu dan ruang.  Padahal aku pernah menyusun banyak kalimat panjang lebar seandainya aku bisa bertemu langsung dengan Hugo.

Ada banyak hal yang ingin kukatakan padanya; Jangan ambil rumahku, jangan ambil hutan ku, jangan rusak semak hydragea ku, beri waktu untuk ku dan ibuku untuk membayar hutang-hutang kami. 

Payahnya, aku pengecut. Atau sebenarnya ini reaksi wajar ? Siapa juga yang tidak gemetaran kalau pertemuan tatap muka pertamaku dengan Hugo setelah sekian tahun ternyata seperti ini; Dengan gerakan cepat Hugo tiba-tiba menodongkan senapan nya tepat di wajahku, tepat setelah aku selesai bicara. 

Bibirku sontak ternganga. 

"Kalau kamu bisa lepas jeratnya dalam hitungan tiga puluh." Ucap Hugo dalam suara berat, membahana memantul dalam dinding hutan, menciptakan suasana lebih mencekam, "Kamu tidak akan ku tembak."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang