Part 43

379 76 12
                                    

Dunia ku berhenti berputar. Runtuh. Aku bukan lagi tokoh utama dalam dongeng. Aku nenek sihir jahat yang memperdaya pangeran demi kebahagiaanku sendiri.

Orang jahat, culas, tak punya hati.

Bagian terburuknya, kini aku juga tak punya tempat untuk pulang.

Bulan Oktober yang kusukai telah berubah menjadi neraka.

Aku terjebak dalam neraka yang kubuat sendiri.

Aku berlari, lari, lari terus hingga langkahku terhenti tanpa sengaja di gubuk tua Mbah Nata. Terus menangis dan menangis disana. Menangis sepanjang waktu. Tidak peduli gubuk ini jauh lebih reot dari terakhir kuingat. Lebih menyeramkan dan lebih berbahaya.

Gubuk ini, tua lembab, ndoyong. Habitat favorit binatang melata yang berbahaya.

Tapi aku sudah tidak peduli lagi.

Aku menekuk tubuhku sekecil mungkin. Melipatnya hingga aku bisa memeluk diriku sendiri sambil terduduk. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara derai tawa dan musik tradisional bergema di kejauhan. Festival berkat bumi.

Dunia tetap berjalan sekalipun hidupku runtuh.

Tapi siapa pula aku? Hanya Kala Hujan yang tidak punya apa-apa.

Menyedihkannya di saat logikaku tau , bahwa kutukan nenek sudah berakhir, dan tidak ada apapun lagi yang bisa membuat Hugo tetap di sampingku, aku tetap berharap Hugo ada disini. Menyelamatkanku.

Aku merindukan Hugo.

Aku rindu di peluk Hugo. Aku rindu cara Hugo memperlakukanku seperti ia ayahku. Membelaiku di saat aku sedih dan menciumku sebelum tidur. Orang yang tidak keberatan aku bercerita apa saja hal yang paling tidak penting sekalipun, sekalipun aku tau Hugo orang yang paling sibuk dan bertanggung jawab penuh bagi Arutala.

Aku tau, perasaanku tidak relevan lagi sekarang. Sekarang aku bisa apa? Kembali pada orang yang tadi berteriak menyuruhku pergi? Berharap pada seseorang yang kini kembali menjadi seseorang yang ku tau akan menginjakku seperti kecoa?

Tanpa pilihan, akhirnya aku hanya terus menangis sepanjang waktu. Sampai nafasku habis dan air mataku kering. Pikiranku buntu. Sedikit hatiku berteriak menyuruhku tetap kembali pada Hugo, membiarkan nya menembakku tapi aku tau, menembakku mati bukan solusi. Aku tidak mau Hugo dapat masalah lagi karena aku.

Dosa ku sudah terlalu banyak pada Hugo.

Jadi kenapa aku tidak menghilang saja?

Sayangnya, aku belum berpamitan pada ayahku dan ibuku.

Mereka juga korban dari keegoisanku. Mereka lebih tidak tau apa-apa di banding Hugo. Aku takut dengan nasib mereka selanjutnya. Apa hidup mereka akan juga tamat seperti hidupku?

Aku baru bisa mengatur nafasku ketika malam sudah menjelang dan suara festival jauh lebih keras dari suara sebelumnya.

Sesaat aku mengerjapkan mata. Sinar matahari sudah menghilang sepenuhnya dan gubuk Mbah Nata lebih gelap dari lubang akar pepohonan.

Apa aku harus tinggal disini sekarang? Sepenuhnya? Menghilang dari dunia? Atau aku mati disini saja sekarang?

Tapi lagi-lagi suara desingan senapan mematikan detak jantungku. Aku tersentak. Menggigit bibir. Perlahan berdiri dari posisi dudukku yang sama selama berjam-jam.

Kaki ku gemetaran. Karena takut, sedih dan kesakitan dalam waktu yang sama.

Suara ledakan senjata terdengar kembali. Aku memundurkan tubuhku hingga ketembok kayu lapuk. Suara itu semakin mendekat.

Aku membeku semakin beku.

Namun tembok kayu di belakangku justru berkhianat dengan berkeretak keras. Pecah. Patah menjadi bagian-bagian kasar. Aku terjatuh kebelakang. Membentur entah sesuatu yang keras. Hingga kesadaranku hilang.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang