Ayahku, sekalipun beliau hanya tamatan SMP, beliau adalah panutan ku. Setiap kata yang keluar dari mulut beliau adalah mutiara. Yang selalu ku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mengajar ku cara hidup dari alam; jenis-jenis tanaman liar yang bisa ku makan, atau yang bisa dijadikan obat dan lain sebagainya.
Ayahku adalah seorang petani musiman. Kadang wortel, kadang kentang atau sesekali mengantar hasil bumi milik tetangga-tetangga ku ke pengepul. Hasil nya tidak seberapa kalau di lihat dari gaya hidup sehari-hari keluargaku. Apalagi aku pernah satu kali mendengar pak kadus membahas hasil panen wortel milik ayahku yang berhasil memenuhi satu truk penuh tapi hanya di bayar tidak lebih dari dua juta.
Pak kadus lah, sahabat ayahku yang mengeluhkan sesuatu yang seharusnya di keluhkan ayahku. Tapi ayahku hanya diam karena ayahku se damai danau luas di desa kami.
Sementara ibuku serupa kelontengan kuli bangunan yang memotong keramik jam dua pagi, malam Jumat Kliwon. Ngomel terus. Entah harga beras, minyak. Pokoknya, Semuanya.
Masih menjadi misteri bagaimana mereka berdua bisa di jodohkan oleh tuhan atau tetua adat di masa mereka. Setahuku di zaman ayah ibuku remaja, keputusan siapa berjodoh dengan siapa masih menjadi hal sakral yang di pegang oleh tetua adat. Oleh orang-orang tua. Untungnya adat purba begitu sudah musnah di zamanku;- begitulah kata ibuku; Aku lahir di zaman yang beruntung. karena yang membedakan adalah; aku punya pilihan. Walau aku sewaktu kecil tidak begitu paham di mana letak beruntungnya.
Tapi yang jelas, setiap kata yang di ucapkan oleh ayahku, akan selalu terpatri dalam hatiku. Kata-kata beliau, jangan pernah mengambil lebih dari apa yang ku butuhkan dari alam. Jangan pernah merusak alam, karena alam tau cara membalas berjuta kali lipat dan yang terpenting, hal terindah dari alam seringkali lebih baik jika hanya di pandang saja.
Seperti bunga yang tercantik yang lebih baik tetap hidup; hingga layu, hingga mati, hingga berganti yang baru. Jangan pernah dipetik atau diambil tanpa tujuan.
Sampai detik ini. Aku tidak pernah satu kalipun memetik bunga, kecuali bunga itu jatuh karena air hujan dan angin. Atau karena aku benar-benar ingin menyimpan bunga seperti bunga Tatenbuya yang tidak tumbuh di desaku.
Maka jelaslah, anak laki-laki serupa elang di hadapanku menyulut amarah yang tidak tau aku miliki. Aku marah. Puncak kemarahan ku sederhana. Aku melipir pergi.
Sayangnya, pak kadus tiba-tiba menyeletuk ide gagasan ala orangtua yang malas bila acara pembagian paket sembako ini ricuh oleh anak-anak kecil penasaran yang berisik seperti bebek.
Tentu saja idenya tidak bagus, terutama untukku.
"Kala." Panggil beliau padaku.
Aku menghela nafas. Beginilah jadinya menjadi anak ayah, sahabat pak kadus yang selama puluhan tahun tidak karuniai anak. Tentu aku di anggap anak beliau juga dan sasaran beliau juga dalam hal-hal tertentu.
"Ajak teman-temanmu main petak umpet sana dan ajak Hugo juga."
Aku mengerutkan kening. mendengar nama yang seumur hidup tidak pernah kudengar.
"Hugo." Ujar pak kadus sambil menunjuk Hugo si anak laki-laki bermata abu-abu.
Anak elang itu tiba-tiba menatapku lagi. Entah bukan cuma matanya yang setajam elang tapi telinga nya juga. Karena aku sendiri tidak menyangka suara pak kadus yang berdiri tepat di sebelahku dengan jarak lima meter di depan Hugo bisa di dengarnya.
Keningku berkerut makin dalam. Tatapanku lalu beralih ke arah anak-anak kecil lain. Yang tampaknya juga mendengar perintah pak kadus padaku. Tidak sepertiku, mereka tampak semangat. Sama sekali tidak takut dengan keberadaan Hugo. Sekalipun aura dan ciri fisiknya sangat berbeda dari semua orang disini.
Teman-teman sepermainan ku langsung mengerubungi Hugo. Seperti laron mengerubungi lampu. Ajaibnya, ekspresi wajah Hugo masih sama sekali tidak berubah, tetap mata tajam dan raut datar. Tidak tampak terkejut sekalipun ia mendadak di kepung belasan anak-anak yang seperti sudah menunggu-nunggu moment ini.
Tak ubahnya dengan para ibu-ibu paruh baya di sekitar kami yang tampak semangat padahal biasanya ngomel dan protes, teman-teman ku, anak-anak kecil yang seperti melihat mainan baru. Teman baru. Di tempat mereka seumur hidup tumbuh besar dengan orang-orang yang sama selama belasan, puluhan , ratusan tahun. Desaku memang begitu. Hanya komunitas kecil yang jarang di datangi. Turun menurun dari nenek moyang beranak pinak ditempat yang sama.
"Ayo Kala." Teriak sahabatku, Puja, ia berada dalam barisan paling depan yang menarik tangan Hugo menuju tempat anak-anak biasa bermain petak umpet. Semak hydragea diantara jalur pendakian gunung.
Aku melirik ayahku, hati nurani ku berteriak, aku tidak ingin main dengan Hugo. Aku tidak mood untuk bermain. Aku ingin bermain sendiri.
Tapi ayahku menganggukkan kepala. Tersenyum menatapku dan hatiku luluh seketika.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
DragosteMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...